Pansus Papua DPD RI Prihatin Kontak Senjata Tewaskan Dua Prajurit TNI

Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum/Istimewa

MANOKWARI- Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum mengaku prihatin dan berbelasungkawa atas gugurnya dua prajurit TNI, Lettu Inf. Erizal Zuhri Sidabutar dan Serda Rizky dalam kontak tembak dengan kelompok separatis bersenjata di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Rabu (17/12) lalu

Dia menyayangkan terjadinya aksi kontak tembak tersebut. Menurutnya, menyelesaikan persoalan Papua harus menggunakan pendekatan hati ke hati. Apalagi Pansus Papua DPD RI saat ini sedang bekerja untuk menciptakan kedamaian tanah Papua.

"Pansus Papua, pertama-tama menyampaikan keprihatinan dan belasungkawa yang mendalam atas gugurnya para personel TNI tersebut, maka kita berharap agar peristiwa serupa tidak terulang lagi" ungkap Wamafma, Jumat (20/12).

Filep mengakui, peristiwa semacam ini bukanlah sekali dua kali terjadi di daerah rawan konflik semacam di Intan Jaya, Papua.  Namun sudah berulang kali terjadi di daerah rawan konflik bersenjata  lainnya seperti di Nduga, Puncak, Puncak Jaya, Mimika

Menurut dia, terus berulangnya peristiwa penembakan itu terjadi, maka seharusnya membuka mata berbagai pihak bahwa semua persoalan di Papua harus segera diselesaikan.

"Persoalan semacam ini juga sejatinya membuka hati nurani semua orang bahwa nuansa kebencian sedang berakar dan berkembang di Tanah Papua, mengapa demikian?, Dimana konflik yang terjadi sesungguhnya merupakan letupan-letupan dendam akibat saling menyerang, saling menuding kesalahan, saling mempertahankan ego, baik pihak pemerintah, maupun pihak KKB" urai Filep

Tinggalkan Pendekatan Militer

Untuk itu, dalam keadaan semacam ini, pendekatan-pendekatan berkarakter militeristik sudah sepantasnya ditinggalkan, demikian juga halnya perlawanan yang bernuansa militer.

“Ini berarti ada kepentingan lain yang lebih besar yang harus dilindungi, yaitu masyarakat sipil yang tidak ingin wilayahnya menjadi ajang pertumpahan darah atau bahkan menyaksikan sendiri adanya pertempuran antara saudara sebangsa,” tukasnya.

Oleh karena itu kedamaian rakyat sipil pula sehingga kedua belah pihak, TNI dan kelompok separatis bersenjata perlu menahan diri untuk memikirkan langkah-langkah konstruktif kooperatif, sehingga kedamaian di Papua dapat dirasakan. Sesungguhnya tidak mudah mendudukkan "singa" dan "harimau" pada satu meja, kecuali kepada keduanya dihadirkan santapan yang sama lezatnya.

“Meskipun tidak mudah, maka Negara harus memastikan bahwa baik TNI maupun KKB harus duduk bersama dan bicara dari hati ke hati tentang masa depan anak-anak Papua dan kedamaian yang seharusnya dirasakan di Papua,” katanya.

Kemudian dalam pola pikir yang sama, para elit politik daerah seraya memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, lalu perlu mengambil langkah-langkah konkrit yang mendukung terciptanya ruang dan waktu untuk duduk bersama dan membicarakan masalah Papua secara jujur.

" Keadilan yang dicari adalah keadilan yang penuh kejujuran tentang sejarah, perjuangan, pembangunan, dan penegakan Hak Asasi Manusia. Selama semua itu belum ditempatkan pada ruang kejujuran, maka keadilan dan kedamaian di Tanah Papua hanya merupakan sebuah utopia berkepanjangan" lanjut dia.

Dalam kesempatan ini, Pansus Papua dalam cinta dan cita-cita membangun zona damai di Tanah Papua mendorong adanya dialog dari hati ke hati, dalam posisi horizontal antara Pemerintah Pusat dengan para tokoh agama, kaum intelektual, para pemuda Papua, dan bahkan semua gerakan yang "dipandang separatis" di Tanah Papua.

Hal ini juga pada gilirannya akan membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berkeadaban, yang memberikan ruang terbuka bagi perbedaan-perbedaan kepentingan, bahkan ideologi sekalipun.

"Sudah saatnya Pemerintah Pusat memperhatikan permasalahan di Papua secara serius. Pembalasan dendam dan kesedihan akan terus mencederai masyarakat sipil, dan mungkin juga para militer, bila tidak ada perhatian serius tentang hal ini" katanya.**