Presiden Jokowi Tidak Berhasil Memelihara Prinsip Dasar Bhineka Tunggal Ika

Foto ilustrasi

JAYAPURA- Mencuatnya kasus rasialisme di Surabaya pasa 16 - 17 Agustus 2019 lalu sesungguhnya bukti nyata Presiden Jokowi tidak berhasil memelihara prinsip dasar Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika merupakan salah satu dari 4 ( empat ) pilar kebangsaan yang wajib dirawat, ditegakan dan dipertahankan oleh setiap warga negara apa lagi oleh Presiden. Ini diungkapkan tokoh Papua Paskalis Kossay kepada Wartaplus.com, Rabu (28/8) 7pagi.

Kata dia, kegagalan Presiden Jokowi dalam hal ini nampak dari respon awal Jokowi atas kasus rasial Surabaya begitu terkesan santai dengan mengungkapkan, pace mace , mama mama di Papua mari kita saling memaafkan.

Pernyataan demikian terkesan kuat bahwa Jokowi sangat meremehkan kasus yang amat serius merusak nilai persatuan dan kesatuan bangsa itu. Padahal kasus ini sangat serius dan berdampak luas dalam dimensi ideologi, politik, sosial dan hukum. Dalam konteks kebangsaan, munculnya kasus ini justru mencabi-cabik semangat kesatuan dan persatuan bangsa.

"Meluasnya dinamika aksi demonstrasi rakyat papua terhadap ujaran rasial tersebut menunjukan  eskalasi perpecahan relasi sosial antar sesama warga negara semakin terancam. Semangat kesatuan dan persatuan bangsa semakin terkoyak dan terciptanya peluang baru tumbuhnya bibit disintegrasi nasional,"ujar penulis Dinamika Politik Indonesia Dibaca dari Papua.

Tetapi Jokowi melihatnya sesuatu hal biasa. Hanya persoalan kecil bagian dari dinamika kehidupan sosial masyarakat. Mungkin cara pandang Jokowi atas kasus ini barang kali benar adanya.

 Lanjut dia, sebab pandangan umum orang Indonesia terhadap orang papua ujaran rasial  seperti sebutan monyet itu hal biasa yang selalu dicemooh ketika pelampiasan rasa kebenciannya kepada orang Papua. Sehingga kasus rasial Surabaya bukan yang pertama melainkan hitungan yang ke sekian kalinya.

 "Kata-kata cemoohan monyet pada orang Papua rupanya sudah menjadi kebiasaan umum bagi orang Indonesia. Dari waktu ke waktu orang Papua tak pernah luput menerima cemoohan monyet dari orang Indonesia. Yang lebih sering menerima ujaran rasial monyet ini adalah anak-anak mahasiswa diluar Papua dan tim Persipura Jayapura ketika bermain diluar kandang,"ujarnya.

Oleh karena itu meluasnya aksi protes bagi orang papua terhadap kasus Surabaya merupakan titik balik dari akumulasi kekecewaan rakyat Papua terhadap cemoohan rasial tersebut. Karena itu apapun tindakan destruktif dalam aksi-aksi demo rakyat Papua diwilayah Papua dan papua Barat merupakan konsekwensi logis yang harus harus dipahami bersama terutama dalam rejim pemrrintahan Jokowi.

Proses Hukum

"Maka dari itu pemerintah jangan memudahkan masalah yang bernuansa rasial ini dengan mengalihkan akar masalah seolah - olah masalah lain yang bernuansa politik . Masalah politik justru muncul sebagai ekses dari kekecewaan masalah rasial. Karena itu pemerintah tetap berfokus pada penyelesaian masalah utama, yaitu menyelesaikan kasus rasisme Surabaya dengan tegas dan tuntas. Mengadili semua pelaku yang terlibat dalam ujaran rasial tersebut melalui proses hukum yang terbuka dan transparan,"tegasnya.

Dampak rasialisme menyentuh pada kepribadian martabat kemanusiaan. Mengubah sejarah politik dunia juga merupakan akibat dari konstelasi rasialisme. Munculnya politik apatheid Afrika Selatan oleh Nelson Mandela, politik persamaan hak bagi kulit hitam Amerika Serikat oleh Marthen Luther King, politik bangkitnya nasionalisme Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda , semuanya bersumber dari politik rasialisme.

 "Belajar dari pengalaman sejarah politik tersebut diatas, maka Presiden Jokowi jangan menyederhanakan masalah rasisme di Indonesia. Harus menjadi perhatian lebih supaya bibit - bibit rasisme bernuansa SARA tidak lagi tumbuh subur dinegara Pancasila yang ber - Bhineka Tunggal Ika,"ujarnya.