HAM di Papua Semakin Redup

Freddy Numberi/Istimewa

Oleh : Ambassador Freddy Numberi

Sejak reformasi bergulir dan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, negeri ini telah dipimpin oleh lima orang Presiden, yaitu B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrachman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001), Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009 dan 20 Oktober 2009 – 20 Oktober 2014), dan Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019 dan 20 Oktober 2019 – sekarang).

Para keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak terselesaikan dengan tuntas. Waktu terus bergulir dan terbuang sia-sia, apalagi korban yang berjatuhan sebelum reformasi, sebagai contoh terjadi di Papua sejak 1962. Dengan terpilihnya Ir. Joko Widodo sebagai Presiden RI ke-6, keluarga para korban tersebut sangat mengharapkan adanya kebijakan untuk mengungkapkan kebenaran dan penegakan keadilan secara transparan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ini.

Kondisi yang tidak diinginkan keluarga para korban adalah adanya impunitas (kondisi-kondisi ketiadaan hukuman walaupun telah jelas ada yang melanggar hukum). Oleh karena itu, selesaikanlah kasus-kasus hukum dan pelanggaran HAM yang mereka alami. Undang-Undang Otonomi khusus telah memerintahkan Pemerintah untuk mendirikan Komisi HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Pengadilan HAM. Semuanya berkedudukan di Papua. Mengapa mandat ini belum juga dilaksanakan?

Pemerintah kerap berdalih bahwa pelanggaran HAM itu terjadi karena adanya ancaman terhadap keutuhan wilayah negara. Apakah benar? Jangan-jangan ini hanya ilusi yang tak berdasar. Mengapa saya katakan demikian? Sebab permasalahan status Papua berkaitan dengan keutuhan NKRI sejak kembalinya ke Indonesia sudah tuntas dan final dengan adanya Resolusi PBB No. 205 (XXIV), tanggal 19 November 1969 dengan hasil 84 negara setuju, negara yang tidak setuju nihil, 30 negara abstain/blanko, dan yang tidak hadir sebanyak 12 negara.

John Saltford dalam bukunya The United Nations and The Indonesian Takeover West Papua 1962-1969, The Anatomy of Betrayal (Routledge Curzon, New York, 2003: hal. 8) mengatakan:

“Oleh karena itu, di bawah prinsip uti possidetis juris, West New guinea (WNG) sah milik Indonesia. Jika Belanda memberikan kemerdekaan kepada WNG, maka akan menjadi tindakan separatisme terhadap Indonesia”.

Sejak menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-60 tanggal 28 September 1950, kemudian Indonesia keluar tahun 1965 (konflik dengan malaysia) dan kembali bergabung tahun 1966. Indonesia telah ikut meratifikasi sejumlah piagam maupun konvensi-konvensi PBB yang melindungi HAM dalam bentuk undang-undang Republik Indonesia.

Dalam era globalisasi dewasa ini, kita perlu lebih berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melakukan “ekspresi politik dengan cara damai”. Karena ini akan menjadi sumber kebencian rakyat terhadap rezim pemerintah yang ada, apalagi jika berkaitan dengan orang Papua yang merasa dirinya selama ini “terabaikan” dan “didiskriminasi”.

Sejak kembalinya ke pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia, Papua telah meraih banyak kemajuan, apalagi di era Presiden Jokowi. Namun, masalah penegakan hukum kasus pelanggaran HAM masih terasa jauh dari harapan.

Bung Karno pada pidato Proklamasi 17 Agustus 1951 di Medan, Sumatera Utara mengatakan :

“Hukum ini buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama dan ideologi...... Hak-hak Asasi Manusia itu, satu konstitusi yang dapat kamu banggakan, satu konstitusi yang dapat kamu teladani” (Wawan Tunggul Alam, 2001: hal. 131).

Pada kenyataannya, dalam ekspresi damai tersebut, terjadi pembakaran rumah dan kios ataupun kerusakan ikutan lainnya yang ditimbulkan, tentunya ini menjadi kejahatan terpisah. Akibat ulah “provokator” yang menyusup masuk diantara massa pendemo damai tersebut. Dalam situasi yang demikian, negara cukup menggunakan hukum pidananya untuk menginvestigasi orang-orang yang terlibat dalam aksi-aksi yang menggunakan kekerasan. Jangan digeneralisir perbuatannya, apalagi seolah semuanya melakukan kejahatan melawan negara. Negara harus bisa memisahkan mana perbuatan yang benar-benar kriminal, makar dan mana yang bukan kriminal dan bukan makar.

Kita sesalkan adanya oknum-oknum Papua yang tega membakar kios-kios saudaranya yang berasal dari luar Papua. Hal ini pasti menimbulkan kemarahan bagi mereka yang merasa dirugikan.

Konflik-konflik ini harus segera diatasi terutama oleh pejabat pemerintahan di Papua agar tidak melebarkan jurang kebencian dan dendam antar sesama anak bangsa Indonesia. Jangan sampai nilai-nilai kebangsaan yang kita junjung tinggi seperti Pancasila, UUD 1945, Bhinneka tunggal Ika serta Reformasi yang terus kita kobarkan dengan semangat demokrasi dan keadilan sirna karena rezim pemerintah yang terus silih berganti tidak mampu melindungi rakyatnya.

Profesor Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti) dalam bukunya Manajemen Kemajemukan – Sebuah Keniscayaan Untuk Mengelola Kebhinnekaan Manusia Indonesia Visi 2030 (Universitas Trisakti, Jakarta, 2008: hal. 5) mengatakan: “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur, manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna”.