Belajar Mensyukuri Hidup dari Ninik Wayan, Tukang Pijat Jalanan di Pantai Kuta

Pimred Wartaplus saat dipijat oleh Nik Wayan di Pantai Kuta, Bali /Djarwo

JAYAPURA -Sore itu, Kamis (31/10), di bawah terik matahari yang menyengat di Pantai Kuta, Bali, tak ada yang istimewa selain pemandangan para bule (turis) yang lalu lalang dan tiduran di atas pasir putih Pantai Kuta serta wisatawan lokal yang tengah menanti matahari terbenam. Aneka minuman dingin, makanan dan pedagang souvenir juga tersaji disitu.

Namun seketika mata ini dibuat takjub dengan sosok seorang Nenek atau dalam bahasa Bali disebut Ninik yang terlihat rentah namun masih kuat berjalan diatas pasir pantai sambil memikul sebuah kursi plastik.

Dalam hati saya bertanya, apa yang dijual oleh Ninik tua rentah itu, tapi kok hanya membawa sebuah kursi? semakin dekat berjalan ke arah kami, barulah saya tahu kalau si Ninik sedang menawarkan jasa pijat hanya dengan bermodal sebotol minyak dan kursi plastik itu.

Pimpinan Redaksi wartaplus.com Vanwi Subiyat yang juga berada disitu lalu memanggil sang Ninik dan menanyakan tarif pijat yang ditawarkan. Sang Ninik menjawab Rp 100 ribu perjamnya dengan layanan pijat kepala, tangan dan punggung. Vanwi pun berminat dengan tawaran jasa sang Ninik.

Sebenarnya sang Ninik juga menawarkan pijat kaki, namun  Vanwi merasa canggung dan menilai tak sopan jika seorang ibu yang lebih tua harus memijat kaki orang yang lebih muda.

"Nggak usah Bu, jangan di kaki, cukup tangan dan punggung saja Bu," jawab Vanwi

Sambil menaruh kursi plastiknya diatas pasir, Sang Ninik yang hanya mau menyebut namanya dengan sebutan Ninik Wayan ini lalu meminta Vanwi duduk di kursi tersebut dan mulai memijat.

Sementara saya dan tiga orang rekan lainnya asyik menikmati segarnya bir dingin sambil menanti matahari terbenam atau sunset dari bibir Pantai Kuta yang sudah tersohor hingga ke seluruh penjuru dunia.

Gantungkan Nasib pada Keelokan Sunset

Matahari belum juga terbenam sore itu, saya menyempatkan berbincang dengan Ninik Wayan yang nampak telah letih memijat punggung Vanwi. 

"Nek, sejak kapan kerja seperti ini? Kenapa nggak kerja yang lain saja Nek atau istirahat saja di rumah," tanya saya yang kasihan melihat wajah letih Nik Wayan.

"Sudah dari tahun 1982 nak, masih zamannya Pak Harto waktu itu. Nggak ada kerja lain selain ini saja, karena di kampung juga mau kerja apa nak," jawab Nik Wayan.

Sambil memainkan kedua tangannya di punggung Vanwi, perbincangan saya dan Nik Wayan terus berlanjut. Banyak hal yang saya tanyakan, tapi ada rasa iba saat mendengar kisah hidup sang Ninik.

Nik Wayan yang mengaku usianya telah menginjak 75 tahun ini sehari-harinya hanya bekerja sebagai tukang pijat yang menawarkan jasa pijat kepada para wisatawan yang sedang berlibur di kawasan Pantai Kuta. Ia menggantungkan nasibnya pada keelokan sunset.

Kesehariannya, Nik Wayan harus menghabiskan ongkos ojek motor sebesar Rp 40 ribu sekali pulang pergi. Ya, rumah Nik Wayan berada jauh dari pusat keramaian, tepatnya di wilayah pelosok selatan Bali yang letaknya didominasi oleh rawa.

Itu sebabnya Nik Wayan tak punya pilihan untuk mencari pekerjaan lain selain menjadi tukang pijat di Pantai Kuta, bahkan tak hanya Nik Wayan saja, hampir kebanyakan warga kampungnya juga berprofesi yang sama. 

"Rumah kami jauh letaknya, daerahnya banyak rawa. Jadi tiap harinya harus naik ojek pulang pergi ongkosnya Rp 40 ribu. Kami baru bisa pulang sehabis sunset saat pantai sudah sepi," ujar Nik Wayan.

Tak Pernah Mengeluh

Bagi Ibu rentah ini, asal bisa mencukupi buat makan anak-anak di rumah, ia sudah merasa senang. Sayangnya, pendapatan mereka kian lesu semenjak tragedi bom Bali berapa tahun lalu.

"Saya kerja buat makan, yang penting cukup buat makan dan sekolahnya anak-anak. Tapi sekarang ini sudah sepi semenjak bom itu," tuturnya.

Ada sebuah pesan dari Nik Wayan yang bisa menjadi motivasi bagi kebanyakan orang. Di tengah keterbatasan hidupnya dan di tengah perekonomian Bali yang maju pesat sebagai daerah pariwisata kelas satu, ia tak sedikit pun mengeluh dengan keadaan.

Ia tak pernah memangku tangan dan berharap belas kasihan pemerintah, walaupun dirinya juga tahu Tanah leluhurnya itu kini telah berkembang pesat.

Baginya, hidup adalah tentang keseimbangan, tak ada rasa iri dan emosi. Ia bahkan merasa sudah cukup pemerintah hanya membantunya mengenal aksara membaca dan menulis dari program-program pelatihan, walau kenyataannya ia harus kembali mengais rejeki di bawah terik matahari yang menyengat.

"Tidaklah, saya tidak mengeluh sama sekali, justru pemerintah sudah bantu kita lewat pelatihan. Saya sebelumnya tidak tahu membaca dan menulis, karena pelatihan dari pemerintah akhirnya saya bisa," pungkasnya.**