Urgensi Dialog Jakarta- Papua Membuka Tabir Merajut Damai

Ambassador Freddy Numberi Laksamana Madya TNI (purn)/Istimewa

Oleh: Ambassador Freddy Numberi Laksamana Madya TNI (purn)

Proses perdamaian Aceh merupakan suatu proses yang sangat membanggakan Indonesia. Proses ini justru cerminan demokrasi yang tumbuh dari hasil reformasi tahun 1998. Ini juga menunjukan adanya kebijakan Pemerintah Pusat yang “wise and truthfull” dan menambahkan kepercayaan dalam negeri maupun luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia.

Proses perdamaian Aceh dapat dirujuk sebagai pembelajaran dan disesuaikan dengan kondisi di Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Perbedaan mendasar di Aceh hanya ada satu faksi, yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sedangkan di Papua ada banyak faksi (kelompok/golongan):
(1)    Kelompok “Merdeka Harga Mati” (OPM, ULMWP)
(2)    Kelompok “NKRI Harga Mati”
(3)    Kelompok Moderat
(4)    Kelompok Abu-abu
(5)    Kelompok Oportunis

Tiap faksi ini mempunyai kepentingan masing-masing. Proses perdamaian di Aceh memberikan 6 (enam) pembelajaran yang dapat dicontoh Pemerintah Pusat untuk proses perdamaian di Papua. (Timo Kimivaki, Initiating a Peace Proses in Papua, 2006), yaitu: 1. Pentingnya dialog inklusif sesuai ketentuan maupun hukum yang berlaku. Perdamaian tidak dapat di negosiasikan secara sepihak antara teman atau kelompok yang sepaham maupun institusi hukum yang ada. Dialog Jakarta-Papua harus melibatkan organisasi yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah maupun mereka yang di luar negeri harus disertakan dalam proses dialog inklusif tersebut. 2. Kebutuhan untuk tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih harus didukung dengan kewenangan yang jelas dari Pemerintah Pusat.

3. Menciptakan nilai-nilai mekanisme yang transparan, bermartabat dan terhormat, termasuk adanya pemantauan internasional agar dapat memonitor dan memastikan bahwa pelaksanaan dialog dan penyelesaiannya dapat dipercaya serta akuntabell. 4. Melibatkan pihak luar yang dapat dipercaya oleh pihak Jakarta maupun Papua sebagai mediator dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. 5. Dalam menyesuaikan persyaratan kesepakatan yang ada setelah masyarakat sendiri secara demokratis memilih perwakilan mereka sesuai 7 wilayah budaya yang ada, kemudian diikut sertakan dalam dialog tersebut. Dengan demikian hasil dialog tersebut merupakan hasil bersama.

6. Kebutuhan akan perubahan pendekatan dalam sistem politik nasional untuk mewujudkan kesepakatan bersama dalam semangat demokrasi, terhormat dan bermartabat sesuai pilar-pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini harus tercermin dalam kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin (2020-2024).

Menurut Timo Kimivaki ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan kedua belah pihak: Aspek 1. Gerakan perlawanan di Papua kurang terorganisir daripada perlawanan di Aceh. Oleh karena itu, mekanisme khusus harus dibangun untuk dialog antara negosiator Papua dan konstituen mereka. Mekanisme ini juga bisa memecahkan beberapa masalah yang dihadapi proses perdamaian seperti Aceh.

Aspek 2. Karena beragamnya perspektif dalam gerakan perlawanan Papua, representasi Papua oleh satu kelompok/golongan tidak realistis. Tidak seperti di Aceh, sebagian besar oknum pejabat dan pemimpin Papua cenderung apatis terhadap gerakan perlawanan. Dengan demikian, lembaga resmi seperti LIPI (lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bisa digunakan dalam proses dialog Papua. Pada saat yang sama, tidak realistis bila tidak mengikutkan perwakilan dari elemen “garis keras”. Dialog di Papua harus melibatkan setidaknya dua aktor payung Papua, yaitu:
a.    Majelis Rakyat Papua, sebagai organisasi hukum dan representasi kultural yang memiliki akses mudah dan langsung ke masyarakat Papua biasa; dan
b.    Organisasi payung “garis keras”, yang juga bisa memasukkan unsur-unsur yang paling ekstrem (fanatik), termasuk oknum yang dinobatkan sebagai pemimpin kelompok garis keras” yang di luar negeri.

Aspek-3. Mengingat, tingkat perkembangan ekonomi di Papua yang rendah, dan karena banyak masalah dalam pelaksanaan kesepakatan akan berbenturan dengan kenyataan ekonomi, maka diperlukan keterlibatan investasi dalam membahas modalitas untuk pelaksanaan kesepakatan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Kalau Aceh diperlakukan setara dalam dialog inklusif tersebut dengan melibatkan pihak asing mengapa di Papua tidak? Hal ini juga mengakibatkan masyarakat Papua iri dan merasa bukan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar ini. Anggapan ini harus dihilangkan dan tidak usah tabu terhadap hal tersebut. Harapan masyarakat Papua bahwa dialog Jakarta – Papua adalah legacy yang dibuat oleh Presiden Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin (2020-2024) yang dikenang sepanjang masa, karena merajut perdamaian di Tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).*