Perahu Tradisional Biak “Wairon” Tiba di Jayapura, Disambut Wagub Dengan Tarian Adat Pegunungan

Wagub Papua Klemen Tinal menyambut perahu tradisional Wairon Biak di Pantai Depan Kantor Gubernur Papua, Dok II, Jayapura, Selasa (2/10)/Istimewa

JAYAPURA,- Setelah berlayar di lautan lepas selama 8 hari, perahu Tradisional suku Byak 'Wairon' akhirnya tiba di Kota Jayapura, Selasa (2/10).

Perahu yang dinakhodai (kapitarau), Denis Koibur bersama tujuh awaknya atau disebut Man Babores (pendayung)  ini bertolak dari  Kampung Mokmer, Biak Numfor pada  Jumat (28/9) lalu.

Perahu Wairon berlabuh di perairan depan kantor gubernur Papua dan disambut Wakil Gubernur, Klemen Tinal dan Sekda Hery Dosinaen, para Kepala SKPD, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA)  Biak di Jayapura, Apolos Sroyer dan masyarakat  Biak di Jayapura

Kedatangan perahu Wairon bersama para kru disambut tarian adat masyarakat pegunungan. Setelah acara penyambutan dilanjutkan dengan ramah tamah yang berlangsung di Main Hall kantor Gubernur.

Wakil Gubernur Papua, Klemen Tina  menjelaskan, tujuan kedatangan  perahu Wairon ke Tanah Tabi  adalah bagian dari menelusuri pelayaran  nenek moyang orang Biak. Sekaligus untuk  menunjukan kepada khalayak ramai 'Wairon' perahu tradisional  Byak, dan inilah kebangkitan budaya Papua secara umum dan khususnya kebudayaan Byak.

Wagub  menjelaskan, Wairon adalah perahu dagang tradisional Suku Byak (Biak) yang pada zaman dahulu dipakai  untuk  berdagang menelusuri  Teluk Cenderawasih, Pantai Utara Pulau Papua dari Mnu Kwar (Manokwari) sampai ke Sorong dan terus ke Ternate dan Tidore dalam  rangka  memberi upeti kepada Sultan Tidore untuk mendapat  gelar dari Sultan. Gelar –gelar itu kemudian dipakai oleh  orang Biak sebagai marga/keret antara lain Sangaji (Sanadi), Kapitan Laut (Kapitarau), Mayor, Jurubahasa (Urbasa), Dimara, dan lain-lain.

Dikatakannya, sebagian orang Biak yang  mendiami bagian Timur Pulau Biak dan Padaido memilih untuk menggunakan Wairon untuk berlayar menelusuri bagian Timur Pulau Papua. Mereka berlayar dari Pulau Biak, menuju Pulau Kurudu, Pulau Kamamba, masuk ke Teluk Humbolt selanjutnya kearah Timur masuk di Aitape dan Wewak di Papua New Guinea (PNG). Kemudian mereka kembali menetap di Abe Pantai sampai saat ini.

Menurut Wagub, dalam perjalanannya orang  Biak membuat parang  untuk barter dengan makanan, gelang dari kerang (samfar, kbur) ditempat dimana mereka singgah.

Diutarakannya, sejarah pelayaran ini dibuktikan dengan beberapa marga orang Biak yang menetap di Pulau-Pulau  yang disinggahi seperti  Pulau Kumamba dan Sarmi   yang ada marga Biak antara lain Jarangga, Ronsumre, Wakum.

Napak Tilas

Sementara itu, Apolos Sroyer menerangkan,  perjalanan perahu tradisional  Biak Wairon ini merupakan Napak Tilas.

“Kami generasi muda mencoba melakukan perjalanan kembali atas  pelayaran-pelayaran ratusan tahun  orang tua kami menyinggahi beberapa Pulau dan memberikan nama terhadap  Pulau-pulau ini termasuk Tabi sampai ke Pulau Samarai dan gugusan pulau Pasifik lainnya,” ungkapnya.

Oleh karenanya, ujar Sroyer, segala tantangan alam atas perkenan Tuhan kami  keluar dari Kampung Mokmer di Biak, menelusuri Yapen sampai di Sarmi. Kemudian sampai ke Tabi.

“Kemudian nanti  di Jayapura kami akan berlabuh di Jayapura, untuk  memperbaiki perahu dengan segala perlengkapan. Kemudian kami akan melakukan pelayaran Pulau-Pulau lain di Pasifik.  “Kami mohon doa restu seluruh masyarakat di Tanah Tabi dan Pemprov Papua,” pintanya.*