Masyarakat Adat Tambrauw Tolak PT Bintuni Agro Prima Perkasa Beroperasi

Kepala suku besar AKK Tambrauw Hofni Ajoi saat orasi sampaikan aspirasi ke hadapan MRPB, di Kampung Arumi, Kebar Timur, Tambrauw Papua Barat, Kamis (23/8)/Albert

MANOKWARI,- Masyarakat adat Mpur Soor di Lembah Kebar, Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat mendesak dan menolak PT Bintuni Agro Prima Perkasa beroperasi di wilayah itu.

Penolakan itu ditegaskan oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat setempat saat masyarakat adat Mpur Soor Lembah Kebar pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat, Rabu (23/8) di kampung Arumi, Kebar Timur.

Alasan masyarakat adat, penolakan itu jelas dan sesuai aspirasi adat. Pasalnya mereka mengaku diitipu oleh PT Bintuni Agro Prima sehingga hutan adat mereka sudah dibongkar dan menyebabkan hutan sebagai harapan hidup masa depan mereka rusak total.

Tak hanya itu, pemalsuan dokumen Amdal dan pemalsuan tanda tangan masyarakat pemilik hak ulayat dimanipulasi agar perusahan itu beroperasi. Tak hanya masyarakat ditipu karena pemalsuan dokumen dan tandatangan, namun perusahan itu hendak masuk dengan berdalil menanam tanaman jagung, akan tetapi mereka akan menanam kelapa sawit.

Kepala suku besar AKK Tambrauw, Hofni Ajoi secara tegas mendukung masyarakat adat untuk tetap menutup perusahan tersebut, sebab kalau tak ditutup maka ke depan akan berdampak besar dan bisa terjadi pertumpahan darah.

"Hutan adat kami sudah dibongkar sana sini dan rusak semua alam Kebar kami, jadi kami tetap menolak perusahan itu beroperasi dan segera angkat kaki dari wilayah adat kami," tegas Hofni.

Meki Manimeri, salah satu tokoh adat menegaskan, masyarakat ditipu oleh perusahan dengan pemalsuan dokumen. Bahkan uang awal yang dikasih perusahan kepada masyarakat pemilik hak ulayat dari RP 100 juta dan Rp 50 juta telah dikembalikan kepada pihak perusahan.

Kata dia, pengembalian uang itu karena mereka ditipu oleh perusahan, mereka juga minta agar perusahan dan pemerintah Tambrauw bertanggungjawab.

Semenjak perusahan itu masuk dan beroperasi pada tahun 2016 lalu hingga sekarang mereka ini menjadi korban penganiayaan oleh oknum aparat yang bertugas di perusahan itu. Bahkan saat pembongkaran hutan adat, mereka datang melarang tetapi perusahan tetap lakukan pembongkaran hutan.

Penolakan itu, kata Hofni Ajoi, Meki Wanimeri dan masyarakat adat pemilik hak ulayat, terkait kondisi yang mereka hadapi selama perusahan itu masuk dan beroperasi. Masyarakat adat secara tegas minta kepada MRP agar membantu masyarakat adat sehingga perusahan itu ditutup. *