Pengukuhan Kepala Suku George Elnadus Supit Dicabut dan Penyerahan 90 Hektar Tanah kepada TNI Dibatalkan

Para narasumber saat jumpa pers di Susteran Maranatha/Roberth

JAYAPURA-Pada 26 September 2018, di Wuluwaga, Kampung Kimbim, Distrik Asologaima, Kabupaten Jayawijaya terjadi peristiwa pengukuhan Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit menjadi Kepala Suku Besar Papua oleh Kepala Suku Alex Doga dan Habo Holago. Selain acara pengukuhan, pada kesempatan itu juga, Kepala Suku Alex Doga yang mengatasnamakan sukunya menghibahkan tanah seluas 90 hektar kepada pihak TNI.  

Ini diungkapkan Presiden Gereja Baptis di Tanah Papua, Pdt. Dr. Socrates Sofyan Yoman dalam pernyataan pers di Aula Maranatha, Kamis (11/4) pagi, bersama  Ketua MRP Timotius Murib, Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Pastor Wilhelmus I.Gonsalit Saur OFM, Ketua Sinode Ketua KINGMI Papua, Pdt. Dr. Beny Giay

Dikatakan, pengukuhan sebagai Kepala Suku Besar serta pelepasan tanah dilakukan oleh segelintir tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Alex Doga, putra dari kepala suku besar Silo Doga.

Kejadian ini cukup menjadi perhatian publik di Tanah Papua, khususnya masyarakat di Kabupaten Jayawijaya, lebih khusus para pemilik ulayat di Wuluwaga, Kampung Tikawo. Masyarakat asli di Jayawijaya berkeberatan dan melakukan protes. Hal ini berpotensi menciptakan konflik horisontal antarmasyarakat dan menguntungkan pihak tertentu.

Untuk mendalami protes ini, Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua membentuk tim dan melakukan investigasi. Berdasarkan hasil investigasi, menjadi jelas bahwa penolakan akan pengukuhan serta penyerahan tanah ini sudah dimulai sejak awal perencanaannya, yakni awal September 2018. 

"Tokoh-tokoh masyarakat menyampaikan keberatannya bukan saja di lingkungan mereka sendiri melainkan juga bertempat di Kodim 1702 Jayawijaya di Wamena. 
Penolakan ini tidak dihiraukan sama sekali oleh Alex Doga dan kelompoknya serta TNI. Setelah acara pengukuhan dan penyerahan tanah dilaksanakan, aksi protes menjadi lebih massal dan lebih terorganisir sampai muncul pernyataan penolakan terhadap pengukuhan Kepala Suku Besar dan penyerahan tanah yang rencananya akan dibangun fasiltas milter, yakni Brigade, "ujar Pdt Socrates.

Diungkapkan, sepanjang September  November 2018, masyarakat adat di Wuluwaga, Kimbim, dan didukung oleh mahasiswa yang ada di Kabupaten Jayawijaya (aksi di kantor DPRD Jayawijaya), Kota Jayapura (aksi di kantor MRP), Manokwari, Jawa, Bali dan Manado melaksanakan aksi protes/penolakan mereka terhadap pengukuhan kepala suku dan penyerahan tanah 90 hektar tersebut.

Ditegaskannya, dasar protesnya masyarakat asli merujuk pada setiap tradisi di Tanah Papua, tidak sembarang setiap suku mengangkat atau mengukuhkan orang menjadi seorang Kepala Suku Besar.

Tegasnya, selain itu pelepasan tanah mutlak perlu dibicarakan secara bersama karena konsep kepemilikan tanah adalah komunal, kepemilikan bersama. Sejumlah unsur latar belakang tambahan yang ditonjolkan dalam protes masyarakat adalah

1. Seorang Kepala Suku tidak diangkat atau ditentukan tetapi berdasarkan seleksi alam dan turun-temurun

2. Masyarakat memandang tanah adalah ‘mama’, yang selalu memberikan kehidupan

3. Pelepasan tanah akan membahayakan masa depan anak cucu masyarakat adat Omarekma

4. Masyarakat setempat meyakini bahwa tanah Wuluwaga adalah tempat yang sakral; pelepasan tanah dapat menjadi ancaman para leluhurnya terhadap masyarakat adat Omarekma

5. Masyarakat ingin menghindari munculnya konflik horizontal diantara kedua kubu.

6. Pengukuhan Pangdam serta penyerahan tanah, menghidupkan kembali pengalaman traumatis tahun 1977-1978, saat operasi militer di Pegunungan Tengah yang menuntut ratusan korban; ditambah lagi pengalaman kehadiran Batalyon 756 Wimane Sili. 

Ditegaskan Pdt Socrates, berdasarkan pergumulan serta penolakan masyarakat adat di Wuluwaga, Kimbim, Jayawijaya, maka kami pimpinan-pimpinan Gereja di Tanah Papua menyatakan;

1. Mantan Pangdam XVII Cenderawasih Mayor Jenderal George Elnadus Supit, melepaskan dan  mengembalikan dengan bermartabat mandat dan pengakuan atas Kepala Suku Besar Pegunungan Tengah Papua.

2. TNI menghentikan proses pengambilalihan 90 hektar tanah milik Masyarakat Adat wilayah Aliansi Omarikmo-Huwula-Balim

3. TNI, dalam hal ini Kodam XVII Cenderawasih supaya menghormati peraturan adat dan nilai-nilai baik yang ada di masyarakat guna menghindari konflik horizontal

4. TNI, Kodam XVII Cenderawasih, supaya mensosialisasikan dalam kalangan intern mengenai sejarah penderitaan masyarakat adat di sejumlah wilayah di Papua, termasuk wilayah adat Omarikmo 

5. Pemerintah Provinsi Papua (DPR Papua, Gubernur, MRP, Kanwil Hukum dan HAM serta Instansi Teknis) untuk “Segera” menerbitkan produk Hukum yakni Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) yang Memproteksi seluruh Hak Orang Asli Papua (OAP) dari aspek Sipol-politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya serta pemanfaatan dan pendayagunaan tanah dan lingkungan hidup.

6. Pemerintah Daerah atau instansi terkait Badan Pertanahan Nasional diminta untuk tidak melakukan segala kegiatan pengukuran tanah di wilayah Masyarakat Adat wilayah Aliansi Omarikmo-Huwula-Balim

7. Pemerintah Kabupaten Jayawijaya (DPRD, Bupati, serta Instansi Teknis) tidak turut serta dalam kemauan satu pihak (TNI), tetapi berinisiatif mendorong kesejahteraan, memproteksi lingkungan dan tanah milik masyarakat adat serta memajukan dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat berbasis kearifan lokal.

8. Masyarakat Adat, supaya membahas tindakan-tindakan yang perlu disetujui bersama guna menghindari perpecahan dalam komunitas adat yang mengancam masa depan seluruh masyarakat adat. 

9. Dewan Adat Papua Wilayah Lapago, meningkatkan perhatian kepada masyarakat dalam wilayah adat yang menjadi perhatiannya

10. Para pemimpin gereja turut serta menjaga, melindungi masyarakat, serta mengarahkan/mengendalikan moral umat, agar masyarakat tidak dengan terjerumus umat tidak hancur/terlena dalam dinamika globalisasi masa kini.

11. Lembaga-lembaga swadaya Masyarakat bergerak di bidang kemanusiaan dan lingkungan hidup turut serta mendampingi/mengawasi masyarakat lokal, berikan pemahaman yang baik untuk tetap mempertahankan eksistensi hak hidup OAP.