Tanah Papua Diantara Kontradiksi Sosial dan Perjuangan Menghapus Imperialisme

Arkilaus Baho

Hutan habis, gunung di bor dan digali, tanah dikuasai korporasi bermodal kakap, pelanggaran hak hak dasar bahkan pelanggaran HAM. Sekelumit persoalan tersebut menyebabkan makin terdagrasinya situs sosial orang Papua. Benih-benih peradaban masyarakat Papua dan Papua Barat, dari waktu lampau hingga sekarang, bukanya maju dan mandiri, tapi terus rapuh akibat dominasi imperialisme yang begitu kokoh. 

Ruang hidup masyarakat setempat bukanya sejalan dengan perkembangan dunia, tapi mengalami degradasi akibat dipaksakan dan terpaksa. Berdampak pada frustasi sosial. Masyarakat yang rapuh dan tak merasa bukan tuan di negeri sendiri itu, justru lebih mudah goyah akan sentimen sektarian (rasisme dan fasisme) dan populisme primordial kian subur. Cepat heboh pada isu atau kasus seksi daripada perjuangan merubah keadaan yang hakiki. 

Kontradiksi (pertentangan) sosial dalam perjuangan orang Papua, khususnya setelah bangkitnya kaum pembebas yang diawali sejak perang dunia ke dua sampai ke Tanah Papua. Kontradiksi tersebut tak luput dari lobi imperialisme untuk mengekang daerah tersebut. Pada praktiknya, dalam hal bernegara, kontradiksi melahirkan kebijakan. Apakah sudah sesuai kebijakan yang memihak pada rakyat pasca kontradiksi terjadi? Ataukah imperislisme pemenangnya?

Kontradiksi Lahirkan Kebijakan

Perubahan sosial atau politik apapun yang terjadi, perlu dilihat prosesnya yang bekerja. Tidak kebetulan atau tiba tiba terjadi. Begitu juga ketika pertentangan terjadi, ruang solusi kadang dimanfaatkan oleh mereka yang punya kekuatan dan mobilisasi kuat. Awalnya sejak berdiri Organisasi Papua Merdekw (OPM) tahun 1965, lalu dideklarasikan lagi pada tahun 1971. Dihadapi dengan DOM (Daerah Operasi Militer), bahkan sekarang di era otonomi khusus, dikenal pelabelan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), yang dulunya era DOM hanya dinamai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). 

Jalan imperialisme ke tanah air Indonesia melalui lobi-lobi Papua saat itu. Imperialisme barat kembali masuk dan menguasai Indonesia hingga Papua melalui rezim orde baru Suharto. Integrasi tahun 1962 melalui Newyork Agreement, yang dijalankan pada 1 mei 1963 oleh pemerintah Indonesia, OPM muncul awalnya tahun 1965 atas situasi tersebut. Melakukan perang dengan Indonesia sebagai bentuk pertentangan. 

Pertentangan tersebut melahirkan kebijakan kembalinya imperialisme. Ditandai dengan kontrak karya freeport, satu kebijakan lahir. UUPMA tahun 1967 disahkan. Regulasi yang bertentangan dengan kebijakan bapak pendiri bangsa, Bung Karno. Sebelumnya menasionalisasi aset asing khusunya Belanda. 

Usai teken freeport, pertentangan masih berlanjut. Perjuangan OPM untuk meneruskan kemerdekaan 1 Desember 1961, pasca kalah di pepera 1969, maka pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem bersama Jakob Prai, Jarisetou Jufuway dan Louis Wajoi mencetuskan “Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat “, di Desa Waris keerom Papua atau dikenal dengan deklarasi Waris/Victoria. Pemerintah Indonesia tidak diam. Daerah Operasi Militer (DOM) sebagai bentuk kontradiksi atas perjuangan OPM.

Perlawanan bersenjata hingga bangkitnya perlawanan Amungme dan Kamoro atas freeport, masih diatasi melalui operasi militer. Pertentangan OPM vs DOM, hingga lengsernya Suharto pada tahun 1999 reformasi, pertentangan OPM vs Indonesia masih menguat. Biak berdarah, Wasior berdarah, Wamena berdarah, dan lainnya. Maka lahirlah kebijakan otonomi khusus Papua tahun 2001, hingga saat ini memasuki dua puluh tahun

Perjuangan Menghapus Imperialisme

Usai kontrakdiski melahirkan kebijakan yang pro investasi ke Papua (awal UUPMA), maka regulasi apapun yang dibuat ke Papua, harus menguntungkan pemodal. Jangan heran jika produksi freeport menurun, Badan Pusat Statistik (BPS) bilang Pendapatan Daerah (PDB) Provinsi Papua dan Papua Barat minus. Fakta ketergantungan pendapatan negara di Papua begitu kronis, akibat dari lahirnya kebijakan yang pro imperialisme. Dari kapitalisme produksi yang sudah gagal, beralih lagi ke kapitalis uang. 

Jika dana otsus tidak turun, aktivitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kantor tutup. Proyek untuk sarana dan prasarana publik lainnya terbengkalai. Padahal, produksi tembaga dari freeport kenapa tidak diolah menghasilkan baja ringan untuk kebutuhan bangun jalan, jembatan dan atap rumah? Toh kita hanya dapat fee, pajak dan royalti. Lagi lagi kapitalis uang.

Makin maju dan berkembangnya dunia, pola dan cara imperialisme agar tetap menguasai, dikerjakan melalui berbagai cara dan sistematis. Sendi sosial pun tak luput digarap. Apa itu imperialisme? Tak lain sistem yang menghalalkan berbagai cara untuk melindungi perampokan, penjarahan, perusakan dan eksploitasi bahkan penghisapan, agar nilai lebih (keuntungan) tetap berlaku supaya pemilik modal tetap kaya raya, bukan kesejahteraan atau keselamatan rakyat banyak.

Maka itu, jangan heran, problem HAM di Papua begitu seksi, paling ramai digaungkan, tapi selagi imperialis masih genggam Papua, seribu orang Papua mati atau tergusur dari habitatnya, tak ada masalah, asalkan perusahaan tidak tutup atau sekedar ganti rugi atau pemulihan, bahkan regulasi dan kebijakan tetap pro pada sistem yang saat ini menguasai Tanah Papua. 

Arkilaus Baho (Aktivis Papua/Deklarator Dewan Rakyat Papua)