Mencegah Kekerasan Terhadap Anak, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia: Memutus Rantai Kekerasan

(Dari Kiri-Kanan) Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol W.A. Maclarimboen, Sekretaris FJPI Papua, HendrinaKandipi, Kepala Dinas DP3AKB Kota Jayapura Betty Anthoneta Puy, Jurnalis RRI Lina Umasugi/Istimewa

JAYAPURA,wartaplus.com - Media, keluarga dan pemerintah memiliki peran dalam memutus mata rantai kekerasan terhadap anak dan perempuan. Namun sampai saat ini masih ditemui media yang kurang berpihak kepada korban. Misalnya dalam memberitakan kasus kekerasan kepada anak dan perempuan masih mengungkap identitas korban.

Padahal dalam kode etik jurnalistik pasal 5 jelas tertulis “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

“Walau begitu ada juga media yang sudah memahami ‘aturan mainnya’ misalnya untuk berita televisi, gambarnya di blur. Atau dalam penulisan naskah berita, tak menyebutkan nama ataupun identitas korban lainnya,” jelas Sekretaris FJPI Papua, Hendrina Dian Kandipi yang juga Kepala Biro Antara Papua, dalam dialog interaktif di RRI Jayapura dengan tema
“Mencegah Kekerasan terhadap Anak
Peran Pemerintah, Media dan Keluarga” yang terlaksana atas kerja sama FJPI Papua dengan dukungan dari Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku, Jumat 5 Desember 2025.

Dian bilang, masih ada jurnalis yang memerlukan edukasi dan pelatihan lebih lanjut mengenai penulisan berita yang etis dan sensitif terhadap korban. “Organisasi seperti Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Papua berkomitmen terus edukasi untuk memastikan jurnalis ataupun internal anggota kami dapat menampilkan karya jurnalistik yang berpihak kepada korban,” kata Dian.

Walau begitu, media juga memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan edukasi parenting dan mematuhi kode etik jurnalistik agar tidak menjadi pelaku kekerasan kedua melalui pemberitaan yang tidak etis.

“Media bisa menyajikan konten-konten gratis, tentang parenting ataupun mengedukasi anak sesuai jaman ‘kekinian’. Kami percaya, kekerasan kepada anak dan perempuan bisa ditekan dari awal yang bisa dimulai dari keluarga atau orang tua,” jelasnya.

Kekerasan Anak Meningkat

Sementara itu, data dari Polresta Jayapura Kota, hingga Januari -November 2025, terdapat 126 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah ini, terdapat 2 anak yang berstatus hukum.
“Kasusnya melonjak signifikan dibandingkan tahun lalu yang hanya tercatat 89 kasus. Peningkatan ini menjadi sinyal fenomena dan permasalahan sosial yang kompleks di dalam rumah tangga dan lingkungan dalam melindungi korban,” kata .Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol W.A. Maclarimboen dalam dialog tersebut.

Kapolresta menjelaskan kasus yang dilaporkan, rata-rata korban mengalami tindakan fisik di luar kekerasan psikis dan lingkungan. “Ini menunjukkan kegagalan dalam menciptakan ruang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak di Jayapura kota yang seharusnya menjadi kota yang ramah pada anak dan  ini masih menjadi  PR besar bersama,” jelasnya.

Kepolisian mencatat, kasus kekerasan anak dan perempuan kadang tidak terungkap dengan baik, karena salah satunya faktor hubungan kekerabatan antara korban dan pelaku yang sangat dekat atau saling mengenal.

“Ada rasa  malu yang mendasar dari keluarga korban, seringkali menjadi penghalang utama kasus-kasus kekerasan untuk terungkap dan mendapatkan penanganan yang memadai,” kata Kapolres.

Walau adanya bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian yang telah  berupaya dalam penegakan hukum. Salah satu isu krusial adalah belum adanya rumah aman di tingkat kabupaten/kota yang secara khusus disediakan untuk saksi dan korban kekerasan anak dan perempuan.

“Sesuai UU perlindungan anak, kepolisian tidak bisa menahan anak di bawah umur sembarangan. Pendekatan yang harus dilakukan yakni mengedepankan efek jera non-penahanan, seperti melalui psikolog dan Bapas. atau dikembalikan kepada orang tua untuk penanganan. Maka, peran orang tua atau keluarga sangatlah penting dalam mencegah kekerasan dan memberikan ruang yang aman bagi anak,” kata Kapolresta.

Rumah Aman Korban

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Jayapura  Betty Anthoneta Puy menjelaskan Kota Jayapura berupaya keras menuju Kota Layak Anak (KLA), namun masih dalam tahap penilaian awal.

Beberapa langkah dan tantangan yang disoroti antara lain penyediaan rumah aman yang sampai saat ini sedang diusahakan untuk menyediakan Asrama Port Numbay di Padang Bulan sebagai rumah aman bagi korban. Termasuk dalam pembentukan UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah) sebagai Pusat Pelayanan Terpadu yang melibatkan psikolog dan menjangkau masyarakat.

“Saat ini Kampung Enggros, Tobati, dan Yoka, bekerja sama dengan UNICEF diharapkan dapat memberikan layanan berjenjang dan solutif dalam menyelesaikan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dalam hal ini dilakukan pelatihan bagaimana mencegah dan mengatasi kekerasan di lingkungan sekitar,” jelasnya.
Kata Betty, masalah lainnya adalah penanganan kasus anak yang terlibat narkotika menjadi perhatian besar, dengan masalah utama adalah ketiadaan lembaga rehabilitasi yang memadai.

“Untuk mengatasi segala kekerasan dan persoalan pada anak, maka dapat dimulai  dari  keluarga dan pendidikan rohani yang ditanamkan oleh orang tua. Apa yang kita tanam pada anak dengan baik dan benar, maka dia (anak) akan menuainya dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya. Maka, peran keluarga menjadi pendidikan awal dan kunci pencegahan kekerasan,” ujar Betty.*