Karena Alasan Ini Pemprov Papua Batalkan Integrasi JKN-KIS dan KPS

Suasana pembahasan rencana integrasi JKN-KIS dan Kartu Papua Sehat antara Dinas Kesehatan, Direktur Rumah Sakit dan pihak BPJS pada Rakerkesda Papua, Senin (29/04/2019) di Aston Hotel Jayapura/Istimewa

JAYAPURA —Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kesehatan membatalkan kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Divisi Regional Papua dan Papua Barat untuk mengintegrasikan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dengan Kartu Papua Sehat (KPS) untuk tahun 2019.

Pembatalan MoU integrasi JKN-KIS dan KPS itu disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Papua, drg. Aloysius Giyai, M.Kes di acara Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi Papua, Selasa (30/4) kemarin.

“Harusnya di kesempatan Rakerkesda ini kita lakukan MoU dengan BPJS. Namun karena masalah validasi data, kita putuskan pending tahun depan,” ungkap Aloysius soal alasan pembatalan.

Perwakilan BPJS dalam rapat

Perdebatan Alot

Menurutnya, pembatalan ini dilakukan karena dalam raker yang salah satunya membahas integrasi JKN-KIS dan KPS terjadi perdebatan alot antara seluruh kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit dengan pihak BPJS terkait validasi data penerima manfaat. Serta belum sepakatnya upaya mengatasi pasien Orang Asli Papua yang belum memiliki Nomor Induk Kaependudukkan (NIK) alias tak punya E-KTP saat datang berobat.  

“Permasalahan yang paling urgen adalah validasi data yang dimiliki oleh BPJS," kata Aloysius

Diakuinya, pihak Provinsi sudah siap membayar premi sebanyak 513.932 orang dengan total biaya Rp 142 miliar. Namun datanya tak dibuka oleh BPJS, berapa kuota tiap kabupaten. BPJS tidak bisa membuka by name by address per kabupaten.  Belum lagi, ada kabupaten yang sudah membiayai BPJS dengan membayar dana PBI per tahun seperti Keerom yang berpotensi pendobelan. 

"Ini berbahaya kalau diaudit, baik BPJS maupun Dinkes sama-sama kena,” jelasnya panjang lebar

Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya akan memberi kesempatan kepada semua Dinas Kesehatan di seluruh kabupaten/kota bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar selama tahun 2019 ini bisa merampungkan validasi data kependudukan dan sedapat mungkin membuat perekaman E-KTP bagi warga asli Papua.

Dana KPS Tidak Ada

Mantan Direktur RSUD Abepura ini menjelaskan, permasalahan lain yang diperoleh dari presentasi dinas kabupaten/kota, dana KPS yang sudah ditetapkan TPAD Provinsi Papua yang seharusnya diambil  dari Dana Otsus kabupaten ternyata tahun ini tidak ada. 

“Artinya, saat ini ketika kita belum MoU dengan BPJS untuk integrasi ini, pasien Orang Asli Papua di kabupaten akan terlantar karena KPS tidak ada. Oleh karena itu, semua Kepala Dinas dan Direktur rumah sakit di 29 kabupaten/kota kami semua tanda tangan dan menghadap Gubernur Papua dan Kepala BPJS untuk menyatakan bahwa tahun ini kami sepakat tunda integrasi. Tetapi saya minta kabupaten bekerja validasi data selama 2019 ini agar per 1 Januari 2020 tidak ada alasan apapun untuk ditunda,” tegasnya.

Aloysius juga memastikan bahwa untuk pelayanan kesehatan di tiga rumah sakit milik Pemprov Papua, rumah sakit mitra Pemrov Papua, RS rujukan luar Papua, klinik keagamaan dan penerbangan tetap berjalan selama 2019 karena dananya sudah dianggarkan.

Langkah Bijak

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom, dr. Ronny Situmorang mendukung langkah Dinas Kesehatan Papua untuk melakukan integrasi JKN-KIS dengan KPS. Hanya saja, melihat belum ada keterbukaan data kuota by name by address dari BPJS untuk tiap kabupaten, maka keputusan menunda integrasi hingga tahun depan adalah langkah yang bijak.

“Kami adalah salah satu kabupaten yang menerima penghargaan dari Presiden Jokowi tahun 2019 karena UHC (Universal Health Coverage—Red.). Jadi pembiyaan kesehatan semua penduduk Keerom itu kita tanggung. Yang jadi pertanyaan sekarang kalau terjadi integrasi JKN-KIS dan KPS, kami perlu tahu data tanggungan dari Pusat melalui JKN itu kuotanya berapa orang penduduk Keerom, yang ditanggung  oleh Provinsi dan kabupaten berapa, ini harus jelas biar tidak tumpang tindih dan kami bisa tidak terbebani,” kata dr. Ronny.