Mengukur Kinerja Pemerintah Mengelola Kawasan Hutan di Papua

Workshop Finalisasi Penilaian KPH yang dipaparkan tim peneliti/istimewa

JAYAPURA - Kinerja Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Produksi di Kabupaten Keerom masih mencapai nilai 1,94 (sedang). Fakta ini menyusul hasil riset yang dilakukan tim gabungan peneliti dari Forest Wach Indonesia (FWI), Akademisi Universitas Mataram, dan Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) Papua, yang berlangsung sejak November 2018 sampai Februari 2019.   

Perolehan nilai ini dipublikasikan dalam Workshop Finalisasi Penilaian KPH yang dipaparkan tim peneliti di hadapan Kepala KPHP Kabupaten Keerom Ir. Obet Bitti dan Kabid Perencanaan Kehutanan Provinsi Papua, Estiko Tri Wiradyo,SH, M.Si beserta stafnya di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Papua, Jalan Dok IX Kota Jayapura, Selasa (19/2).

Penilaian kinerja tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem K&I FWI Versi 2.0. Dimana hasilnya diharapkan dapat mendorong negara hadir dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara adil dan lestari. Sebagaimana mandat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memberikan kepastian hukum bagi siapapun, terutama melindungi hak-hak masyarakat adat untuk memanfaatkan sekaligus berpartisifasi dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan.    

Pengkampanye FWI, Anggi Putra Prayoga menyampaikan dipilihnya KPHP Keerom sebagai daerah penelitian tak lain karena merupakan representasi dari Provinsi Papua. Adapun skema penilaian dibagi ke dalam beberapa tahap mulai dari persiapan data hingga operasionalisasi. Sementara penilaian dilakukan dengan menggunakan buku panduan penilaian kinerja versi 2.0 yang memuat 9 kriteria, 28 indikator, dan 62 elemen kualitas yang menjelaskan faktor penting dalam pengelolaan hutan.  

“Papua ini kami pilih lantaran merupakan benteng terakhir hutan alam di Indonesia, setelah Kalimantan dan Sumatera yang mana hutan alamnya hampir habis digerogoti izin berbasis hutan dan lahan. Data FWI pada 2017, Provinsi Papua memiliki tutupan hutan sekitar 78 persen dari luas total 31 juta hektare luas daratannya,” kata Anggi.

Sayangnya, beber Anggi, nilai deforestasi hutan Papuan mengalami peningkatan sekitar 512 ribu hektare selama periode 2013 sampai 2017, atau setara 9.860 meter persegi luas Stadiun Papua Bangkit. Dimungkinkan deforestasi akan berlanjut setiap tahunnya, dengan alasan pembangunan.

Melihat hal tersebut, Staf Bagian Hukum Yayasan KIPRa, Andi Astriyaamiati, SH menekankan agar pemerintah konsisten mengimplementasikan kehadiran negara di tingkat tapak dalam hal pembangunan KPH dan pengelolaan hutan, sesuai SK Menteri Kehutanan No. SK.481/Menhut –II/2009 tentang Penetapan 56 Wilayah KPHP dan KPHL di Provinsi Papua dengan luas lebih kurang 18.180.201 hektare.

“Sayangnya hanya 14 KPH yang telah definitif terbentuk melalui Pergub Papua No.31 Tahun 2017. Di sisi lain hanya 6 kelembagaan KPH saja yang telah dilengkapi dengan panduan dokumen rencana pengelolan hutan jangka panjang (RPHJP). Artinya, tidak ada pengelolaan hutan ditingkat tapa selama itu,” pungkasnya.

Beban Masa Lalu

Akademisi Universitas Mataram, Dr.Chairil Ichsan mengungkapkan, terdapat 4 kunci keberhasilan pengelolan hutan ditingkat KPH, antaralain 1) Terinternalisasinya KPH kedalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Provinsi Papua dan kebijakan daerah; 2) Adanya penguasaan pengetahuan para aktor yang benar terhadap konsep pengelolaan hutan oleh KPH; 3) Dukungan mitra pengelolaan yang membangun; 4) Kondisi sosial politik meliputi leadership yang visioner dan relasi pemerintahan yang baik, anggaran sumber daya manusia, dan infrastruktur.

“Namun sepanjang pengamatan kami, Keerom masih memiliki beban masa lalu. Kondisi KPH-nya belum ideal untuk memenuhi prasyarat operasional, kemantapan kawasannya juga. Tata batas belum berjalan efektif dan efisien. Ini menandakan utang masa lalu negara yang belum dituntaskan. Selebihnya, dukungan infrastruktur serta anggaran dari pusat dan provinsi kepada KPH belum memenuhi operasional KPH ditingkat tapak,” ujar Chairil seraya menghimbau kepada Pemerintah Provinsi Papua agar lebih serius menghadirkan negara dalam melindungi KPH nya.

Tenaga Profesional Diperlukan

Kepala KPHP Kabupaten Keerom, Ir. Obet Bitti secara terpisah menerima hasil penilaian yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut. Ia mengakui lemahnya sumber daya manusia yang dimiliki instansinya. Dikatakan, yang sangat dibutuhkanpihaknya untuk mengimplementasikan hadirnhya negara untuk mengelola KPH Produksi di Kabupaten Keerom adalah tenaga sipil yang profesional, serta memiliki keahlian khusus baik dalam tugas pemetaan, membuat rencana kerja, dan pengelolaan hutan di tingkat tapak.

“Kekuatan inilah yang kami butuhkan untuk membangun infrastuktur yang memadai agar nantinya kawasan pengelolaan hutan bisa dikelola lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat adat di wilayahnya, baik dari hasil flora yang bernilai ekonomis. Tentunya dari pencapaian itu akan bisa meningkatkan nilai kami untuk lebih baik dalam menjaga kawasan pengelolaan hutan produksi di masa akan datang,” ungkap Obet.

“Seluruh yang dipaparkan oleh rekan LSM dalam penilaian tadi menjadi evaluasi bagi kami (otoritas kehutanan) di provinsi kabupaten. Nilai 1,94 itu masih jauh dari angka idealnya dengan poin 3 di wilayah Indonesia barat dan tengah. Hal ini melihat karakteristik hutan di Papua sangat berbeda, termasuk SDM nya. Apabila kita melakukan perencanaan kerja di Papua ini maka tentu satuan harganya jauh lebih tinggi dibanding daerah lain. Mengingat instrumen kerja yang kita perlukan juga sangat minim. Oleh karenanya kami sangat terbuka dan berharap rekan-rekan LSM tetap bersinergi dengan kami dalam melaksanakan tugas pengawasan hutan. Merekalah menjadi stimulan untuk meningkatkan kinerja kami, ” tambah Estiko Tri Wiradyo Kepala Bidang Perencanaan Kehutanan Provinsi Papua, seraya mengapresiasi hasil riset FWI, Universitas Mataram, dan Yayasan KIPRa Papua. *