KASUS keterlibatan oknum pimpinan Bank Papua Cabang Lanny Jaya dalam dugaan korupsi dana desa kembali membuka mata kita bahwa sistem pengawasan di tubuh Bank Papua masih jauh dari kata maksimal. Padahal, dana desa merupakan instrumen vital pembangunan masyarakat akar rumput yang seharusnya dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Tindakan penyalahgunaan wewenang ini tidak bisa dilihat sebagai kesalahan individu semata. Justru sebaliknya, hal ini menyoroti lemahnya peran direksi dan komisaris dalam memastikan sistem pengawasan internal berjalan efektif. Direksi yang bertugas menjalankan manajemen harian dan komisaris yang seharusnya menjadi pengawas independen terbukti gagal mendeteksi penyimpangan serius di lapangan.
Lebih jauh lagi, kasus ini berimplikasi langsung pada reputasi dan kredibilitas Bank Papua. Sebagai bank daerah yang diharapkan menjadi mitra pembangunan, keterlibatan aparaturnya dalam korupsi dana desa bisa memicu krisis kepercayaan masyarakat (loss of public trust). Jika kepercayaan publik hilang, maka loyalitas nasabah, legitimasi kelembagaan, dan keberlangsungan bisnis Bank Papua akan menghadapi ancaman serius.
Oleh karena itu, langkah konkret harus segera diambil:
1. Audit investigatif menyeluruh terhadap aliran dana desa yang melewati Bank Papua.
2. Reformasi sistem pengawasan internal, termasuk penguatan peran komisaris agar tidak sekadar formalitas.
3. Transparansi publik melalui publikasi hasil audit dan tindakan tegas kepada pelaku.
4. Reformasi manajemen SDM dengan menekankan integritas dan etika profesi.
Bank Papua harus menyadari bahwa menjaga trust publik jauh lebih penting daripada sekadar mengejar keuntungan bisnis. Kepercayaan masyarakat adalah modal utama yang jika hilang, tidak akan mudah dipulihkan kembali.*
* Dr. Muhammad Rifai Darus, Pendiri Papua Corruption Watch dan Direktur Eksekutif Indonesia Development Review (IDR)