Katakan 7 Raperdasus Tidak Penting, Wali Kota Sorong Dinilai Anggap Remeh MRP-PB

MRP-PB ketika kunjungan kerja mereka ke Kota Sorong, guna sosialisasi dan penjaringan aspirasi tentang pertimbangan persetujuan 7 Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus)/Istimewa

MANOKWARI,-  Wali Kota Sorong Lambert Jitmau tidak mengganggap keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat sebagai lembaga kultur orang asli Papua (OAP) di daerah ini.

Wakil Ketua Pokja Agama MRP-PB, Edi Kiriho mengatakan hal ini pascakunjungan kerja mereka ke Kota Sorong, guna sosialisasi dan penjaringan aspirasi tentang pertimbangan persetujuan 7 Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus).

"Lambert Jitmau sebagai Wali Kota Sorong tidak memiliki etika dalam penyampaian sambutan sebagai seorang pemimpin yang baik. Dalam penyampaian beliau terlalu meremehkan anggota MRP Papua Barat dengan hanya mengangkat nama-nama tokoh asal sukunya yang dianggap sebagai putra terbaik pembangunan Otsus di Papua," tulis Kiriho kepada wartaplus.com, Selasa (11/12).

Kata Kiriho, wali kota menganggap 7 raperdasus yang telah diperjuangkan eksekutif dan legislatif tidak penting dengan alasan Otsus mau berakhir.

Bahkan dengan seenaknya, kata Kiriho, wali kota bicara di publik dan di hadapan anggota MRP PB bahwa anggota MRP PB asal Maybrat harus di PAW (pergantian antarwaktu) dan ganti orang lain tanpa alasan. Padahal ada prosedur untuk dilakukan PAW.

Menurut Kiriho, sebagai kepala daerah tentu menunjukan sikap bahwa telah menolak Raperdasus sebagai produk hukum. Bahkan bisa dikategorikan bahwa wali kota melawan apa yang sudah dikerjakan oleh Gubernur, DPR dan MRP.

"Jadi, wali kota juga telah mendeskritkan kami anggota MRP sekarang, bahkan wali kota juga mengatakan bahwa ke depan lembaga MRP harus diduduki mantan pejabat yang telah memilki segudang pengalaman agar tidak boleh diloloskan karena memiliki kepentingan politik. Bahkan hal itu dilakukan karena permainan tim seleksi," kata Kiriho meniru ucapan wali kota.

Dengan pernyataan wali kota itu membuat MRP geram dan menyarankan kepada wali kota untuk belajar etika pemerintahan dalam sampaikan informasi ke publik. Padahal sebagai kepala daerah harus menunjukkan sikap sebagai pimpinan dan pembina kepala daerah yang bijak.

Dikatakan Kiriho, Wali Kota Sorong menunjukkan sikap ego dan sombong, apalagi sikapnya kepada sesama rakyat jelata.

Padahal jelas Kiriho, sepanjang kunjungan kerja MRP PB ke daerah disambut baik para bupati. Pasalnya MRP adalah lembaga kultur OAP. Bahkan seorang Gubernur saja menghormati kedudukan anggota MRP.

"Baru terjadi pada hari ini 11 Desember 2018 di gedung pertemuan LMA Malamoi dia (wali kota) remehkan kami. Meski begitu kami telah memiliki barang bukti rekaman yang dibicarakan oleh wali kota," ungkap Kiriho.

Terpisah Ketua MRP PB Maxsi Nelson Ahoren mengatakan bahwa, wali kota salah alamat dalam mengritik anggota MRP PB, pasalnya MRP dalam melaksanakan tugas meminta masukan dari masyarakat tentang pertimbangan dan persetujuan 7 Raperdasus.

"Jangan salahkan kami (MRP-PB), sebab kami hanya laksanakan tugas memberikan pertimbangan dan persetujuan Raperdasus, kami bukan pembuat Raperdasus, sebab yang buat Raperdasus adalah pemerintah dan DPR," ucap Ahoren melalui sambungan telepon, Selasa (11/12) malam.

Kata Ahoren, jangan membawa raperdasus itu ke dalam ranah politik, karena kerja lembaga kultur MRP bukan tentang politik, namun tupoksi mereka sudah jelas yakni unsur adat, perempuan dan agama. *