Yayasan KIPRa Papua Ancam Adukan BPN Papua ke Kementerian Agraria

Direktur KIPRa Papua, Irianto Jacobus (tengah) saat memberikan keterangan pers/Djarwo

JAYAPURA,- Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) Papua  merasa kecewa dan berencana melaporkan  kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia.

Hal ini dilakukan jika BPN Provinsi Papua masih tak mau menyerahkan sejumlah dokumen perusahaan perkebunan sawit maupun HPH yang beroperasi di Papua, khususnya kabupaten Keerom, walaupun Majelis Komisioner Komisi Informasi Papua dari amar putusan menyatakan, permohonan Yayasan KIPRa atas informasi/dokumen perusahaan dikabulkan, yang artinya BPN Papua harus menyediakan dan memberi dokumen yang diminta Yayasan KIPRa Papua.

KIPRa juga menilai BPN Provinsi Papua tidak profesional dan menganggap remeh sidang-sidang dari Komisi Informasi. Hal ini ditandai dengan berulangkali tidak hadir dalam sidang tanpa alasan dan kalaupun hadir sidang, malah tanpa membawa surat kuasa.

"Kasus ini bermula saat kami  mengajukan permintaan informasi ke Badan Pertanahan Nasional, Provinsi Papua secara resmi pada tanggal 07 Maret 2018 untuk sejumlah dokumen perusahaan perkebunan sawit maupun HPH yang beroperasi di Papua, kabupaten Keerom," ungkap Direktur KIPRa Papua, Irianto Jacobus kepada sejumlah wartawan di Jayapura, Jumat (21/12).

Namun katanya, dokumen yang diminta oleh pihaknya tak dipenuhi oleh BPN, dengan alasan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang dikecualikan berdasarkan Perka BPN nomor 6 Tahun 2013 serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang.

Padahal, KIPRa berpendapat tindakan pihaknya sudah sesuai dengan  UU 14  Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Jelasnya, sesuai mandat lembaga, visi, misi serta program yang sedang dikerjakan oleh KIPRa, kebutuhan akan informasi yang berkaitan dengan tujuan program menjadi penting serta harus diperoleh dalam upaya menjalankan program advokasi.

"Hal ini juga demi terwujudnya transparansi informasi oleh badan publik, maka sejalan dengan UU 14  Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat sipil baik secara individu, kelompok ataupun institusi diberikan ruang dan hak memperoleh informasi tersebut yang diatur proses serta tahapannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," terangnya.

Tambah Jacobus, untuk itu perlu ada tekanan, pengawasan serta penilaian  dari masyarakat, media secara terus menerus terhadap kinerja dari OPD-OPD, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga ke kampung.

"Adanya keterbukaan informasi dari badan publik akan mendorong tingkat partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dari berbagai pihak dalam menciptakan good and clean governance," pungkasnya. *