Dugaan Ijazah Palsu Calon Bupati Merauke Pasca Pilkada Bagai Makan Buah Simalakama

Peter Tukan/Istimewa

Oleh: Peter Tukan*
“BAGAI makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati – Berhadapan dengan situasi sangat sulit, dengan pilihan keputusan yang serba salah”. 

Itulah setidaknya ungkapan tepat dan “pas” yang kini sedang bergulir pada seluruh proses politik lokal  masyarakat Kabupaten Merauke, Provinsi Papua pasca pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 yang baru saja kita sudahi  bersama.

Gonjang-ganjing politik lokal seputar proses dan tahapan Pilkada Kabupaten Merauke, diskusi politik, polemik dan debat kusir di belantera media sosial, media arus utama, media online, di warung kopi, rumah makan  dan dimana saja,  kini terpusat pada dugaan (praduga tak bersalah)  penggunaan ijazah palsu (asli tapi palsu) oleh RM- calon bupati Merauke yang pada Pilkada serentak 9 Desember 2020 meraih suara mayoritas -  lebih dari 57 persen suara rakyat Kabupaten Merauke memilihnya untuk memimpin rakyat Merauke selama sekitar lebih dari empat tahun ke depan.

Cikal bakal masalah

Salah satu tahapan Pilkada serentak tahun 2020 yang tercantum dalam PKPU RI Nomor 5 Tahun 2020 adalah verifikasi persyaratan pencalonan dan syarat calon yang di dalamnya terdapat pengumuman dokumen pasangan calon dan dokumen calon di laman KPU untuk memperoleh tanggapan dan masukan masyarakat (tanggal 4 – 8 September 2020).
KPU Merauke berdasarkan PKPU RI itu melalui Pengumuman  Nomor: 328/PL.02.2.Pu/9101/KPU.Kab/IX/2020 Tentang

“Masukkan dan Tanggapan Masyarakat Terhadap Dokumen Syarat Pencalonan Dan Syarat Bakal Pasangan Calon Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merauke Tahun 2020” yang ditandatangani Ketua KPU Merauke, Theresia Mahuse,SH memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat  Kabupaten Merauke untuk memberikan tanggapan dan masukan terhadap dokumen persyaratan pencalonan dan syarat calon bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Merauke.

KPU Merauke meminta masyarakat untuk  memberikan tanggapan dan masukan terkait  pasangan calon Pendaftar 1 Drs Romanus Mbaraka,MT - H.Riduwan, S.Sos, M.Pd;  Pendaftar 2: Heribertus Silvinus Silubun,SH - Bambang Setiadji,S.Sos; Pendaftar 3: Hendrikus Mahuse,S.Sos, M.Si -  H. Edy Santosa,B.Sc; Pendaftar 4: Herman Anitu Basik Basik,SH -  Sularso,SE.

KPU Merauke memberikan tenggat waktu penyampaian masukan dan tanggapan masyarakat itu pada 4 September hingga 8 September  2020. Masukan  dan tanggapan masyarakat dibuat secara tertulis dan dilengkapi dengan  identitas diri.

Berdasarkan pengumuman  KPU Merauke itulah maka,  pada 7 September 2020,  salah seorang warga masyarakat Merauke atas nama  Aloysius Dumatubun mengirimkan surat kepada KPU Merauke untuk memberikan tanggapan dan masukan terkait Pendaftar 1 atas nama  RM. Hal yang dipermasalahkan Aloysius adalah gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi yang disandang RM  selaku bakal calon bupati Merauke.
Kelihatannya, Aloysius sangat teliti mencermati copy ijazah Sarjana dan gelar Doktorandus (Drs) yang disandang RM yang diberikan perguruan tinggi STISIPOL Merdeka Manado. Begitu pula, Aloysius sangat cermat memperlajari berbagai peraturan yang mengisyaratkan bahwa pihak  yang berwewenang memberikan keterangan kelulusan dan gelar kesarjanaan seseorang, bukan oleh yayasan yang mengelola sekolah atau perguruan tinggi tetapi diberikan oleh lembaga pendidikan tempat orang itu belajar, mengikuti ujian Negara  dan menamatkan sekolahnya.

Ada dugaan (praduga tak bersalah) bahwa  telah terjadi tindakan menyalahi hukum terkait keabsahan ijazah kesarjanaan yang dipegang RM. Sebagai contoh, foto diri yang terpampang pada copy ijazah Sarjana (S1) Sosiologi yang dipegang RM berbeda dengan wajah RM yang sebenarnya. Tidak ada kemiripan samasekali. Begitu pula, pada copy ijazah tertulis “Koordinator Kopertis Wilayah.....”. Hal yang dipermasalahkan adalah mengapa titik-titik itu tidak ditulis Kopertis Wilayah berapa..? Pertanyaan susulan adalah,  apakah gelar Doktorandus  (Drs) itu layak  digunakan  oleh mereka yang menamatkan perguruan tinggi tahun 1993 dan seterusnya? Bukankah sudah terjadi perubahan sebutan gelar kesarjanaan?

Kelihatannya, Aloysius Dumatubun berpedoman pada dokumen Negara antara lain, Peraturan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh  Gelar Univeritas bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta; Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi; Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Nomor 154 Tahun 2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi.

Hal yang juga dipermasalahkan adalah terkait surat penjelasan pihak Yayasan Merdeka Manado tentang kelulusan dan gelar Sarjana (Drs) yang disandang RM. Pertanyaan mengelitik adalah, apakah yayasan punya wewenang memberikan penjelasan terkait hal ini ataukah perguruan tinggi STISIPOL Merdeka Manado? Dokumen yang dipegang Aloysius justru adalah dokumen dari pihak Yayasan Merdeka Manado yang memberikan keterangan tentang  kelulusan dan gelar Sarjana atas nama RM.

Patut diketahui bahwa pada 14 September 2020, Ketua Yayasan  Merdeka Manado, Drs A.D.Ewad Frederik, M.Si mengirimkan surat bernomor 340/STISIP/IX/2020  yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum Merauke sebagai jawaban atas Surat KPU Merauke tanggal 11 September 2020, perihal “Mohon Klarifikasi Kebenaran Ijazah”.

“Bahwa yang bersangkutan atas nama Romanus Mbaraka, tempat tanggal lahir Kalilam, 8 April 1969, NIRM 88 220 4125 adalah benar Lulus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (STISIPOL) Merdeka Manado sekarang sudah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (STISIPOL) Merdeka Manado dan yang bersangkutan mengikuti Ujian Negara dan telah mendapatkan ijazah terlampir,” tulis Ketua Yayasan Merdeka Manado itu.

Untuk gelar akademik, tulis  Frederik,  telah diatur sebagaimana dalam Kemendikbud RI Nomor 036/U/1993 Tentang gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi tanggal 9 Februari 1993, sedangkan ijazah yang bersangkutan dikeluarkan tanggal 12 Maret 1993, sehingga dapat kami jelaskan bahwa penggunaan gelar Drs oleh yang bersangkutan masih dibenarkan karena  saat itu berada dalam masa transisi.

Permasalahan keabsahan ijazah perguruan tinggi STISIPOL Merdeka Manado,ternyata terus bergulir sampai pada persoalan keabsahan  “ijazah” SMA YPPK Yoanes XXIII Merauke yang dipegang oleh RM yang masih sangat diragukan oleh publik karena di SMA ini pun, RM hanya  berbekalkan Surat Keterangan Kepala Sekolah yang format surat keterangan itu tidak sesuai dengan ketentuan yang termaktub di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pengesahan Fotokopy Ijazah/Surat tanda tamat Belajar, Surat Keterangan Pengganti Ijazah/STTB Jenjang Pendidikan dasar dan  Menengah.
Surat Keterangan sekolah SMA Yoanes XXIII Merauke tertanggal 7 Agustus 2015  untuk RM ternyata tidak disertai materai seperti yang seharusnya  ada berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 29 tahun 2014 itu.

Begitu pula, masih beberapa kekurangan yang termaktub pada Surat Keterangan kepala sekolah YPPK Yoanes XXIII Drs Kiko Aloysius dan diketahui oleh Sekretaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke, Benhur Rentandatu,SE.

Masih lagi ada dugaan kejanggalan terkait keabsahan ijazah pasca Sarjana  (S2) yang dimilki RM dari Institut Teknologi Bandung (ITB), begitu pula NIM yang termaktub pada dokumen Tesis Magister yakni angka  NIM-25498026  sama persis dengan NIM atas nama Yongky Gunawan Polonia NIM 25498026 dari  Universitas Kristen Petra. 

Dokumen-dokumen seperti ini, tentu saja  sangat mudah dan sangat cepat ditemukan dan dicermati ketika teknologi moderen pada zaman Revolusi Industri Keempat berkembang begitu cepatnya meninggalkan zaman batu tua atau paleolitikum pada 600 ribu tahun yang lampau  ketika  planet bumi ini masih dihuni pithecantropus erectus, homo soloensis, homo wajakensis dan meganthropus paleojavanicus.

Dilupakan”  KPU Merauke?

Permasalahan yang diangkat ke permukaan oleh masyarakat Merauke  (dalam hal ini saudara Aloysius Dumatubun) ternyata dilupakan  atau (mungkin) diabaikan oleh KPU Merauke ketika mereka berada pada tahapan verifikasi pasangan calon dan syarat calon.  

Seharusnya, KPU Merauke jangan dulu beranjak ke tahapan berikutnya. KPU Merauke harus menuntaskan dulu “masukan” dari masyararakat  (khusus terkait keabsahan Ijazah RM)  sebelum melangkah ke tahapan Pilkada berikutnya.

Ternyata, realitas hari ini  membuktikan bahwa berbagai tahapan Pilkada telah dilalui oleh KPU Merauke,  termasuk kegiatan pemberian suara  dan penghitungan suara di TPS pada 9 Desember 2020.  Kini tinggal tahapan susulan yaitu penetapan calon terpilih dan tahapan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih. 

Pertanyaannnya adalah,  lantas  bagaimana dengan masalah (keabsahan ijazah RM)  yang ditinggalkan atau tertinggal atau dilupakan atau terlupakan pada tahapan verifikasi itu?

Pihak lain, boleh-boleh saja mengatakan bahwa penjelasan atas pertanyaan Aloysius Dumatubun terkait keabsahan Ijazah RM itu sudah pernah dijawab oleh pihak Kepolisian Resort (Polres) Merauke Nomor B/1714/XII/RES.1.24/2020 yang ditandatangani Ipda Jimson Sitanggang atas nama  Kapolres Merauke dan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Merauke tetapi, isi surat tersebut bukanlah hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sendiri  oleh pihak Polres Merauke,  tetapi Ipda Jimson Sitanggang  merujuk pada surat keterangan dari Yayasan Merdeka Manado yang ditujukan kepada KPU Merauke tanggal 11 September 2020 padahal pertanggungjawaban hukum atas isi surat yayasan itu  diragukan karena pihak yang berhak memberikan penjelasan resmi tentang apakah RM benar-benar telah lulus ujian Negara dan berhak menyandang gelar Sarjana S1 (Drs) Ilmu Sosial adalah STISIPOL Merdeka Manado, bukan pihak yayasan.

Pendapat Lawyer dan Pengajar Hukum

Praktisi Hukum (lawyer) sekaligus Dosen Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Marianus Gaharpung,S.H, M.S berpendapat, KPU Merauke selaku lembaga penyelenggara pesta demokrasi Pilkada tahun 2020, sebaiknya  menunda dulu proses Pilkada lanjutan  termasuk tahapan penetapan calon terpilih, tahapan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih dan  proses persiapan dan pelantikan calon Bupati dan calon Wakil Bupati Merauke atas nama RM dan H.Riduwan sampai tuntasnya permasalahan dugaan pelanggaran hukum yang menimpa diri RM  yang kini sudah menjadi perbincangan publik.

“Pilkada 9 Desember 2020 di Kabupaten  Merauke sudah selesai dan paket RM dan H.Riduwan  meraih suara terbanyak 57 persen lebih. Pertanyaan publik sangat kritis adalah, apakah RM punya hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia,  wajib dilantik sebagai bupati bersamaan dengan pasangannya Riduwan sebagai wakil bupati Merauke?” 
Jawabanya adalah, pelantikan bupati dan wakil bupati Merauke dapat  dilaksanakan jika, semua persoalan hukum yang mengganjal RM sejak  awal pencolanan hingga hari ini sudah dituntaskan demi tercipta keadilan dan rasa adil seluruh rakyat Merauke. 

Sudah pasti bahwa di Kabupaten Merauke,  ada  kelompok masyarakat yang meminta agar permasalahan hukum RM harus diselesaikan lebih dahulu sebelum digelar seremoni pelantikan bupati dan wakil bupati Merauke. Mengapa?  Karena mereka  tidak ingin figur yang akan memimpin rakyat Merauke itu  masih terjerat   masalah hukum yang krusial terutama dugaan  bahwa RM memiliki ijazah palsu atau dugaan bahwa RM pada saat mendaftarkan diri di KPU Merauke tidak memperlihatkan kepada KPU dan publik  ijazah asli yang dimilikinya,   tetapi  menunjukkan Surat Keterangan Kelulusannya dan gelar Doktorandus (Drs)  yang diberikan oleh Yayasan Merdeka Manado selaku  pengelola perguruan tinggi tersebut.

Sebaliknya, terdapat pula kelompok warga masyarakat Merauke yang  mengatakan bahwa  sudah tidak ada lagi permasalahan hukum yang menjerat RM, karena sejak awal tahapan Pilkada dimana KPU mulai menggelar tahapan pendaftaran pada 4 September hingga 6 September 2020 serta tahapan verifikasi persyaratan pencalonan dan syarat calon termasuk keabsahan ijazah dan tes kesehatan bagi Paslon hingga 22 September 2020, RM (bersama pasangannya H.Riduwan) oleh KPU Merauke  dinyatakan tidak bermasalah terkait hukum. 

Di sini, terdapat dua sikap yang sangat kontras yang sedang berkembang di tengah  warga masyarakat  Merauke.  Oleh karena itulah Marianus  membuat analisis hukum sebagai berikut:
Pertama, apabila dugaan bahwa ijazah yang dimiliki RM  bermasalah, maka pihak yang menjadi korban adalah KPU, Bawaslu, pasangan calon bupati wakil bupati lainnya dan seluruh rakyat Merauke.  Lantas, langkah hukum apa yang harus dilakukan?   Jawabannya adalah KPU harus menghentikan secara menyeluruh tanpa kompromi sedikitpun proses dan seremoni pelantikan RM sebagai Bupati Kabupaten Merauke karena diduga bahwa  salah satu persyaratan yang diwajibkan oleh UU Pilkada telah dilanggar yaitu tentang keabsahan  ijazah Kesarjanaan (S1) yang dibawa oleh RM saat mendaftarkan diri di KPU Merauke.

Kedua, adalah kepada pasangan calon peserta  Pilkada  lainnya  (Hendrikus Mahuse- Edy Santoso dan Heribertus S.Silibun – Bambang Setiadji) yang diduga menjadi korban,  harus segera mengumpulkan alat bukti  dan barang bukti untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang tentang  adanya dugaan kuat pelanggaran Pasal 263 dan Pasal 266 KUH.Pidana.
Ketiga, warga masyarakat Merauke, apabila  menemukan bukti yang kuat, sah dan meyakinkan  secara hukum dan nurani, agar  sesegera mungkin  melaporkan  kepada aparat penegak hukum untuk dengan cepat pula mengambil langkah-langkah hukum yang kredibel dan terukur demi tegaknya kejujuran, kebenaran dan keadilan serta rasa adil seluruh rakyat.

Keempat,  Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)  yang diduga merasa adanya kecolongan dalam penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Merauke  harusnya berinisiatip untuk melakukan investigasi menyeluruh terkait  kebenaran dan keabsahan ijazah RM  dan jika dugaan ini menjadi benar, maka Bawaslu harus mengambil tindakan tegas dan terukur dengan memanggil dan meminta keterangan  RM dan pihak pihak terkait lainnya.

“Konsekuensi dari dugaan adanya permasalahan keabsahan ijazah yang dimiliki RM itulah maka pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan RM dan H.Riduwan   ditunda untuk batas waktu yang tidak ditentukan. 

Sedangkan terkait keabsahan penggunaan ijazah oleh RM, Marianus berpendapat bahwa polemik  keabsahan  ijazah itu dari aspek legalitas perlu dicermati secara benar karena yayasan bukanlah  lembaga pendidikan,  sehingga tidak bisa dan tidak berhak sedikitpun  mengeluarkan keterangan kelulusan.

Patut diketahui, di dalam yayasan terdapat  berbagai unit usaha,  salah satu unit usahanya adalah perguruan tinggi, dan yang boleh atau yang berhak memberikan surat kerangan kelulusan kepada seseorang alumni sekolah yang berada di bawah yayasan tersebut adalah perguruan tinggi itu, bukan  diberikan  pihak yayasan. 
Tugas yayasan adalah mengangkat dosen dan karyawan di dalam lingkungan yayasan serta memberikan kenaikkan pangkat kepada dosen.
 Dosen  berada di bawah yayasan,  tetapi untuk memberikan surat keterangan lulus, itu  bukan kewenangan ketua yayasan. Jika hal itu yang dilakukan yayasan maka,  berarti  yayasan telah bertindak  sewenang wenang atau tindakan tanpa wewenang. 

“Konsekuensinya adalah surat keterangan tersebut cacat prosedur dan cacat substansi, maka dari itu  harus batal demi hukum. Artinya,  semua tindakan hukum sebelumnya yang berkaitan dengan pencalonan diduga tidak pernah ada,” tegas Marianus.

Bagai Makan Buah Simalakama

Semua pihak di Merauke,  kini sedang berada di dalam situasi yang sangat dilematis. Pepatah mengatakan, “Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati – Berhadapan dengan situasi sangat sulit dengan pilihan keputusan yang serba salah.

Pada satu pihak, keabsahan ijazah RM masih terus dipermasalahkan publik Merauke dan akan terus bergulir di belantera penagakkan hukum positif;  tetapi pada pihak lain, realitas membuktikan bahwa RM dan pasangannya telah memenangkan  pesta demokrasi Pilkada tahun 2020 di Kabupaten Merauke dan karena itu harus dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Merauke.

Pihak KPU dan pihak-pihak lain dapat saja mengatakan bahwa semua tahapan Pilkada sudah dilaksanakan dengan baik, khususnya oleh penyelenggara Pemilu di Kabupaten Merauke dan karena itulah RM bersama Riduwan sudah boleh dilantik dan diambil sumpahnya untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Merauke hasil Pilkada serentak Tahun 2020.

Tetapi,  pihak lain pun berpendapat bahwa, permasalahan Pilkada di Kabupaten Merauke belum selesai -  dalam arti bahwa masih ada hal sangat krusial yang “mengganjal” kelanjutan tahapan proses Pilkada itu sendiri yaitu dugaan penyalahgunaan ijazah oleh RM pada saat dia bersama pasangannya mendaftarkan diri di KPU Merauke untuk ikut Pilkada tahun 2020. 

Di sini terlihat sangat jelas bahwa, ternyata  banyak orang samasekali tidak mempermasalahkan hasil Pilkada Merauke 9 Desember 2020 lalu yang telah memenangkan pasangan RM dan H.Riduwan,  sebaliknya, mereka justru mempermasalahkan legalitas ijazah RM yang menjadi salah satu persyaratan calon dan pasangan calon ketika ingin maju “bertarung” pada pesta demokrasi Pilkada 2020. Ijazah itu harus asli, sah dikeluarkan dan diakui  Negara, bukan ijazah hasil ujian lokal atau copy keterangan pihak yayasan.

Apabila permasalahan krusial ini tidak segera diselesaikan dan dituntaskan maka akan terdapat dua masalah yang kita hadapi bersama yaitu, pertama: pasangan RM dan H.Riduwan belum dapat dilantik dan diambil sumpahnya menjadi Bupati dan Wakil Bupati Merauke karena masih tersandung masalah hukum. 
Kedua: RM dan H.Riduwan tetap saja dilantik sesuai prosedur Pilkada yang sudah dan harus dijalani namun, dalam perjalanan kepemimpinannya nanti, RM akan terus “diganggu” dan sibuk berhadapan dengan urusan hukum di meja para penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim apabila dugaan ijazah palsu itu menjadi benar secara hukum! Ternyata, proses politik (Pilkada) tidak seiring-sejalan dengan proses hukum (dugaan penggunaan ijazah palsu).

Atau, RM, tetap dilantik menjadi Bupati Merauke bersama H.Riduwan sebagai wakil Bupati Merauke dan terus saja menjalankan tugas mereka memimpin pemerintahan Kabupaten Merauke  namun,  secara psikologis RM akan mengalami gangguan karena rakyatnya sendiri secara psikologis pula  “menolak” kepemimpinanya lantaran  merasa bahwa mereka justru dipimpin  oleh figur yang diduga berijazah palsu atau yang tidak punya ijazah samasekali  yang hanya bermodalkan surat keterangan.

Atau juga, dalam perjalanan sejarah demokrasi di Kabupaten Merauke, rakyat akan dengan mudah  mengatakan bahwa, kita tidak perlu bersekolah mendapatkan ijazah yang sah dari Negara karena orang yang tidak berijazah sah atau hanya bermodalkan surat keterangan dari sekolah atau yayasan saja,  sudah boleh (diperbolehkan) mencalonkan diri ikut  sebagai peserta Pilkada di Kabupaten Merauke. Contoh sudah ada, yaitu RM.

Sejarah kehidupan kita di bumi Cenderawasih ini menyatakan bahwa bagaimana pun juga dan sampai kapanpun juga, RM adalah anak kandung rakyat Kabupaten Merauke. Kita tidak dapat mengingkari realitas kesulungan ini dan karena itu pulalah kita tidak ingin, pada hari ini dan pada masa yang akan datang, publik  memandang RM sebagai pemimpin yang menahkodai rakyat Merauke tanpa punya  ijazah sekolah yang asli dan  sah serta  kita pun sama sekali tidak ingin publik “menghakiminya” sebagai pemimpin yang berbohong dalam proses Pilkada  serentak tahun 2020. Padahal, seorang pemimpin pemerintahan harus menjadi panutan bagi  rakyatnya!

Oleh karena itu, sebaiknya RM dan Timnya sesegera mungkin melakukan klarifikasi menyatakan dan menunjukkan kepada publik bahwa RM memang memiliki ijazah asli dan sah yang dikeluarkan oleh lembaga Negara dan layak menjadi pemimpin masa depan bagi seluruh rakyat Kabupaten Merauke.
Memang benar bahwa banyak warga masyarakat Merauke tidak mempermasalhkan atau menolak hasil sah Pilkada serentak 9 Desember 2020 di Kabupaten Merauke yang telah memenangkan pasangan RM dan H.Riduwan, namun...... apabila dugaan penggunaan ijazah palsu oleh RM ini, pada akhirnya benar secara hukum positif maka, seketika itu juga, dalam hitungan detik saja,  runtuhlah seluruh “bangunan” proses dan tahapan Pilkada serentak Tahun 2020 di Kabupaten Merauke.

Kita semua tentu saja  sama sekali tidak ingin pepatah tua  ini menjadi kenyataan yang sangat pahit dalam seluruh perjalanan sejarah berdemokrasi  di Tanah Papua: ”Sekalipun kebohongan itu berlari secepat kilat, pada suatu saat, kebenaran itu akan mengalahkannya!” Semoga yang ini, tidak  sampai terjadi!

Akhirnya, kita berdoa dan berharap, “Semoga Kejujuran dan Kebenaran, Damai dan Keadilan membaharui wajah Bumi Cenderawsih dan melimpahi semua penghuninya dengan Kegembiraan dan Kesejahteraan berlimpah!  Et In Terra  Pax Hominibus  Bonae Voluntatis – Dan Damai di Bumi bagi orang-orang yang Berkenan kepadaNYA!


*Peter Tukan: Jurnalis