Ini Hasil Investigasi Yayasan Keadilan Keutuhan Manusia Papua di Nduga

Direktur Yayasan Keadilan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem/Roberth

JAYAPURA-Yayasan Keadilan Keutuhan  Manusia Papua mengklaim paska  insiden pembantaian belasan pekerja jalan Trans Papua oleh Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) di Distrik Jigi Kabupaten Nduga, awal Desember 2018 lalu, situasi daerah tersebut cukup mencekam. Masyarakat setempat memilih untuk mengungsi karena takut dan trauma, terutama anak anak.

Berikut hasil investigasi Yayasan Keadilan Keutuhan Manusia Papua yang dibeberkan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan Keutuhan  Manusia Papua, Teo Hesegem dalam jumpa pers di Kantor Aliansi Demokrasi Papua, Padang Bulan Abepura, Kamis (13/3) sore. Dalam jumpa pers tersebut juga hadir Perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP), Luis Madai serta Tim Relawan Pengungsi Nduga, Raga Kogoya.

Bahwa pada 2 Desember 2018 lalu, terjadi peristiwa pembantaian belasan pekerja PT Istaka Karya di puncak gunung Kabo yang berada di perbatasan antara Distrik Yal dan Distrik Yigi.

Lalu keesokan harinya, 3 Desember, tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka  (TPN-PB/OPM ) atau   KKSB (versi TNI) melakukan penyerangan di Pos Batalyon 756 Distrik Mbua yang mengakibatkan 1 anggota meninggal dunia dan 1 mengalami luka-luka .  

Setelah itu, pada 4 Desember 2018, TNI melakukan serangan melalui  udara di beberapa tempat baik Distrik Mbua, Distrik Dal, Bulmuyalma, gunung Kabo, Distrik Jigi, Distrik Nirkuri, dan sekitarnya. 

“Dampak dari penyerangan yang dilakukan aparat militer melalui serangan udara mengakibatkan beberapa masyarakat sipil tertembak mati dan mengalami luka-luka. Ada yang yang menggalami penyiksaan misalnya atas nama  Yuwes Wijangge dari Mapunduma dan  Pendeta Geyimin Nirigi yang  dikabarkan dibunuh sedangkan Kodam Cenderawasih Papua mengatakan di media bahwa Pendeta tersebut masih hidup,”ujarnya. 

Lanjut Theo, usai timnya melakukan Investigasi dan keluarga mengecek keberadaan  pendeta  tersebut di Distrik Mapunduma tanggal  26-27 Januari 2019. “Kami tidak sempat bertemu pendeta tersebut dan hingga hari ini keluarga belum menerima informasi terkait dengan keberadaan pendeta Geyimin N, sehingga kami perpendapat bahwa pendeta tersebut telah dilakukan upaya penghilangan paksa,”tudingnya.

Sementara itu, investigasi yang dilakukan di Distrik Mbua, Distrik Dal, Distrik Mbulmuyalma, masyarakat setempat menyampaikan bahwa anggota militer (TNI) menurunkan  bom. Namun sekali lagi hal itu dibantah oleh Kodam Cenderawasih, yang mengklaim bahwa bom  itu  hanyalah bom asap yang tidak membahayakan. 

“Tim investigasi bertemu dengan beberapa saksi mata mengatakan bom yang diturunkan pecah dan berasap lalu bau rasanya. Kedua pendapat yang berbeda di atas bom atau granat perlu dibuktikan melalui pemeriksaan  laboraotorium forensik, yang bisa dapat membuktikan bahwa bom atau granat, sehingga bisa lebih jelas bagi masyarakat lokal, nasional, dan internasional," bebernya.

Theo mengungkapkan, sejak peristiwa pembantaian dan pencarian TPNPB OPM oleh militer berlangsung hingga sampai hari ini di Nduga, masyarakat sipil Kabupaten Nduga sudah merasa tidak aman dan bebas untuk berkarya dikampung halaman mereka. 

“Seperti tragedi kemanusiaan dimana masyarakat semua telah mengungsi ke hutan dan bersembunyi di gua, ada yang mengungsi di beberapa tempat Kabupaten Lani Jaya, juga  Distrik Balingga dan Distrik Kwijawagi, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Timika, Distrik Paroh dan Distrik Korah Kabupaten Nduga," ujarnya

Warga Takut Aparat dan OPM

Dalam investigasi juga ditemukan banyak rumah warga yang telah kosong, Theo menyebut hal itu karena aparat militer yang melakukan pengrusakan rumah rumah warga di sejumlah Distrik. Semisal pintu-pintu rumah, dan perabotan didalamnya yang berhamburan bahkan ada sebagian yang telah hangus dibakar. Kondisi inilah yang menyebabkan, warga tak mau menempati rumahnya dan memilih mengungsi ke hutan belantara

“Hasil Investigasi kami sebenarnya masyarakat sipil rasa takut terhadap militer/polisi dan juga OPM, mereka takut kedua-duanya, karena mereka berperang mengunakan senjata, yang mengakibatkan masyarakat sipil mengalami korban jiwa sehingga mereka tidak bisa kembali masuk ke kampung. Menurut mereka ketika tim bertemu mereka mengatakan tidak bisa masuk ke kampung mereka kecuali TNI/ Polri atau OPM masing-masing mengundurkan diri dan tidak perang,” ungkapnya

Minta Dialog Dengan ULMWP

Kami juga melihat perang antara  TPNPB OPM  dan militer/Polisi yang sedang berlangsung di Kabupaten Nduga, selama kurang lebih 4 bulan  memakan korban jiwa dari pihak masyarakat sipil dan juga pihak TNI/Polri sehingga sangat membutuhkan dialog dengan ULMWP dan Pemerintah Indonesia yang difasilitasi pihak ke tiga.

“Kami juga menyampaikan keperihatinan kami bahwa dampak dari peristiwa Nduga, masyarakat sebagai umat Tuhan yang harus beribadah dengan tenang, tetapi sejak itu tidak bisa melaksanakan ibadah  mingguan.  Gereja menjadi  kosong dan tidak ada jemaat dimana  seluruh pendeta yang ada disana melarikan diri bersembunyi di hutan bersama dengan jemaat yang mengungsi,”ungkapnya lagi.

Sekolah Lumpuh Total

Sementara itu tim Relawan Pengungsi Nduga, Raga Kogoya mengungkapkan keperihatinan terkait proses belajar dan mengajar pendidikan di Kabupaten Nduga tidak berjalan lumpuh total. Pelayanan kesehatan juga tidak bisa berjalan seperti biasanya, sedangkan ibu-ibu disana ada yang melahirkan anak-anak di hutan ditempat pengungsian tanpa ada petolongan dari medis. 

“Akhirnya  ada beberapa ibu dan anak meninggal dunia saat persalinan ada  beberapa anak kecil juga mengalami sakit dipengunggsian, masyarakat sipil juga ada yang meninggal dunia saat mereka berada dalam pengungsian,”sedihnya. 

Raga juga menyampaikan keprihatinan terkait dengan anak-anak yang mengungsi dan terpaksa bersekolah di Wamena. 

“Dinas pendidikan membangun tenda di halaman Gereja Weneroma Kabupaten Jayawijaya Distrik Napua untuk proses belajar mengajar. Rencana pemerintah mengirim kembali anak-anak ke Nduga dapat dipikirkan dengan baik, menyangkut dengan situasi keamanan disana.Mereka sudah aman dan nyaman disini,"katanya. 

Dia mencatat jumlah anak pengungsi yakni sebanyak 637 orang terdiri dari siswa SD, SMP dan SMA. Sedangkan yang akan mengikuti ujian nasiona berjumlah 200 siswa.Sedangkan guru-guru yang mengungsi 70 orang  

Menurut kami tidak ada masalah kalau anak-anak bisa mengikuti ujian di Wamena. “Kami juga pikir guru-guru pasti tidak rasa aman juga dan trauma untuk pergi ke kabupaten Nduga. Sehingga proses ujian bisa dilakukan di Wamena,"ujarnya

“Kami sangat mengharapkan kepada pihak aparat TNI dan Polri tidak melakukan kunjungan-kunjungan di sekolah yang dimaksud, kami yakin bahwa anak-anak itu mengungsi ke Wamena karena rasa takut dan trauma sehingga mencari rasa aman datang ke Wamena. Sehingga memberikan mereka pelayanan rasa aman dan wajib di lindungi. Kami yakin bahwa kehadiran Militer dan Polisi pasti mereka akan mengingat kembali traumanya itu,“ katanya

Anggota DPR Kabupaten Nduga Ikabus Wijangge sependapat dengan Raga Kogoya, agar anak kanak tetap saja berada di Wamena. “Disini mereka merasa nyaman biarkan mereka disini dulu hingga ujian,”pintanya.*