Di Atas Lautan, Mereka Berjuang Melawan Sampah

Pak Melky Makanuay dan Pak Petrus Youwe saat membawa puluhan plastik sampah yang dikumpulkan dari lautan/Djarwo

JAYAPURA,- Pagi itu, Kamis (16/8), sekitar Pukul 05.30 WIT, di sudut salah satu gedung megah hotel berbintang di Kota Jayapura, terdengar suara deru Speedboat dari arah utara lautan yang membelakangi cahaya fajar.

Lirikan mata saya pun berubah pandang menuju arah suara Speedboat itu berasal. Nampak dua orang bapak yang nyaris tak terlihat tertutupi oleh tumpukan plastik di bagian depan Speedboat yang mereka naiki.

Setelah Speedboat itu mendekat ke pinggiran sebuah talud yang berbentuk dermaga kecil di pinggir Pantai Dok II, terlihat sebuah tulisan Dinas Kebersihan dan Pemakaman (DKP) 03 di badan Speedboat tersebut.

Saya pun paham kalau dua orang bapak itu adalah petugas DKP yang sedang menjalankan tugas rutinnya ketika pagi tiba. Tapi di situ, rasa penasaran saya pun muncul dengan sejumlah pertanyaan yang mengharuskan saya untuk mencari tahu dari mana puluhan tumpuk plastik itu berasal.

Setelah membuka pembicaraan dengan kedua bapak yang diketahui bernama Petrus Youwe dan Melky Makanuay, saya mendapat sebuah jawaban yang sangat mengejutkan.

Dituturkan Pak Melky, puluhan plastik itu berisikan sampah yang dikumpulkan  dari lautan yang mengambang dan terbawa arus dari daratan kota. Hampir setiap pagi katanya sampah-sampah itu dikumpulkan dengan jumlah yang tidak sedikit.

Ironisnya, dijelaskan Pak Melky, sampah-sampah itu mengapung di sepanjang lautan yang berada di kawasan Dok V hingga Pasir VI atau jarak operasinya kiloan meter dari bibir pantai Dok II, hampir setiap paginya.

"Beginilah pekerjaan kami tiap pagi, sampah-sampah ini kita kumpul dari laut dan bentuknya macam-macam, ada sampah botol dan sampah-sampah rumah tangga," kata Pak Melky.

Ia menuturkan, Speedboat yang digunakannya bersama Pak Petrus adalah Speedboat ketiga dari total tiga Speedboat yang diberikan oleh pemerintah Kota Jayapura untuk petugas kebersihan di area operasi laut dalam mengatasi masalah sampah.

Namun kata Pak Melky, dari hasil operasinya bersama Pak Petrus setiap paginya bisa menjaring sampah-sampah di lautan hingga 25 plastik berukuran jumbo sekali beroperasi, dengan jenis sampah botol plastik yang paling banyak ditemukan.

"Sampah-sampah botol ini sekali operasi kita bisa kumpul sebanyak 25 plastik. Dari waktu beroperasi kita mulai jam 5 sampai jam 8 pagi," tuturnya.

Dengan pekerjaan yang membutuhkan keberanian dan bergantung pada cuaca  juga sesekali menghadapi berbagai macam kendala, lalu terlintas untuk saya menanyakan seberapa besar upah yang mereka terima dari pekerjaan itu.

"Kita bukan PNS, tapi hanya honor saja. Kalau gaji kita sebulan itu sekitar Rp2,4 juta. Tidak ada bonus, dan kita tetap bekerja ikhlas saja," kata Melky.

Pak Melky dan Pak Petrus merupakan anak adat Tabi atau suku asli di Jayapura yang tanpa mengeluh memungut sampah-sampah warga yang mengapung di lautan.

"Sudah lima tahun dan hampir enam tahun kita kerja setiap hari di laut. Di kala air surut, kita tidak beroperasi dan menunggu air pasang baru kami bekerja. Kita sama sekali tidak pernah mengeluh, karena kita juga cinta dengan negeri sendiri dan menjaga alam agar tetap bersih," ujarnya.

Di akhir perbincangan, Pak Melky hanya berharap agar masyarakat yang tinggal di Kota Jayapura sadar akan kebersihan lingkungan yang tentunya bakal berdampak pada kehidupan anak cucu di masa depan.

"Tanpa kami, kota tidak indah dan tanpa kami warga tidak sehat. Semoga masyarakat bisa sadar untuk membuang sampah tidak di sembarang tempat," tandasnya. *