UU Otsus Tidak Mengatur Bupati, Wabup, Walikota dan Wawali Harus OAP

Demo mahasiswa ke DPR Papua Barat mendesak dibentuk Perdasus kepala daerah di kabupaten, kota se tanah Papua wajib OAP/Alberth

MANOKWARI- Persoalan masyarakat adat Papua termasuk Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus kian dipermasalahkan oleh orang asli Papua. 

Untuk itu perlu adanya sinergitas antara dua lembaga rakyat yakni, lembaga kultur Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat dan DPR Papua Barat (Fraksi Otsus) dalam melihat persoalan OAP dan UU Otsus itu sendiri.

Hal ini disampaikan Pokja Adat MRP PB, Bram Ramar dan Ketua Fraksi Otsus DPR Papua Barat Yan Anthon Yoteni. 

Menurut Ramar, aspirasi kepala daerah wajib OAP adalah bentuk aspirasi dan perpanjangan tangan masyarakat adat asli Papua. Bahkan sempat mereka perjuangkan hal ini pada tahun 2015, namun gagal di Mendagri.

Dengan demikian, MRP dan DPR diminta bersinergi perjuangkan apa yang menjadi peraturan daerah khusus tentang kepala daerah OAP di kabupaten, kota.

Di dalam UU Otsus tidak mengatur tentang kepala daerah di tingkat kabupaten, kota adalah OAP, maka perlu dibuat Perdasus dan harus disesuaikan dengan amanat UU Otsus. 

Sementara untuk kepala daerah yakni gubernur dan wagub di tanah Papua telah diatur didalam UU otsus Pasal 12 huruf (a) adalah orang asli Papua.

"Salah satu aspirasi yang didesak saat ini oleh elemen masyarakat dan mahasiswa adalah kepala daerah yakni bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil walikota  di tanah Papua adalah OAP, maka harus didukung dengan Raperdasus,"ungkap Bram Ramar saat di gedung DPR Papua Barat, Jumat pekan lalu.

Ketua Komisi A DPR Papua Barat Yan Anthon Yoteni mengatakan, sinergitas antara MRP dan DPR PB (fraksi otsus) merupakan perwakilan OAP di parlemen dan lembaga kultur, maka segala bentuk aspirasi tentang OAP harus dibicarakan secara adat dan perlu didukung raperdasus.

Dijelaskan Yoteni, DPR PB saat ini telah menerima 18 rancangan peraturan daerah khusus dan Perdasi. Salah satunya kepala daerah OAP.

Hanya saja, di akui Yoteni bahwa waktu kerja mereka tidak cukup untuk menyelesaikan usulan produk hukum tersebut, namun sudah tercatat di DPR dan akan diperjuangkan oleh anggota DPR periode 2019-2024.*