Dengan Cinta  Sepenuh Jiwa Perempuan Ini Menaklukan  Hati Manusia Korowai

Dian Yasmita Wasaraka dan keluarga serta buku yang ditulisnya ‘Perempuan Perkasa’ Belajar Praktik Kesetaraan Dalam Budaya Korowai/Istimewa

“Beberapa tahun terakhir orang korowai digambarkan sebagai suku primitive dengan teknologi ‘zaman batu’ dan pemukiman eksotik di pucuk-pucuk pohon yang tinggi. Korowai yang kami kenal, tidak mengenal pengasuhan anak sebagai kerja permpuan saja. Tidak hanya itu. Kerja dan hak pemilikan berlangsung setara anak laki-laki dan anak perempuan” [Dian Wasaraka]

Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka. Sampai tahun 1970, mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka.

Dian penulis buku ‘Perempuan Perkasa Belajar Praktik Kesetaraan Dalam Budaya Korowai’ tinggal 6 bulan di Suku Korowai membuat ia jatuh cinta . Ia membutuhkan waktu 15 tahun untuk menyelesaikan buku yang menjadi kitab perjalan hidupnya sebagai manusia Korowai. Dan ia adalah perempuan pertama yang menulis salah satu suku yang terkenal terasing di Bumi Nusantara dan bisa jadi dunia.

Dian oleh dan beberapa teman yang cukup dekat memanggil dengan sebutan Mak, mungkin karena ia termasuk perempuan aktivis “ tertua” yang bergabung dengan kawan-kawan Komunitas yang rata-rata adalah anak muda sejak tahun 2001.

Dian adalah seorang ibu, selain itu ia mengajar di dua kampus yakni ISBI Tanah Papua dan STIKOM Muhammdiyah Jayapura. Dirinya aktif menulis di blog untuk mengkampayekan masalah lingkungan, masyarakat adat dan perempuan. Salah satu tulisan di blog tahun 2011 dengan judul “Sepenggal Asa Perempuan Perkasa” pernah diapresiasi oleh UN Women.

Selain itu suami dari Novi Patoni juga adalah photographer dan ia melaukan  pameran pertamanya  pada tahun 2005 di Musem Lokabudaya Universitas Cenderawasih . Lalu pada tahun 2007 berkerjasama dengan Mission 21 Basel  pamerkan karyanya di Jerman, untuk menggalang dana pendidikan bagi anak-anak di Waropen. Ia mengaku tak minta satu senpun dari kegitan tersebut.

Pada 2009 fotonya tentang Kaimana dimuat di majalah Tamasya. “Tahun 2010-2013 beberapa kali photo saya ikut meramaikan pameran foto yang dibuat oleh Greanpeace Southeast Asia,  yang terakhir 2018 lalu saya memenangkan hibah bersaing dari Ford Foundation melalui ajang Cipta Media Ekspresi, Dana ini saya gunakan untuk penelitian lanjutan di Korowai, pembuatan buku dan pameran foto,”ujarnya ibu dari Achmad Raihan Patoni Wasaraka (2) kepada wartaplus dalam berbagai kesempatan.

Ketertarikan Korowai

Dari pengakuan perempuan kelahiran Manokwari 4 Desember 1980 ini, sebenarnya dirinya pernah baca tentang Korowai sekitar tahun 1999 atau awal 2000an. “Pokoknya dari sebuah majalah (entah apa karena sampulnya sudah hilang) dan karena ditulis dalam bahasa Inggris jadi saya tidak begitu paham. Tapi kesan  yang saya dapat sangat kuat, antara kagum dan heran bagaimana orang bisa membangun rumah diatas pohon,”ujarnya. Namun baru tahun 2003 kemudian,  baru Dian bisa punya kesempatan kesana, disponsori oleh Benneti Expedition.

“Yang lucu awalnya saya sama sekali tidak tau kalau Korowai yang dimaksud adalah Korowai yang pernah saya baca pada majalah usang yang tadi, yah maklum saja karena saat itu nama Korowai masih sangat asing di telinga kita orang Indonesia. Dan internet belum semurah dan semudah sekarang. Jadi mirip botol kosong,”ujarnya.

Ia pun datang tanpa prasangka, tanpa teori dan tanpa tau apa-apa tentang mereka. “Selama bulan Juli-November 2003 saya hidup serta  tinggal dan berinteraksi dengan suku ini, Dan selama itu pulalah pikiran dan hati saya seperti dibolak-balik. Dan jujur harus saya bilang ini adalah sebuah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan, yang bisa jadi merupakan sebuah titik awal saya bisa melihat dan memiliki pengalaman secara jelas.  Bagaimana sesugguhnya hubungan antara kepentingan manusia termasuk di dalamnya kepentingan ekonomi, budaya dan sosial dengan alam semesta (lingkungan) dan Tuhan sebagai pencipta,”kata Dian

Ia pun mengungkapkan perasaan hatinya, bagaimana arifnya suku ini mengelola alam dan bagaimana mereka mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari ekotourism yang dibangun dengan apik disana sejak tahun 1998. Dan sisi lain dirinya belajar bahwa memang manusia tidak bisa apa-apa jika alam rusak.

“Kadang bagi kita orang moderan akan heran dengan pola mereka kenapa suku ini akan marah jika orang lain membuka hutan untuk kebun terlalu besar atau mengambil terlalu banyak dari alam. Dalam alam pikiran kita, kalau berlebihan maka yang lainnya bisa dijual dan ada uang lebih untuk kita. Namun, saya akhirnya memahami pola pikir mereka ketika lembaga lingkungan hidup dunia seperti UNEP, pada tahun 2013 lalu baru mengkampanyekan soal perilaku bijak dalam mengkon-sumsi sumber daya alam, dengan semboyan “Think, Eat, Save”. Maka orang Korowai bukan hanya baru mengkampanyekan tapi sudah mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari,”ujar anak dari H. Ir A.R Wasaraka dan Hj Farina H. Wijdayanti.

Lanjut Dian, sebuah pola yang bukan hanya menjaga dan merawat bumi, namun juga berdampak pada menghemat sumber daya alam. Menjaga proses keberlangsungan keanekaragaman hayati serta menjalankan praktek bijak keadilan antar generasi, dimana apa yang dinikmati generasi saat ini harus bisa diakses dan dinikmati pula oleh generasi yang akan datang.

Perjalanan Terakhir

Perjalanan ini memang mengalami beberapa kali penundaan, bukan kendala dari donor tentunya. “Tapi saya memang mengejar moment pesta ulat sagu yang sesungguhnya, bukan pesta turis. Sebab memang banyak pesta Ulat Sagu diselenggrakan di daerah Korowai tapi ada yang pesta yang diselenggarakan untuk atraksi dan enterntain para turis yang datang dan ada pesta adat yang benar-benar diselenggarakan untuk masyarakat adat,”ujar Dian.

Sebab ada beberapa perbedaan pelaksanaan pesta Ulat Sagu versi turis dan versi adat, seperti dalam hal penanggalan untuk menentukan waktu pesta dan yang terpenting adalah pola perilaku masyarakat ketika pesta. Kalau dipesta turis karena ini untuk mengintertain para turis jadi mereka akan sangat berhati-hati sekali berperilaku, berpakaian (biasa mereka akan 100% pakai pakaian tradisional), tidak bawa-bawa handphone. Sedangkan kalau dipesta adat mereka justru akan menggunakan pakaian modern, membawa handphone dan berselfi ria juga.

“Tapi justru sebagai seorang peneliti inilah daya tariknya karena kita bisa lihat banyak sekali perkembangan budaya dan sosial yang terjadi disana, dan ini penting untuk kita bisa menulis yang benar tentang Korowai, “ujarnya. Kata dia, ia menghabiskan waktu 3 minggu disana. ikut dari mulai persiapan pesta hingga hari H lalu dirinya singgah dan bermalam dibeberapa kampung di sepanjang Suangai Dairam Kabur.

“Data-data itu saya tuangkan dalam buku yang saya tulis ‘Perempuan Perkasa’ Belajar Praktik Kesetaraan Dalam Budaya Korowai dan di launching 14 Februrari 2019 FISIP di UI Depok. buku dibagikan secara gratis baik hard copy maunpun soft copynya. Dan saya pribadi berharap bisa memberikan kontribusi dan informasi berharga bagi para pengambil penetap kebijakan.

Serunya Perjalanan

Jika dibandingkan dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya, maka tentu semua punya tantangan. Tapi kali ini dirinya sendiri hampir menyerah karena berhadapan dengan rasa takut dan dilema.

“Bagaimanapun saya adalah seorang ibu, dan saya punya bayi dan dari kecil tidak pernah saya titipkan pada siapapun. Saya dan suami berkomitmen untuk dapat berbagi peran membesarkannya berdua saja. Maka jadilah dilema apakah bayiku ini bisa bertahan melalui medan Korowai yang berat? Tapi disisi lain kalaupun dia terpaksa kami tinggalkan (dititip) bersama kakek neneknya, apakah anak ini tidak akan stress karena mendadak berpisah dari ibunya dalam jangka waktu lama? Dan lagi dia masih ASI dan tak terbiasa dengan susu formula. Maka kamipun bulatkan tekad bertiga ke Korowai,”ujar Dian.

Dan setelah melalui perjalanan panjang dua kali ganti pesawat (salah satunya pakai pesawat kecil yang cuma isi 12 orang) lalu kami bermalam di Danuwage. Beruntung di Danuwage kami bisa menginap dirumah Pendeta Trevor Johnson seorang misionaris berkebangsaan Amerika yang melayani di daerah Korowai Batu.

Selanjutnya dengan menggunakan perahu ketinting selama 3 jam lebih menyusuri Sungai Dairam Kabur yang berjeram deras, lalu masih harus berjalan kaki membelah hutan dan rawa Sagu sekitar 4 jam untuk sampai ke dusun lokasi pesta Ulat Sagu. Begitupun perjalanan pulang kembali ke Danuwage.

Setelah mengambil data di pesta Ulat Sagu dan di Kampung Sinimburu, tak jarang kami harus kehujanan dan kepanasan dijalan. Tak jarang juga suami saya dan beberapa pria harus turun dari perahu dan menarik perahu melawan arus menuju hulu.

“Sungai berarus sangat kencang namun dangkal,  hingga menyulitkan baling-baling mesin ketinting berputar dalam air. Padahal sebelum suami saya sudah harus berjalan didalam hutan sambil menggendong bayi kami,”kisahnya. Tapi memang perjalanan ini luar biasa dan saya sangat bersyukur karena selama mengikuti kegiatan ini, anaknya sangat menikmati perjalanan.

“Dan anak saya sangat senang bermain dengan teman-teman barunya di Korowai. Dia juga sangat menikmati makan-makanan lokal disana, karena  perjalanan ini juga bukan hanya membangun ikatan dalam hubungan ini menjadi lebih kuat, tapi juga kami bisa saling memahami satu sama lain,  dan terlebih buat buah hati kami. Tapi kami sebagai orang tuanya berharap pengalaman ini akan membantu memberikan dia warna dan mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunianya kelak, “ujarnya. Ungkap dian, sampai sekarang dia masih sering bilang, "mama- naik perahu di Korowai” atau kalau lihat foto anak-anak di Korowai dia akan bilang “teman, ma teman”

Pembangunan

Diungkapkannya soal perjalannya ke Korowai, satu hal yang harus kita tanamkan dalam pikiran kita adalah bahwa pembangunan itu untuk rakyat bukan untuk pemerintah, pemerintah tidak akan ada tanpa rakyat. Dan kita semua menghendaki pembangunan, namun pembangunan yang bagaimana? Tentu pembangunan yang tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan menyebabkan masyarakat menjadi miskin diatas tanahnya sendiri. Coba kita pikirkan apakah berguna semua gedung mewah, peralatan canggih, mobil supermahal jika air tidak ada dan nafas sesak karena udara tercemar, apakah sepadan semua itu?

Lebih parah lagi jika kemudian masyarakat malah saling benci karena ada investasi mengatasnamakan pembangunan. Jadi intinya pembangunan haruslah pembangunan yang berkelanjutan, pembangunan yang memanusiakan manusia.

“Yang meletakan keadilan antar generasi sebagi pertimbangan utama, bahwa apa yang bisa kita nikmati saat ini haruslah bisa dinikmati oleh generasi nanti. Kita bisa belajar dari orang Korowai mengelola alamnya. Bagaimana menghemat sumber daya yang ada tanpa jadi pelit karenanya. hal yang baru 2013 lalu UNEP canangkan Think, Eat and Save. Hal lain yang saya pikirkan adalah Korowai sendiri harus dibangun dengan menggunakan kekuatan budaya mereka sendiri, dan itu harus digali. Dan keterlibatan mereka harus benar-benar dirancang dengan tepat sebab sejatinya suku ini karena tidak punya sistem kepemimpinan tetap dan tidak biasa “diperintah” oleh orang lain maka harus dicarikan formula agar semua bisa terorganisir dengan baik,”ujarnya.

Diungkapkan, yang lain berikan mereka pendidikan yang menjawab kebutuhan mereka dan keunggulan mereka. Disana sejak lama terkenal dengan pariwisata budaya kelas dunia, turis-turis manca negara sudah pada kesana.

“Film tentang Korowai-Kombai dibuat sampai  60 judul, yang kurang adalah dukungan pemerintah. Dan ini bukan harus hotel bintang 5 dan bandara yang bagus untuk pesawat jet pribadi turun. Kenyataannya hanaya bandara  di Danuwage,  dan turis asing lebih suka masuk lewat Mabul dan berjalan kaki. Alasannya mereka ingin merasakan petualangan dan menikmati udara segar hutan tropis. Merasakan bagaimana mandi disungai yang jerih dan tidur di bevak, kalau mau hotel bintang lima ya, ke Bali atau Hawai saja,”sindirnya,

Jadi apa yang dibutuhkan di Korowai ? Kata dia, pelatihan bagi masyarakat lokal, pendidikan-pendidikan praktis, yang menunjang pariwisata, kursus bahasa Inggris untuk pariwisata. Perkaya ragam pangan disana, dengan bibit unggul -jeruk, nanas, kacang-kacangan adalah tumbuhan yang bisa tumbuh dengan baik disana. Dengan hasil pertanian yang baik bukan hanya meningkatkan ketahanan pangan mereka, tapi juga bisa menjadi sumber penghasilan tambahan jika turis-turis datang ke Korowai. “Saya kira kalau kita ada kemauan dan hati buat sama-sama membangun mereka, maka tak ada yang sulit,”harapnya.*