Natal Kelabu di Tanah Ndugama

Bupati Nduga, Yairus Gwijangge memeluk Pendeta Nataniel Tabuni menyampaikan duka atas meninggalnya Hendrik Lokbere/Andy

KENYAM - Natal merupakan moment sakral yang ditunggu oleh seluruh umat Kristiani di dunia. Natal merupakan kelahiran Yesus sang pembawa damai bagi umat manusia.

Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani di seluruh dunia antusias untuk merayakannya. Bagi yang berada di perantauan akan pulang untuk berkumpul dengan keluarga dan merayakan natal dengan damai dan bahagia.

Begitu pula umat Kristiani di Papua menantikan momentum 25 Desember untuk berkumpul dengan keluarga dan merayakan natal bersama keluarga dan kerabat di kampung halamannya dengan damai dan mengucap syukur atas penyertaan Tuhan dalam perjalanan selama satu tahun.

Namun, moment natal yang identik dengan pesan damai ini tampaknya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Nduga, karena sejak awal Desember 2018 hingga Desember 2019 masyarakat Nduga tidak dapat merayakan natal karena konflik yang terjadi.

Konflik mulai terjadi saat Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya menyerang dan membantai balasan karyawan PT. Istaka Karya yang sementara mengerjakan jalan trans papua dari Mbua menuju Kenyam.

Pasca-kejadian penyerangan Kelompok Kriminal Bersajata tersebut, negara merespon dengan mengirim aparat TNI-Polri untuk melakukan penegakan hukum dengan melakukan operasi militer di beberapa distrik di Nduga yang diduga sebagai markas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). 

Namun seiring berjalannya waktu, pasukan yang dikirim untuk melakukan penegakan hukum terhadap KKB, tak pernah membuahkan hasil, malahan akibat operasi militer tersebut ribuan warga yang tinggal di kampung-kampung di Nduga memilih mengungsi karena kontak senjata yang sering terjadi antara aparat keamanan dengan Kelompok Kriminal Bersenjata.

Sekitar 30 ribu masyarakat Nduga memilih untuk mengungsi ke beberapa kabupaten terdekat karena tidak ingin menjadi korban konflik yang terjadi. Ribuan warga ini mengungsi ke Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Timika dan sebagian menuju Ibukota Kenyam. Sementara sebagiannya hingga saat ini masih berada di hutan.

Selama konflik yang terjadi, jumlah korban dari korban sipil terus bertambah. Dati data yang diperoleh dari Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua menyembunyikan bajwa hingga Desember 2019 terdapat 241 orang yang meninggal selama konflik.

" Jumlah korban yang meninggal akibat konflik di Nduga hingga hari ini ada 241 orang. Mereka meninggal akibat kekerasan fisik, penembakan, korban meninggal di hutan dan pengungsian," kata Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem kepada wartaplus.com di Kenyam, Selasa (24/12) siang.

Theo mengaku, akibat konflik yang terjadi, masyarakat Nduga terpaksa meninggalkan kampung halaman dan tidak dapat merayakan natal. 

" Masyarakat Nduga sudah dua tahun tidak merayakan natal karena konflik ini. Bagaimana mau merayakan sementara kampung kosong, gereja kosong dan semua berada di pengungsian. Bagaimana mau merasakan damai natal kalau seperti itu? Mereka tidak merayakan damai natal itu sama sekali," ujarnya.

" Masyarakat Nduga bisa merasakan damai natal itu kalau mereka bisa merayakan natal di kampung sendiri, digereja sendiri, dan dikhotbakan oleh pendeta mereka dalam bahasa daerah, karena kalau bahasa Indonesia mereka tidak mengerti. Jadi memang damai natal itu sudah tidak ada bagi masyarakat Ndugama," sebutnya.

Jenazah Hendrik Lokbere ditunggui keluarganya sebelum dimakamkan Selasa sore

Sedih

Di tempat yang sama, Koordinator Gereja Kingmi di Tanah Papua Kabupaten Nduga, Pendeta Nataniel Tabuni, mengaku sedih karena dalam dua tahun ini warga Nduga tidak merayakan natal dengan damai.

" Sejak tahun lalu dan tahun ini masyarakat Nduga tidak merayakan natal karena gereja kosong, masyarakat ketakutan dan lari meninggalkan kampung. Sebagai pelayan saya coba untuk menghimbau umat untuk kembali, tapi mereka tidak mau kembali karena takut menjadi korban. Saya hanya bisa berdoa semoga konflik antara OPM dan Aparat keamanan ini cepat selesai, dan masyarakat kembali ke kampung mereka," tuturnya dengan nada sedih.

" Jangankan natal, hari minggu saja gereja kosong. Kalaupun ada hanya beberapa saja yang hadir, yang lain masih berada di hutan dan tempat pengungsian," ucapnya.

Lebih lanjut Pendeta Nataniel Tabuni menyebut,  bahwa dirinya baru saja merayakan natal bersama Pangdam di Mbua, namun setelah itu penampakan dilakukan oleh aparat terhadap warga Nduga.

" Saya dengan sebagian masyarakat Mbua baru merayakan natal dengan Pangdam, tapi baru tiga hari berlalu kembali terjadi penembakan terhadap anak kami. Dimana damai natal itu kalau umat Tuhan di Nduga terus menjadi korban? Saya mau katakan bahwa damai itu tidak ada di tanah Ndugama ini," sesalnya.

Meski situasinya demikian, Pendeta Nataniel Tabuni mengaku tidak pernah membenci OPM dan aparat keamanan TNI-Polri yang menyebabkan ribuan warga mengungsi.

" Saya sangat sedih dengan kondisi ini, tapi sebagai hamba Tuhan, saya tidak membenci siapapun. Saya akan doakan kalian semua karena kalian adalah umat Tuhan," imbuhnya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nduga, Ronal Kelnea menyebut bahwa damai natal sama sekali tidak ada bagi masyarakat Nduga.

" Tahun lalu masyarakat Nduga tidak merayakan natal karena kejadian penganiyaan OPM terhadap warga yang dilanjutkan dengan pengiriman pasukan untuk mengejar OPM. Lalu tahun ini juga kami tidak rayakan natal karena anak kami baru saja ditembak dan kejadian ini sangat melukai hati kami suku Nduga," akunya.**