Willem Wandik: Kulit Bia Jenis Karebo Mencapai 1 Miliar

Tradisi Barter Kulit Bia Kembali Diangkat Bupati Puncak

Prosesi adat angkat kulit bia jenis Karebo yang diberikan kepada Bupati Puncak Willem Wandik disaksikan para kepala suku dari Dani, Damal, Amungme, Moni di Kabupaten Puncak,Jumat (28 /2) lalu/Diskominfo Punca

ILAGA,wartaplus.com-Tradisi kulit bia, merupakan harta karung atau alat barter zaman nenek moyang dari masyarakat Pegunungan Tengah, khususnya suku Dani,Damal,Moni, Amungme,Mee,Nduga, Delem wano,dan beberapa suku lainnya di wilayah pegunungan tengah Papua,sebelum mengenal alat barter modern seperti uang saat ini,kini kulit bia perlahan-lahan mulai pudar,teriring dengan derasnya pembangunan di wilayah-wilayah tersebut, bahkan generasi muda saat ini dari suku-suku  tersebut, mulai lupa akan tradisinya tersebut.Hal inilah membuat Bupati Puncak Willem Wandik,SE,M.Si,merasa terpanggi berusaha kembali mengangkat budaya tersebut,yang dilakukan dalam sebuah acara ritual adat mengangkay kulit bia di Ilaga,Kabupaten Puncak,Jumat,28 Februari,pekan kemarin.

Dalam tradisi adat kulit bia yang dibuat kali ini, para kepala semua diundang,dari suku Dani, Damal, Amungme di Timika,Moni di sugapa Intan Jaya, hadir dalam acara adat tersbut,dimana dalam secara adat kali ini diawali dengan pembicaraan dengan para kepala suku pada malam hari,dengan memperlihatkan kulit bia,maupun keaslian kulit bia dan nilai kulit bia, yang akan diangkat dalam ritual adat, pada pagi harinya dilakukan bakar batu bersama,lalu masuk dalam tradisi mengangkat kulit bia baru, yaitu dengan nama Karebo, untuk masuk dalam angkatan kulit bia yang selama ini digunakan, menjadi kulit bia tertinggi urutan kelima,yang diberikan kepada Bupati Puncak Willem Wandik, disaksikan oleh para Kepala suku dari suku-suku ini, bahkan kulit bia kelas karebo ini mencapai harga Rp.1 Miliar.

 “Sebelum Negara hadir disini, sebelum injil masuk di daerah-daerah ini, sejak nenek moyang kita,alat barter saat itu adalah kulit bia,sehingga kulit bia bagi masyarakat Pegunungan Tengah dianggap sebagai harta karung, siapa yang memegang kulit bia,maka dia dianggap sebagai orang besar, ada kebangggan,kehebatan, sebab orang akan datang kepada dia untuk berkomunikasi dengan dia dalam honay,terkait beberapa persoalan social yang ada kaitan dengan kulit bia,”ungkap Bupati, disela-sela acara ritual pengangkatan kulit bia dengan nama Karebo.

Dijelaskan oleh Bupati, khusus untuk masyarakat Pegunungan Tengah, lebih khusus untuk enam suku ini,lebih khusus masyarakat Puncak, kulit bia sudah makin berkurang, ada sekitar 100 lebih kulit bia saja, yang dipegang oleh orang-orang tertentu.Kata Bupati, bagi masyarakat suku Dani, Damal,ada beberapa kelas kulit Bia, dengan harga tertentu, jika diuangkan dengan nilai mata uang saat  ini, mulai dari harga Rp.5 Juta sampai dengan Rp.500 juta, ditambah lagi dengan beberapa ekor babi, misalnya kulit bia dengan nama Itaniwaga untuk kelas bawah atau kelas satu, songgala wanggala untuk kelas dua, wonggal wonggala kelas tiga,kelas weawuait, dan yang baru dinaikan lagi oleh Bupati dalam ritual adat kali ini adalah kulit bia dengan nama Karebo, merupakan bia kelas tertinggi, karena mencapai Rp.1 M.

“Jadi nilai-nilai dan kelas dari Bia ini jika semua diuangkan, akan mencapai Rp.1 Milia lebih,ini artinya untuk mendapatkan kulit bia karebo,maka perlu membawa kulit bia kelas dibawahnya,ditambah dengan uang dan beberapa ekor babi, baru bisa mendapatkan kulit bia karebo,”jelasnya.

Kata Bupati, ada hal-hal positif yang biasa diambil dari kulit bia ini, untuk saat ini, misalnya ada persoalan sosial masyarakat seperti perang suku, kadang pemerintah dan TNI/Polri,mau hadir untuk negosiasi perdamaian, biasanya memakan waktu dan energy dan biaya yang besar, namun ketika kulit bia yang ternama diambil untuk dikasih ke keluarga korban atau denda kepala, maka persoalan perang langsung aman dan damai kembali.

“Itulah yang membuat pemerintah berusaha melakukan pendekatan kearifal local budaya,agar mampu menyelesaikan konflik social, ekonomi dan budaya, seperti perang,di daerah-daerah seperi di Ilaga,Timika,dan beberapa daerah lain di wilayah Pegunungan tengah,”ungkapnya.

Legitimasi

Lanjut Bupati, ke depan, pihaknya akan membentuk satu lembaga adat untuk memberikan legitimasi secara hukum kepada kulit bia ini,termasuk akan dipatenkan,sehingga ke depan kulit bia memiliki dasar hokum atau semacam sertifikat untuk kulit bia ini, sehingga kekayaan ini tetap terjaga sampai generasi mendatang, bahkan jika memukinkan kulit bia ini bisa diuangkan di Bank.

Mewakili suku amungme kepala sukunya Yulius Kum,yang datang dari Timika untuk mengikuti acara adat tersebut, mengaku sangat setuju dengan tradisi angkat kulit bia ini,karena ada hal poitif yang bisa diambil dari prosesi ini,dimana orang dari suku-suku ini, akan berhati-hati dalam bertindak dalam persoalan sosial, misalnya untuk perang suku, bawa orang pu istri, atau bunuh orang,karena pertimbangan harga bia yang cukup mahal ini.

Nampak beberapa kulit bia yang kembali diangkat di Kabupaten Puncak/Diskominfo Puncak

“Sebelum berbuat masalah orang akan berpikir,apakah saya mampu untuk mencari uang untuk membayar kulit bia kepada pihak korban, akhirnya sebelum buat masalah, harus pertimbankan baik,karena kulit bia cukup mahal,ini hal-hal positif yang bisa kita dapat, sehingga kondisi kehidupan bermasyarakat tetap aman dan damai,”tambahnya.

Kapolsek Ilaga, Iptu Menase Sayori, mendukung langkah Bupati untuk mengangkat kembali tradisi kulit bia ini, karena ada hal-hal positif yang bisa dipertahankan, untuk mengatasi persoalan-persoalan social budaya di Kabupaten Puncak, salah satunya adalah seperti perang suku, ketika kulit bia hadir, untuk alat barter, maka persoalan selesai, kondisi yang semula berperang, akan menjadi damai kembali.*