Pemerintah Pusat ‘Gagal’ Memadamkan Api Dalam Sekam

Foto Ilustrasi/Google

JAYAPURA-Jejak sejarah membenarkan apa yang hari ini menyeruak tak ada hentinya. Kita tau, Presiden Sukarno yang mencetuskan Pancasila sekalian pendiri Bangsa Indonesia, beliau berhasil membawa Papua kedalam Indonesia, dikenal dengan integrasi 1 Mei 1963. Bahkan, jelas jelas mengumandangkan "bubarkan negara boneka bikinan Belanda" di Papua.

Api revolusi tersebut bertahan hanya belasan tahun. Sebab, Amerika melalui perundingan RI-Belanda soal status Papua, berhasil melakukan penetrasi ekonomi dan politik barat. Kembalinya Imperialisme ke Indonesia melalui jalan Papua itu, mampu mengubah tatanan Pancasila serta birokrasi yang pro pada kepentingan barat. Ditandai dengan berlakunya UU Penanaman Modal asing, lalu kontrak karya pertama freeport diteken.

“Sejak itulah, kamus Indonesia di Papua bukan lagi Pancasila, bukan lagi para-para adat (musyawarah mufakat). Eksploitasi kian merajalela hingga sekarang. Kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi, malah di stigmatisasi kedalam separatisme, KKB, OTK dan sebagainya. Jadilah, sebagian orang Papua anti Indonesia, begitu juga sebaliknya, sebagian elit di Jakarta memandang Papua sebagai masalah separatisme yang terus diberangus dengan senjata. Mereka lupa bahwa nilai-nilai Pancasila di Papua sebagai kekuatan bersama dalam mewujudkan keadilan, kemanusiaan, menyelesaikan masalah di Honai, Kunume, Para-Para Adat, Tikar Adat, dan seterusnya, “ujar Pengamat Muda Papua , Arkilaus Baho kepada Wartaplus.com, Kamis  (22/8) pagi.

Kejadian beberapa hari ini  apa ada skenario besar rusuh di Papua? Ditegaskannya, ormas-ormas sektarian berhasil bikin radikalisme subur, ormas rasis bangkitkan rasisme subur. Nasionalisme masa lalu dengan nasionalisme etnis bersatu, membumihanguskan nasionalisme progresif yang menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia. 

“Dan alat perlawanan kepada kolonialisme hingga mengusir penjajah masa kini yang dikenal imperialisme. Perasaan senasib dan sependeritaan, kemanusiaan yang kokoh dan anti pada penjajahan manusia atas manusia lain, bangsa atas bangsa lain, semakin dikikis habis akibat kegoblokan aparat penegak hukum yang cenderung masuk dalam jebakan ormas sektarianisme dan sok sok nasionalis, “tegasnya.

Kata dia, peristiwa rasis di asrama Papua Surabaya seharusnya tidak terjadi jika aparat menerapkan prosedur penanganan masalah bendera, daripada terprovokasi dalam kemauan segelintir ormas yang mengakibatkan penyerbuan tak manusiawi ke asrama.  “Polisi terjebak dalam provokasi sehingga lupa bahwa ada prosedur pemanggilan, atau fokus pada pelaku penurunan bendera,”tegasnya.

Arkilaus Baho/Istimewa

Lanjut dia,  biasnya malah ikon monyet kini menjadi stigma pemersatu di Tanah Papua. Orang Papua dari berbagai kalangan, kini bersatu akibat teriakan monyet yang dilakukan oleh ormas di Surabaya. "Orde baru sudah selesai, tapi ajaran dan karakter orba masih terpelihara. Nasionalisme simbol dan sok-sok nasionalisme dipakai oleh ormas tertentu untuk menolak keragaman budaya, karakter, warna kulit dan jenis rambut yang merupakan keragaman bangsa bangsa di Indonesia,”tandasnya.

Tegasnya, jika pemerintah ingin agar Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa beserta nilai nilainya, tugas mendesak adalah mengubur ormas sektarian dan kaum rasis mengatasnamakan Pancasila. “Mereka hanya melahirkan rasisme dengan bersembunyi dalam baju ormas atau memakai nama agama tertentu,”ujarnya.

Solusi apa yang dilakukan kepada Papua akibat teriakan rasisme? “Ini sudah melebar amukan rasis di Papua. Reaksi balas dendam sudah tidak bisa dibendung. Bayangkan, sakit hati akibat ketidakadilan yang dilahirkan oleh kapitalisme selama ini, memuncak disaat rasisme bergulir. Rumah warga non Papua dan gedung negara jadi sasaran. Pemerintah pusat ‘gagal’ memadamkan api dalam sekam,”ujarnya.

Ketimpangan akibat imperialisme itu memuncak saat ini. Bahkan dimasa yang akan datang, tentu kecemburuan sosial terus terjadi. Maka itu, perlu pengakuan negara pada keberadaan rakyat Papua yang berbasis suku dan marga. Bernaung dibawau Dewan Rakyat Papua (DRP), sebagai solusi untuk mengatasi situasi ketimpangan politik dan ekonomi saat ini.

“Agar supaya orang Papua tidak menjadi penonton di negrinya, tapi menjadi tuan di negrinya. DRP sebagai jawaban pelibatan suku suku dan marga dalam mengontrol kebijakan di Tanah Papua. Mari kita tegakkan nilai nilai Pancasila di Papua, yang selama ini dikubur oleh birokrasi kapitalisme yang dijalankan oleh pemerintahan liberal,ujarnya.

Diungkapkannya, sudah saat membangun dan memperkuat ekonomi rakyat Papua melalui penguatan identitas ekonomi lokal serta membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat Papua untuk mengakses sumber-sumber permodalan, dan pendidikan gratis sebagai solusi mengatasi ketimpangan saat ini.*