Cara Mengakhiri Konflik di Papua

Seorang anak Papua sedang menunjukan tulisan yang dibuatnya 'Selamat Tahun Indonesia'/Twitter

JAYAPURA-Rentetan penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua yang terjadi di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, minggu lalu menambah daftar panjang kekerasan terhadap mereka.

Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut-larut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty International telah mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018. Yang menyedihkan, aparat negara menjadi pelaku utama dalam tindak kekerasan  34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh TNI.

Kekerasan-baik langsung maupun structural harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan, jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua.

Mengakhiri konflik

Dikutip dari Voxpop Indonesia, Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat bahwa tiga kondisi yang dapat membuat konflik berakhir: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan.

Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

SETARA Institute, dalam laporannya mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan.Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pada praktiknya, ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan, yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.

Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan menghapus sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. Permintaan maaf merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi.

Masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu meminta maaf, karena telah membiarkan kekerasan terjadi kepada saudara sebangsa dan setanah air. Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah.

Pelaku kekerasan aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait – harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan selain juga meminta maaf.

Penertiban terhadap perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (guarantees of non-repetition) di masa depan. Selain itu, pemerintah harus mengkondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.

Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua. Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM.

Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elit politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya praktik korupsi yang terjadi di Papua.

Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu. Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir.

Keadaan Yang Tidak Boleh Terus Berlangsung

Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak dekolonisasi ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana.

Rasialisme dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka ‘setengah binatang’.

Pandangan ini tampak pada sebutan “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya, baru-baru ini. Menyebut masyarakat Papua seperti itu merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.

Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. Kekerasan telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik.

Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, memiliki jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM yang mendalam di tanah Papua, terlebih pada masa DOM. Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di luar Papua. Bahkan masyarakat sipil seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun terlibat. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik.

Kekerasan langsung memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah mendasar di sini. Ketimpangan akibat pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan menjadi akar konflik yang berlarut di Papua.

Meski kini pemerintahan Jokowi mulai menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan membiarkan pelanggaran HAM terjadi di dalamnya. Selain itu, hubungan pemerintah pusat dan Papua tidak harmonis karena ketidakselarasan pemaknaan integrasi dan konstruksi identitas politik di antara keduanya. Papua dan masyarakatnya menyimpan luka sebagai akibat kekerasan struktural ini.*