Pelanggaran HAM Papua, Filep Wamafma: Negara Harus Jujur Kepada Rakyat Papua

Pembacaan aspirasi pada saat hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2018 di halaman DPR Papua Barat pasca demo ratusan masyarakat Papua menyuarakan tentang HAM di tanah Papua, Senin (10/12)/Alberth

MANOKWARI,- Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) khusus di Tanah Papua menjadi perhatian Nasional maupun Internasional. Karena itu, negara diminta jujur kepada rakyat Papua tentang sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Yang namanya manusia, tentu saja memiliki harkat dan martabat.

Menurut pandangan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari Filep Wamafma, momen 10 Desember 2018 sebagai Hari HAM Sedunia, tentu saja diperingati seluruh masyarakarat di dunia, termasuk rakyat Papua.

"Jadi, kalau ada orang, kelompok dan golongan yang lakukan kekerasan tehadap manusia hingga menghilangkan nyawa seseorang tanpa berpikir dampaknya, maka dikategorikan sebagai pelanggaran HAM," kata Wamafma, Senin (10/12) kemarin.

Dijelaskan Wamafma, pendekatan manusia Papua oleh pemerintah maupun TNI/Polri harus dilakukan secara hati nurani, karena negara tidak kuat tanpa adanya manusia. Negara kuat dan hadir untuk melindungi masyarakat.

Misalnya saja, negara seperti Unisoviet, Iran dan Iraq mereka pecah karena terjadi kekerasan pelanggaran HAM.

Oleh karena itu, kalau negara (kita) Indonesia memandang bahwa Papua bagian dari NKRI, maka persoalan Papua harus diselesaikan dengan menggunakan Pancasila, UUD dan yang lebih penting adalah pendekatan hati nurani menyelesaikan masalah HAM.

Berbicara HAM, tapi sangat universal dan tidak perlu adanya tindakan diskriminasi, sebab kedudukan semua orang sama. Hanya saja jabatan yang membedakan kedudukan masyarakat. Kaitan dengan HAM di tanah Papua dan berbicara tentang demokrasi maupun menyampaikan pendapat dimuka umum telah dilindungi undang-undang.

Pendapat Wamafma, Papua merupakan daerah rezim khusus yang dibahas sejak kepemimpinan Presiden Suharto, Sukarno dan sampai ke rezim Presiden Joko Widodo.

Di samping itu telah diberlakukan undang-undang otonomi khusus, namun pendekatan Presiden Jokowi sudah menghormati HAM melalui amanat UU Otsus saat ini dan terbukti banyak perubahan dari sisi infrastruktur. Artinya sesuai pancasila bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia harus juga tertanam di Tanah Papua.

Lebih lanjut Wamafma mengaku bahwa, Papua saat ini dihadapkan dengan sejumlah persoalan. Artinya di ibaratkan seperti Kronis, artinya banyak kaitan, misalnya bicara tentang Otsus, maka ada kaitan dengan aspek lain seperti budaya, sosial, politik dan pelanggaran HAM.

"Bagi saya mari kita bicara dari aspek HAM lainnya seperti bidang ekonomi, sosial, politik. Contohnya kita punya hak politik, namun justru hak politik kita di tanah Papua tidak berjalan karena di rampas dan berbeda dengan daerah lain, seperi GAM (gerakan aceh merdeka). Bahkan disana bendera mereka dipakai sebagai simbol di daerah Aceh" ucap Wamafma.

Berbeda halnya dengan Papua saat ini dan terkesan ada sesuatu yang ditakuti oleh Negara. Sebab kalau berbicara HAM bidang ekonomi Papua masih termisikin di Papua. Kenapa? padahal sumber daya alam (SDA) bisa menghidupkan manusia Papua.

Kemudian aspek Sumber daya manusia (SDM) untuk memperoleh pekerjaan seperti masuk Tentara, polisi telah diatur sekian persen sesuai amanat undang-undang Otsus, namun juga dirampas, maka dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Padahal kata dia, negara telah lahirkan UU Otsus kepada Papua, tetapi negara yang mengesampingkan, maka disebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. Bagi Wamafma, berbicara pelanggaran HAM di tanah Papua tidak pernah akan habis, maka bagaimana caranya agar masalah Papua diselesaikan.

Kaitan dengan masalah kasus di Kabupaten Nduga, Papua, tegas Wamafma bahwa, masalah lalu yang kemungkinan besar tidak diselesaikan sehingga memicu persoalan baru.

Misalnya saja pekerjaan proyek di Tanah Papua yang tidak memberdayakan pekerja lokal setempat dan mendatangkan orang luar bekerja disana. Dengan demikian masalah itu yang akan menjadi bom waktu.

Wamafma mengatakan bahwa, sejarah integrasi Papua kedalam NKRI harus melihat kembali sejarahnya, lalu negara harus jujur kepada rakyat Papua.

"Negara harus jujur tentang tindakan pelanggaran HAM dimasa lalu  dan sekarang ini kepada orang asli Papua, sehingga diketauhi secara jelas. Namun sepanjang negara belum jujur, maka stigma pelanggaran HAM masa lalu terus diteriakkan," ucap Wamafma.

Kata dia, sepanjang negara mengklaim tidak ada pelanggaran HAM, maka persoalan ini akan salin berbeda pandangan dan pendapat yang menyebabkan memicu panjang masalah di atas Tanah Papua.

"Bagi saya bahwa negara harus mengakui perbuatannya kepada orang Papua dan penegakan hukum harus dijalankan, sebab kalau ada perbuatan yang dilakukan oknum penegakam hukim di masa lalu, maka harus diusut dan diproses agar masalah Papua selesai," katanya.

Ia menyarankan kepada negara untuk membentuk komisi  rekonsiliasi agar menyelesaikan  masalah HAM Papua, dimana komisi rekonsiliasi ini bekerja untuk mencari solusi dan menjawab persoalan Papua. Satu kata kunci adalah sudah saatnya negara mengambil tindakan nyata secepatnya dan jujur kepada rakyat Papua. *