Perayaan HPI, Warinussy: Selamatkan Masyarakat Adat dan OAP

Ilustrasi masyarakat asli Papua

MANOKWARI- Menyambut Perayaan Hari Pribumi Internasional (HPI) pada 9 Agustus 2019 mendatang, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) mendesak Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap keberadaan masyarakat adat Papua dan orang asli Papua sebagai pemilik tanah dan negeri Cenderawasih tercinta ini.


"Eksistensi masyarakat adat Papua diatas tanah adatnya sudah berada pada posisi yang sangat tidak adil dari sisi sosial, ekonomi, politik dan hukum. Contoh kasus di Timika, masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro telah mengalami kehilangan tanah dan sumber daya alam miliknya, akibat kehadiran perusahan multi raksasa asal Amerika Serikat, Freeport Mc Moran" ungkap Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy, Jumat (9/8)

Kondisi yang sama juga terjadi di Merauke, masyarakat adat suku Marind, Muyu dan Mandobo mengalami ketersingkiran atas aksesnya pada tanah dan sumber daya alam, karena adanya proyek pangan nasional. Juga di daerah Sumuri, 2 (dua) keret yaitu Wayuri dan Soway telah mengalami kehilangan haknya atas tanah di wilayah Saengga, akibat beroperasinya proyek LNG Tangguh yang dilakukan lewat kontrak bagi hasil antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan gas alam asal Inggris, Byond Petroleum (BP).

Kemudian di kota Manokwari ada sejumlah kelompok masyarakat adat Suku Arfak serta suku-suku penggarap lahan kering telah mengalami marginalisasi dari sumber daya alam yang dikuasai dan dikelolanya selama puluhan tahun sejak tahun 1950-an hingga dewasa ini.
"Ini disebabkan oleh adanya langkah dan cara pengalihan tanah adat menjadi tanah negara (bersertifikat) yang cenderung tidak adil. Bahkan ada beberapa individu pengusaha orang non Papua yang masing-masing bisa memiliki kapling tanah lebih dari 5 hingga 6 bahkan 10 sertifikat atas nama pribadi," beber Warunussy

Hutan Adat bukan Hutan Negara

Sesungguhnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013. Dimana melalui putusan tersebut, sesungguhnya MK membuat koreksi terhadap konsep dan praktek penguasaan tanah di Indonesia. Konsep dimaksud ialah bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Dan pada saat yang sama, MK juga menyatakan bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan hak.

Kemudian putusan MK No.35 tersebut merupakan tonggak penting dari perjuangan panjang Masyarakat Hukum Adat dan kelompok masyarakat sipil pendukungnya untuk mengoreksi kekeliruan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Yaitu secara khusus berkaitan dengan konsep, kebijakan dan praktik penguasaan tanah dan hutan di Indonesia.

Dorong Regulasi


Berkenaan dengan itu, LP3BH mendesak pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat untuk segera mendorong lahirnya regulasi setingkat perdasi atau perdasus yang mampu memberi perlindungan hukum bagi jati diri Masyarakat Hukum Adat di seluruh Tanah Papua (7 wilayah adat) berikut hak-haknya sebagai diatur dalam amanat pasal 43 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan UU No.35 Tahun 2008.

"Hal ini dapat dimulai dengan mendorong program pemetaan tanah adat dan melindungi bagian tanah adat yang belum dilepaskan oleh masyarakat adat Papua," urainya

Kemudian diteruskan dengan memulai kegiatan inventarisasi masalah terkait tanah-tanah adat yang sudah dilepaskan dan atau pelepasannya berlaku secara tidak adil dahulu

Warinussy menambahkan bahwa Ini dapat didasarkan pada amanat pasal 38 dan pasal 43 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan UU No.35 Tahun 2008.**