Harga Ikan Jadi Pemicu Deflasi di Kota Jayapura

ilustrasi/google

JAYAPURA - Kota Jayapura mengalami deflasi pada periode April sebesar 0,26 persen. Kondisi tersebut berbeda dengan bulan sebelumnya yang mengalami inflasi sebesar 0,26 persen.

Faktor pemicu terjadinya deflasi tersebut yakni penurunan harga pada ikan ekor kuning sebesar 0,0662 persen, ikan cakalang 0,254 persen, tarif listrik 0,012 persen, daging sapi 0,012 persen, ikan kawalina 0,011 persen, ikan deho 0,008 persen, daging ayam 0,006 persen, kayu lapis 0,006 persen, ikan tengiri 0,006 persen, ikan tongkol 0,005 persen dan beberapa komoditas dominan lainnya.

"Secara umum deflasi tersebut masih didominasi oleh pengaruh penurunan harga pada kelompok bahan makanan yang memberikan andil 0,64 persen terhadap total deflasi di Kota Jayapura," terang Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, Bambang Wahyu Ponco Aji dalam rilis bulannya, Kamis (2/5).

Lanjut katanya, di Kota Jayapura perkembangan inflasi dalam tahun berjalan April 2019 mencapai 0,23 persen. Pencapaian tersebut lebih rendah dan terkendali dibandingkan April 2018 yang sebesar 1,97 persen.

"Inflasi yoy April 2019 sebesar 4,88 persen dan relatif lebih tinggi dibandingkan yoy April 2018 yang sebesar 3,37 persen," ujarnya.

BPS Provinsi Papua menilai bahwa berdasarkan pantauan inflasi month to month tersebut memberikan sinyal bahwa capaian inflasi di Kota Jayapura relatif terkendali.

Produksi IMBS Papua Tumbuh Negatif

Sementara itu, pertumbuhan produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang (IMBS) Provinsi Papua dalam periode triwulan I 2019 mengalami pertumbuhan negatif sebesar 3,86 persen dari triwulan IV 2018. Angka pertumbuhan tersebut lebih rendah dari angka pertumbuhan secara nasional yang tumbuh positif sebesar 0,61 persen.

Dijelaskan Kepala Bidang Statistik Produksi BPS Provinsi Papua, Beti Yayu Yuningsih, penurunan angka pertumbuhan ini disebabkan karena selama triwulan I 2019 terjadi penurunan produksi pada industri makanan, khususnya minyak kelapa sawit, industri kayu, barang dari kayu dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya.

"Penurunan produksi minyak kelapa sawit ini dikarenakan pengaruh cuaca, dimana terjadi banjir di banyak daerah penanaman kelapa sawit yang menyebabkan produksi buahnya menurun," ujar Beti.

Selain itu kata dia, menurunnya produksi kayu juga diakibatkan karena perusahaan kesulitan mendapatkan izin untuk memperluas lahan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sehingga perusahaan harus melakukan efisiensi produksi.

"Kondisi yang berbeda justru terjadi pada produksi industri minuman. Komoditi ini selama triwulan I 2019 mengalami pertumbuhan positif sama seperti triwulan IV 2018. Fenomena ini terjadi karena begitu besarnya permintaan masyarakat pada saat perayaan tahun baru," jelasnya.

Jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksi triwulan I 2018, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang secara y-on-y Provinsi Papua selama triwulan I 2019 mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,78 persen.

"Pertumbuhan yang positif secara y-on-y tersebut disebabkan karena meningkatnya produksi komoditi industri maianan, utamanya minyak kelapa sawit dan juga produksi industri minuman pada 2019 jika dibandingkan dengan 2018. Sebaliknya, industri kayu, barang dari kayu, barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya mengalami penurunan secara y-on-y pada triwulan 1 2019," pungkasnya. *