Pemerintah Papua Kembali akan Mendorong Raperdasus Penyelesaian Pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih

Tim kuasa hukum Gubernur Papua, Stefanus Roy Rening (kiri) dan Usman Hamid (kanan) saat memberikan keterangan pers, Jumat (25/02) lalu/Andi Riri

JAYAPURA, wartaplus.com - Gubernur Papua, Lukas Enembe melalui Tim kuasa hukumnya untuk keadilan, demokrasi dan HAM di tanah Papua akan kembali mendorong pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) tentang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bumi cenderawasih.

Usulan tersebut pernah dibahas di DPR Papua pada 2019 silam, namun hingga kini belum ditindaklanjuti karena tak mendapat respon atau dukungan dari pemerintah pusat.

"Bagaimanapun yang diusulkan Gubernur Papua tentunya perlu mendapatkan dukungan pemerintah pusat, karena ini terkait pembentukan tiga institusi mekanisme penyelesaian pelanggaran Ham di tanah Papua," kata Usman Hamid, salah satu anggota tim kuasa hukum Gubernur saat memberikan keterangan pers di Jayapura, Jumat (25/02) lalu.

Tiga institusi yang dimaksud dan tertuang dalam Reperdasus tersebut yaitu pembentukan Komisi HAM Papua dan bukan lagi perwakilan Komnas HAM ini berdasarkan amanat UU Otsus 2001, lalu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi ini akan melakukan penyelidikan (inventigasi) terkait pelanggaran HAM  dan keadilan politik di Papua, serta pembentukan peradilan HAM yang berkedudukan di Papua.

"Ketiga institusi ini adalah pelaksanaan dari pasal 45, 46 dan 47 UU Otsus tahun 2001. Karena itu sangat perlu untuk dihidupkan kembali," ungkap Usman Hamid.

Kewenangan Khusus

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional ini menyebut, dari 24 kewenangan khusus yang ada dalam UU Otsus, hanya ada beberapa kewenangan yang diwujudkan atau diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah Papua.

"Sementara masih banyak kekhususan pemerintah Papua lainnya yang belum terlaksana  termasuk penyelesaian pelanggaran HAM," tukasnya.

Apalagi, lanjut Usman, dalam amandemen UU Otsus yang baru disahkan 2021 lalu, justru banyak mengurangi kekhususan yang diberikan. Sebagai contoh dalam UU Otsus yang baru, pemerintah membentuk Badan Khusus Percepatan Pembanguna Papua dibawah koordinator Wakil Presiden.

"Itu bertentangan dengan semangat Otsus Papua seperti halnya daerah lain yang juga mengalami desentralisasi," imbuhnya. 

Usman Hamid menambahkan, melalui raperdasus ini kelak diharapkan, pemerintah bisa menyelesaikan kasus kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua, dengan melakukan investigasi dan menuntut para pelakunya hingga ke pengadilan.Sehingga dapat memberikan keadilan bagi para korban dan keluarganya.

"Ini juga demi menjaga reformasi institusi baik TNI,Polri maupun BIN yang berperan di tanah Papua," ucapnya.

Sorotan PBB

Apalagi, kasus  pelanggaran HAM yang terjadi di Papua telah mendapat sorotan dari PBB. Bahkan melalui Komisi Tinggi HAM PBB telah menyurat kepada pemerintah Indonesia pada 22 Desember 2021 yang menanyakan tentang penanganan  pengungsian di sejumlah kabupaten yang sedang terjadi konflik bersenjata seperti kabupaten Puncak, Nduga dan Intan Jaya.

"Begitupun kasus kekerasan, penembakan terhadap warga sipil, perempuan dan balita yang terjadi di daerah daerah tersebut, ini juga ditanyakan oleh PBB," kata Usman.

Pun kaitannya dengan konflik bersenjata antara pemerintah RI lewat institusi keamanan dengan kelompok TNPB (Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat) yang menimbulkan pengungsian.

"Kami mengapresiasi bahwa  pemerintah Indonesia merespon surat PBB tersebut dengan menggelar rapat koordinasi di Kemenkopohukam, yang menurut pandangan kami ini langkah positif," tukasnya,

"Kami berharap pemerintah bisa memulihkan keadaan di tiga daerah konflik tersebut, sehingga warga bisa kembali hidup tenang terutama anak dan perempuan yang tentunya hidupnya sangat sulit di pengungsian. Bahkan dewan gereja menyebut ada lebih 60 ribu pengungsi akibat konflik yang terjadi," pungkas Usman.**