Freeport Terbukti  Bangun Peradaban di Tanah Papua

Pekerja PT Freeport Indoneseia/Istimewa

LEMBARAN sejarah  perkembangan peradaban di Tanah Papua mencatat dengan sangat baik bahwa, para pekabar Injil (Zending untuk Gereja Protestan dan Misionaris untuk Gereja Katolik) telah berjasa sangat besar  dalam membangun dan mengembangkan  peradaban baru di Tanah Papua yang penuh  tantangan. Selain para zending dan misionaris itu, Freeport sebagai salah satu perusahaan pertambangan mineral tembaga, perak dan emas terbesar di dunia -- dengan segala keterbatasannya,  telah pula ikut ambil bagian membangun dan mengembangkan peradaban di “bumi Cenderawasih” ini.  Banyak kalangan sangat  kurang melihat dan mengakui sisi positif dari kehadiran perusahaan tambang mineral ini bagi  kemajuan peradaban masyarakat di  Tanah Papua.

Tentang peradaban itu sendiri, Sejarahwan Inggris, Arnold Joseph Toynbee mengatakan peradaban adalah kumpulan semua hasil budi daya manusia yang meliputi semua  aspek kehidupan manusia, baik fisik seperti bangunan, jalan, maupun non fisik seperti nilai, tatanan, seni budaya dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

 Tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan Iptek. Membangun sebuah bangsa adalah membangun sebuah peradaban. Peradaban juga berarti upaya manusia untuk memakmurkan kehidupannya sendiri  dan sesama di sekitarnya.

Pengalaman Pastor Misael Kammerer OFM

Areal operasi tambang Freeport  berada di Mimika – sebuah kabupaten yang terletak di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Pada zaman dulu, masyarakat di wilayah ini mengenal seorang misionaris perintis yang dikagumi dan dihormati sepanjang masa. Misionaris itu adalah Pastor Misael Kammerer,OFM.

Pada sekitar tahun 1950-an sang  Misionaris ini terkenal  sangat rajin menjelajahi kampung-kampung di  wilayah Pegunungan Tengah Papua seperti  kampung-kampung pedalaman dan terpencil di Mimika, Intan Jaya,  Jayawijaya, Paniai. Pastor Misael tidak kenal lelah mendatangi masyarakat suku-suku asli yang bermukim di puncak-puncak gunung dan bukti, lembah dan ngarai, serta  daerah aliran sungai, selain untuk memberikan pembinaan kerohanian juga mengajarkan masyarakat untuk hidup sehat, rajin dan berdisiplin dalam bekerja, serta menghargai waktu  agar kehidupan menjadi lebih baik dan sejahtera.

Dalam sebuah  “Agenda – catatan kegiatan  hariannya”, Pastor Misael antara lain menulis  bahwa dia melakukan perjalanan mengunjungi suku-suku asli di wilayah sekitar pegunungan Carstenz bersama tujuh pemuda yang berasal  dari kampung Koperapoka, Mimika  pada rentang waktu 1 April sampai dengan 25 Mei 1951. Mereka menjelajahi  wilayah  Suku Ugunduni (Amungme) yang bermukim di daerah Selatan pegunungan Carstenz.  Hampir setiap jam,  dia menulis apa yang dia lakukan bersama tujuh pemuda pemikul barang-barang bawaannya itu,  selain berisi bahan makanan, obat-obatan, pakaian seadanya, juga berisi kulit siput, manik-manik, kapak, pisau dan tembakau yang nantinya diberikan  kepada warga yang dikunjunginya sebagai “buah tangan” darinya.

Misael  dalam Buku Agendanya  berjudul “Laporan Perjalanan ke Daerah Ugunduni – sebelah Selatan Pegunungan Carstenz,  1 April   -  24 Desember 1951” antara lain menulis : ”Orang Ugunduni  adalah  suatu nama yang diberikan orang Moni kepada sekelompok orang pegunungan yang mempunyai bahasa tersendiri. Mereka membagikan kelompok ini antara Amungme dan Imungme. Orang Ugunduni menghuni daerah sebelah Utara Pegunungan Carstenz yang dilewati kali Ilop,” tulis Misael dalam Agendanya itu.

Selanjutnya, Pastor Misael berkisah, selama perjalanannya yang sangat melelahkan itu, dirinya secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan kepada para penunjuk jalan dan pemikul barang yang menyertainya  serta masyarakat yang didatangainya untuk  selalu rajin bekerja dan menghargai waktu. Setiap  jam  dalam aktivitas perjalanannya itu yang dianggapnya  penting, dicatatnya dengan sangat teliti.

“Pada 2 April 1951, jam 07.00 kami berjalan melintasi lembah Kamu yang berlumpur. Dekat  danau Makorama, kami mendaki  beberapa bukit kecil. Kami  seberangi  danau Kegoom dan dalam waktu singkat jam 14.00  kami tiba di kali Bakauwo. Orang membawa tebu untuk kami. Pada jam 18.30 kami tiba di Eputo. Kami menginap dalam satu rumah besar yang terdiri atas kamar untuk perempuan dan babi dan kamar tengah untuk kaum laki-laki. Pada keesokan harinya, 3 April jam 07.00 kami mulai dengan bagian terakhir perjalanan ke Modiodan tiba di Modio jam 16.00. Saya senantiasa mengajarkan para pemikul barang-barang untuk berdisiplin dengan waktu, harus tepat waktu untuk bekerja dan tepat waktu pula untuk  berhenti bekerja. Lama kelamaan, mereka sudah terbiasa bekerja dengan disiplin waktu sehingga bersama-sama  mendapatkan hasil yang menyenangkan,” tulis Pastor Misael.

Pastor Misel menyambung ceriteranya lagi yaitu bahwa apabila dalam perjalanan mengunjungi kampung-kampung di daerah suku asli Amungme itu, ada di antara para pemikul barang itu tidak dapat tepat waktu untuk bangun pagi yakni jam 05.00 maka saya bersama pemikul barang yang lainnya meninggalkan orang itu. Siapa yang terlambat bangun pagi akan menyusuli kami dari belakang atau tetap tinggal di kampung itu sampai kami pulang lagi ke Timika.

Ketika berada di tengah suku-suku asli yang dikunjunginya, Pastor Misael selalu meminta warga setempat terutama kaum lelaki untuk menghargai kaum perempuan, ikut membantu perempuan di kebun dan memelihara ternak babi. Rajin mandi di sungai dan kali-kali kecil, memperhatikan waktu untuk istirahat agar dapat hidup sehat. Berhenti untuk berperang antarsuku karena hal itu hanya merugikan diri sendiri, keluarga dan suku akibat kemtian atau luka yang dialami. Jauh lebih baik berhenti berperang antarsuku dan mulai berkebun dan beternak babi. Perhatikan rumah yang bersih dan pisahkan kamar tidur dari kandang ternak.

Apa yang dilakukan Pastor Misael yang tertera secara singkat di atas itulah yang kita namakan sebuah pendidikan peradaban baru. Peradaban baru membawa perubahan mendasar,  menjadikan manusia benar-benar sebagai manusia yang memiliki peradaban tinggi: menghargai martabat sesama manusia khususnya kaum perempuan, menjaga kesehatan dan kebersihan diri, hidup dalam damai dengan berhenti berperang antarsuku,  serta memiliki disiplin dalam hidup antara lain, menghargai waktu, memulai bekerja dan berhenti bekerja pada waktunya.

Freeport ikut bangun peradaban baru

Lembaran sejarah keberadaan Freeport di Tanah Papua mencatat: ”Menjelang akhir tahun 1972, jalan rampung dibangun, kereta kabel berjalan dengan lancar dan jalur pipa konsentrat terpasang dengan baik. Pada Desember, 10 ribu ton bijih Ertsberg yang pertama berhasil dikapalkan menuju Jepang. Tambang berjalan dengan lancar dan membanggakan. Tiga bulan kemudian Presiden Soeharto datang, dan dengan berkendaraan jeep melewati jalan yang dapat dibanggakan, beliau melaju keatas menuju “kota tembaga” yang beliau beri nama Tembagapura serta meresmikan tambang,” tulis George A.Mealey dalam “Gresberg” hal.106.

Sepertinya, penggalan kisah sejarah di atas merupakan cikal-bakal  perusahaan tambang mineral tembaga, perak dan emas ini dalam memulai karya kemanusiaan maha besarnya di bidang pembangunan dan pelestarian  peradaban baru  di Tanah Papua.

Dari titik pijak  inilah, Freeport – tidak hanya menambang mineral – yang dalam bahasa kasarnya sering disebut mengeruk -- tetapi menunjukkan tanggungjawab sosialnya yang signifikan bagi masyarakat pemilik hak ulayat areal tambang itu dan masyarakat Papua pada umumnya malahan seluruh masyarakat Nusantara.

Apabila Sejarahwan Inggris, Arnold Joseph Toynbee mengatakan bahwa  peradaban adalah kumpulan semua hasil budi daya manusia yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, baik fisik seperti bangunan, jalan, maupun non fisik seperti nilai, tatanan, seni budaya dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) maka sejak jam-jam pertama Freeport beroperasi di Tanah Papua hingga hari ini dan menuju ke hari esok, perusahaan tambang mineral ini telah terbukti  sudah berada pada “posisi, jalur  dan perannya yang sangat tepat.  Freeport telah membangun infrastruktur seperti prasarana  jalan, jembatan, pelabuhan udara,  pelabuhan  konsentrat dan sebagainya, juga telah  membangun dan mengembangkan perekonomian rakyat melalui usaha peternakan, perkebunan, perikanan, mengembangkan pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Terdapat empat bidang pengembangan sumberdaya manusia yaitu beasiswa dan asrama, dukungan untuk guru dan kurikulum, dukungan untuk pelestarian kearifan lokal dan budaya setempat, serta dukungan pengembangan peningkatan kesadaran dan kepedulian terhadap pendidikan oleh orangtua dan pemangku kepentingan lainnya misalnya masyarakat adat.

Program beasiswa menggunakan pola prestasi artinya para siswa yang berhak mendapatkan beasiswa adalah siswa-siswa yang dapat melewati tahapan seleksi.Program martikulasi diberikan kepada para penerima beasiswa agar mereka semakin siap dalam memasuki dunia pendidikan tinggi.

Program Asrama merupakan program strategis dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan anak-anak yang berasal dari kampung-kampung terpencil dan terisolir. Pola pendidikan asrama juga bertujuan untuk menanamkan sikap disiplin bagi siswa-siwa agar mereka dapat mandiri dan memiliki pola hidup yang lebih teratur.

Program  pembangunan sarana dan prasarana pendidikan menjadi salah satu program kerja Yayasan Pengembangan Masyarakat Amungme & Kamoro/YPMAK (dulu: LPMAK). Pada tahun 2012, YPMAK yang merupakan yayasan yang didirikan Freeport untuk mengelola dana kemitraan bagi dua suku utama  pemilik hak ulayat yakni Suku Amungme dan Suku Kamoro serta lima suku kekerabatan lainnya  telah menyelesaikan pembangunan satu kopel rumah guru di kompleks Asrama Penjunan.Pembangunan  asrama Solus Populi pun telah rampung yang antara lain meliputi pembangunan aula dan satu unit asrama tambahan.

YPMAK juga memberikan dukungan bagi para guru yang ditugaskan di daerah terpencil dengan memberikan dukungan transportasi udara untuk guru yang mengajar di daerah dataran tinggi dan memberikan dukungan BBM untuk guru yang mengajar di daerah pesisir di dataran rendah.

Program utama bidang kesehatan meliputi penyediaan layanan kesehatan melalui dua rumah sakit dengan program kesehatan yang berkonsentrasi pada kesehatan ibu dan anak, pengendalian malaria, pencegahan HIV/AIDS, TBC dan penyakit menular lainnya. Tidak ketinggalan,  pengembangan infrastruktur kesehatan dasar seperti air bersih dan sanitasi di pedesaan serta melakukan pendampingan kesehatan masyarakat berbasis kampung.

Dalam kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Mimika, PTFI menggelar kegiatan lokakarya, pelatihan dan seminar serta monitoring kegiatan bidang kesehatan di Puskesmas dan kampung-kampung.

Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) dan Rumah Sakit Waa Banti (RSWB) merupakan rumah sakit yang didirikan dengan menggunakan dana CSR PTFI. RSMM dan RSWB dibangun sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang memadai di Kabupaten Mimika.Hingga saat ini, masyarakat asli lokal yang berobat di kedua RS tersebut tidak dibebankan biaya pelayanan kesehatan.

RSMM  yang dikelola oleh Yayasan Caritas Timika Papua (YCTP)  merupakan rumah sakit tipe C yang memberikan pelayanan  kesehatan yang meliputi aspek promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif. RSMM menyediakan pelayanan spesialis (bedah, penyakit dalam, kebidanan dan anak) serta kunjungan reguler spesialis mata.

Jika RSMM memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah dataran rendah, maka RSWB memberikan pelayanan kepada basyarakat di dataran tinggi.RSMM beroperasi mulai tahun 2002 dan dikelola oleh Internasional SOS, sebuah perusahaan internasional dalam bidang kesehatan.

Untuk program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS, PTFI bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Mimika memberikan pelatihan relawan AIDS yang berasal dari masyarakat Tujuh Suku yaitu Amungme, Kamoro, Damal,Dani, Moni, Mee dan  Nduga yang berlangsung di Kampung Pomako, Nawaripi dan Kwamki Lama.

Untuk program pengendalian dan penanggulangan malaria, patut diketahui bahwa Kabupaten Mimika merupakan wilayah penyebaran penyakit malaria tertinggi di Indonesia.

Melalui Departemen Social Local Department (SLD)/ Community Relations, PTFI melakukan berbagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis desa, yang berfokus pada pengembangan ekonomi; pertanian; peternakan; peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan peternakan, dan termasuk juga peningkatan produkdi ternak melalui dukungan Pusat Inseminasi Buatan Ternak Babi.

Program Pengembangan dan Pendampingan Masyarakat Lima Desa Kamoro (P3MD) melalui program pengembangan sagu dan perikanan serta pemberdayaan perempuan. Sebagai bagian dari program ekonomi dataran rendah, perusahaan juga mendukung penyediaan sarana transportasi dan listrik untuk desa-desa Suku Kamoro. Highland Agriculture Development (HAD). Program ini bertujuan meningkatkan kapasitas petani dan masyarakat di desa-desa Amungme di dataran tinggi terkait dengan ketahanan pangan dan pengembangan pertanian berkelanjutan, dengan fokus pada penanaman kopi.Kopi Amungme terkenal sebagai kopi organik yang memiliki mutu tinggi di pasaran.

Potensi perikanan yang besar di daerah pesisir Mimika merupakan salah satu kesempatan besar bagi masyarakat untuk mendapatkan kegiatan ekonomi alternatif. Pola hidup nelayan yang sudah ada di masyarakat pesisir mendapatkan penguatan melalui berbagai pendampingan. Dalam kerjasama dengan Koperasi Maria Bintang laut (KMBL) yang dikelola Keuskupan Timika, PTFI melalui Tim Program Pendampingan dan Pengembangan Masyarakat Lima Desa (P3MD) melakukan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas nelayan dan sosialisasi kegiatan perikanan kepada para nelayan.

Kegiatan ini bertujuan agar para nelayan mendapatkan informasi baru terkait budidaya perikanan. Program peternakan, khususnya babi dan ayam  merupakan usaha untuk menciptakan alternatif perekonomian bagi masyarakat lokal. Untuk wilayah dataran rendah, program peternakan difokuskan di Kampung Wangirja (SP IX) dan Kampung Utikini Baru (SP XII).Sedangkan di dataran tinggi, program peternakan dilaksanakan di Tsinga, Banti, dan Aroanop. Program peternakan di kampung tersebut terus mengalami peningkatan seiring dengan semakin baiknya kemitraan dengan Yayasan Jayasakti Mandiri (YJM) dan YPMAK melalui program Rural Income Generating Activities (RIGA).   

Pendampingan program pertanian bertujuan untuk mentransfer pengetahuan kepada masyarakat dalam usaha budidaya tanaman, terutama yang bernilai komersial dengan memanfaatkan lahan yang ada di sekitar tempat tinggal masyarakat.

YPMAK mengembangkan agribisnis, baik di dataran tinggi maupun dataran rendah antara lain dengan program peningkatan produkdi kakao dengan mendirikan pembibitan kakao di SP VI dan SP XII serta mendistribusikan 4.000 anakan pohon kakao untuk 15 petani lokal.  Dan untuk  berbagai macam program inovatif  ini,  pada tahun 2012 PTFI telah menerima  penghargaan Millenium Development Goals (MDGs) atas prestasi dalam bidang pengentasan kemisikinan melalui budidaya peternakan dan pertanian.

Dukungan dalam bidang ekonomi dilakukan melalui program peningkatan akses masyarakat terhadap sistem perbankan. YPMAK memberikan bantuan dana usaha bagi kelompok masyarakat. Program ini dikhususkan bagi masyarakat asli Tujuh Suku  lebih khusus lagi kaum perempuan yang berdomisili di Kabupaten Mimika untuk mengembangkan usaha mereka di bidang penjualan ikan di pasar, kios Sembako, penjualan hasil pertanian hortikultura (sayur mayur) dan buah-buahan serta hasil peternakan ayam dan babi.

Dengan hasil penjualan itu, kaum perempuan dapat menyimpan uang untuk membiayai sekolah anak-anak mereka dan belanja kebutuhan rumah tangga lainnya.

Pembangunan infrastruktur di wilayah operasi PTFI dilakukan di dua wilayah yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Di dataran tinggi, pembangunan infrastruktur diarahkan ke tiga kampung yaitu Banti, Aroanop dan Tsinga.Pembangunan tersebut berupa jembatan gantung di Aroanop dan Tsinga serta instalasi pipa air bersih dan pipa sanitasi.

Untuk pembangunan infrastruktur di dataran rendah, perhatian utama diarahkan ke lima kampung Kamoro yaitu Kampung Nayaro, Koperapoka, Nawaripi Baru, Ayuka dan Tipuka berupa rumah tinggal, jalan raya, jembatan, rumah ibadah, sekolah, klinik kesehatan, fasilitas air bersih, gedung pemerintah, serta sumber dan instalasi listrik.

Juga telah membangun dua  lapangan terbang di desa Tsinga dan  Arianop serta  membangun  komplek olahraga “Mimka Sport Complex”  (MSC) untuk  menyongsong PON XX Tahun 2020  di Papua dengan nilai biaya pembangunan 33 Juta Dolar AS.

PTFI dalam operasinya tetap menjunjung tinggi penghormatan atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM serta perundang-undangan lainnya yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia.

Akhirnya, satu hal yang tidak pernah dilupakan Freeport dalam ikut serta membangun peradaban di Tanah Papua adalah pendidikan disiplin dalam bekerja bagi ribuan karyawannya.

Apabila, Pastor  Misael Kammerer, OFM dalam karya kemanusiaan di wilayah suku-suku asli Pegunungan Tengah Papua pada sekitar tahun 1950-an antara lain telah  mendidik masyarakat untuk berdisiplin dalam hidup dan kerja maka Freeport juga tidak ketinggalan untuk   mendidik karyawannya agar  berdisiplin dalam bekerja.

 Siapapun karyawan maupun Manajemen yang tidak taat pada disiplin waktu dalam  bekerja dengan cara antara lain bolos bekerja dengan tujuan menggelar unjuk rasa atau melakukan  mogok kerja tanpa prosedur hukum yang sah maka orang yang bersangkutan harus “menelan pil pahit” yaitu  diberhentikan sebagai karyawan Freeport dan harus meninggalkan Perusahaan tempat dia menghidupi diri dan keluarganya  sebagai resiko dari perbuatan tidak disiplin dalam bekerja! Mendisiplinkan karyawannya merupakan  bagian integral  dari pembangunan  peradaban di Tanah Papua. Hal ini sangat sering tidak  dilihat dan dimengerti banyak orang,  atau walaupun mereka mengerti namun bertindak seolah-olah tidak mengerti!

Konflik dan perseteruan sering terjadi bukan dilakukan oleh orang yang tidak mengerti peraturan  (disiplin) tetapi justru oleh orang yang sudah mengerti peraturan namun bertindak seolah-olah tidak mengerti.

 

Oleh:  Carlo Roberth T