JAKARTA,wartaplus.com – Pusat Bantuan Hukum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Jakarta Timur secara tegas mengecam aksi kekerasan terhadap rekan mereka, Dr. Pieter Ell, S.H., M.H., yang diduga menjadi korban pemukulan oleh sekelompok preman bayaran saat menjalankan tugas profesionalnya.
Surat protes resmi dengan nomor 06/PBH-AAI-JKT.TIM/X/2025 ditujukan kepada Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan pimpinan PT Sayana Integra Property (SIP), meminta perlindungan hukum serta penegakan aturan terhadap pelaku.
Insiden tersebut terjadi pada 2 Oktober 2025 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, di mana Dr. Pieter Ell yang juga menjabat sebagai Ketua DPC Peradi Jayapura dan anggota AAI DPC Jakarta Timur memimpin tim kuasa hukum ahli waris Djiun bin Balok untuk memeriksa lahan seluas 13 hektar milik kliennya.
Lahan tersebut, menurut putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah), merupakan hak sah ahli waris, namun telah dikuasai secara paksa oleh PT SIP untuk pembangunan Apartemen Sakura Garden City.
Dalam surat yang ditandatangani oleh empat advokat senior AAI Foor Good P. Manik, S.H., Marulitua Rajagukguk, S.H., Mikhael R.H. Manik, S.H., dan Aprijon Damanik, S.H. disebutkan bahwa Dr. Pieter Ell didatangi oleh sekitar 50 orang yang diduga preman bayaran. Korban mengalami luka memar akibat dipukul dengan kayu, sementara timnya juga menjadi sasaran intimidasi.
"Kami mengecam atas tindakan yang diduga dilakukan sekelompok preman bayaran yang menjalankan tugasnya selaku advokat," tulis surat tersebut.
Advokat dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 16, 17, dan 18 ayat 2, yang menjamin hak imunitas, akses informasi, serta perlindungan saat menjalankan tugas dengan itikad baik.
"Advokat merupakan penegak hukum dan tidak identik dengan kliennya," tegas para pengirim surat.
Mereka menuntut Kapolri dan Kapolda Metro Jaya untuk segera mengusut, menangkap, dan menahan pelaku penganiayaan, serta meminta PT SIP menghentikan segala bentuk kekerasan, pembangunan ilegal, dan mematuhi ketentuan hukum.
Kecaman ini sejalan dengan reaksi luas dari komunitas advokat nasional. DPC Peradi Kota Jayapura, di mana Dr. Pieter Ell menjabat ketua, telah mendesak Kapolri untuk memproses hukum manajemen PT SIP dan para pelaku, menyebut insiden itu sebagai "penghinaan terhadap hukum dan profesi advokat.
Ikatan Alumni Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua juga mengutuk aksi tersebut sebagai "contempt of court" yang menghalangi eksekusi putusan inkrah, dan menjerat pelaku dengan Pasal 351 KUHP (penganiayaan) serta Pasal 170 KUHP (pengeroyokan), ditambah sanksi tambahan berdasarkan UU Advokat.
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom ikut mengecam PT SIP sebagai "pengecut" yang membayar preman untuk menganiaya pengacara ahli waris lahan adat.
Hingga kini, Dr. Pieter Ell telah melaporkan kejadian itu ke Polda Metro Jaya, dan DPN Peradi menuntut polisi untuk segera bertindak tegas terhadap "perbuatan barbar" ini.
Upaya mediasi sebelumnya pada 18 September 2025 di Kantor Pertanahan Jakarta Timur gagal karena PT SIP mangkir, memperburuk eskalasi konflik sengketa lahan ini.
Kasus ini menyoroti kerentanan profesi advokat di tengah sengketa tanah yang melibatkan pengembang besar, serta urgensi penegakan hukum untuk mencegah premanisme merusak supremasi hukum di Indonesia. Para advokat AAI berharap surat protes ini menjadi langkah awal menuju keadilan, demi "Indonesia tanpa kekerasan".

