Organisasi Masyarakat Sipil Lintas-Provinsi Merangkul Pemerintah Untuk Segera Implementasikan Moratorium Sawit

Foto Istimewa

JAKARTA-Masa berlaku Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit tinggal 32 bulan.

Dengan singkatnya waktu, ditambah hiruk-pikuk tahun politik yang berpotensi mengalihkan perhatian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dimandatkan untuk mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan moratorium sawit ini perlu secepatnya membentuk Tim Kerja secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal.

Tidak hanya itu, ketujuh K/L penerima instruksi lain, termasuk para Bupati dan Gubernur di wilayah-wilayah yang memiliki perkebunan kelapa sawit juga harus segera membentuk Kelompok Kerja untuk membantu menjalankan mandat-mandat yang tercantum dalam Inpres 8/2018.

Berdasarkan laporan KPK-GNPSDA 2018, ada 25 provinsi dan 247 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki tutupan sawit dengan jumlah mencapai 16,8 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 82 persen atau 14 juta hektare sawit nasional terkonsentrasi di 8 provinsi saja, yakni Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Aceh, dan Jambi. Lebih dari sepertiga tutupan sawit atau 6 juta hektare terkonsentrasi di 15 kabupaten/kota. Dari 16,8 juta hektare tersebut, 3,4 juta hektare berada di kawasan hutan dan oleh karenanya harus dievaluasi.

“Sangat penting memastikan moratorium sawit berjalan di tingkat Kabupaten,” ujar Saifuddin Irhas, Direktur Eksekutif BYTRA. “Menteri Dalam Negeri harus bisa memastikan kepatuhan para Bupati dan Gubernur yang seringkali abai akan kebijakan ini atau tidak terinformasikan dengan baik.”

Percepatan implementasi moratorium sawit penting karena besarnya potensi kerugian negara akibat tata kelola sawit yang buruk. Kerugian ini mencakup kerusakan lingkungan dan kerugian sosial akibat konflik dengan masyarakat adat dan lokal dan terlanggarnya hak-hak petani dan buruh.

Pada 16-17 Januari 2019, 27 organisasi masyarakat sipil dari 8 provinsi sentra perkebunan sawit yang bergerak dalam isu penyelamatan hutan dan lahan gambut, hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat dan lokal dan buruh mengadakan pertemuan di Bogor dan bersepakat untuk bahu-membahu dengan pemerintah nasional dan daerah untuk memastikan implementasi Inpres No. 8/2018 demi perbaikan tata kelola sawit Indonesia.

“Masyarakat sipil telah berbuat banyak dalam menggalang data, meningkatkan kapasitas petani, mendampingi pemerintah daerah dan masyarakat, mengadvokasikan penyelamatan hutan dan gambut, dan banyak inisiatif lain. Saatnya pemerintah memperhitungkan semua ini sebagai kontribusi positif untuk mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa deforestasi dan pelanggaran HAM,” ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Masyarakat sipil mengidentifikasi lima titik lemah dalam implementasi moratorium sawit, yakni ketidaktersediaan data yang dapat menjadi rujukan bersama, transparansi evaluasi perizinan, koordinasi antar instansi pemerintah, perlindungan hak masyarakat adat dan lokal, petani, dan buruh, serta penegakan hukum terhadap perkebunan sawit skala besar.

“Langkah strategis pertama yang dapat diambil pemerintah adalah segera mempublikasikan satu rujukan data resmi yang otoritatif terkait sawit sehingga bisa menjadi rujukan untuk pelaksanaan implementasi Inpres Moratorium Sawit bagi semua pihak. Banyak data terbaru terkait tutupan dan sebaran sawit dan izin sawit, termasuk yang pernah dipaparkan oleh KPK, namun tidak bisa dijadikan rujukan karena pihak-pihak yang berwenang belum secara resmi mempublikasikannya,” ujar Soelthon G. Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia.

“Pemerintah tidak memiliki kemewahan waktu. Jika serius ingin memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia, tidak ada satu detik pun hingga 19 September 2021 yang boleh disia-siakan