Bakal Cagub Ones Pahabol dan Petrus Mambai Gugat KPU Papua ke Pengadilan Tinggi TUN Makassar

Suasana sidang Sengketa Pilkada di PTUN Makassar, Senin (12/3)/Istimewa

JAYAPURA,- DR. Ones Pahabol, SE.MM dan Petrus Yoram  Mambai, pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Tahun 2018, menggugat KPU Papua ke PT TUN Makassar. Pasangan ini menggugat Keputusan KPU Papua Nomor: 28/PL.03.1/91/Kpt/Prov/ll/2018, tanggal 20 Februari 2018 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang memenuhi persyaratan menjadi peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tahun 2018.

Dalam sidang yang berlangsung Senin (12/3) hari ini di PTUN, Penggugat melalui kuasa hukumnya, Hendrik Tomasoa, membacakan Gugatan yang dihadiri oleh Kuasa Hukum Tergugat yakni KPU Papua, Heru Widodo, Dhimas Pradana, David Soumokil, Aan Sukirman, Lardin, dari Kantor Advokad Pieter Ell & Asossiates.

Dalam gugatan tersebut, Penggugat, Ones Pahabol dan Petrus Mambai, tidak menerima Keputusan KPU Nomor: 28/PL03.1/91/Kpt/Prov/ll/2018, tanggal 20 Februari 2018 di mana sebelumnya penggugat pun telah mengajukan keberatan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Papua, dengan surat Nomor: 029/OP.PM/II/2018, tanggal 22 Februari 2018, atau  dua hari setelah Tergugat mengeluarkan keputusannya.

Karena itu, Penggugat mengajukan gugatan terhadap Keputusan KPU tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar dan telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar pada Hari Senin, tanggal 05 Maret 2018, atau 2 (dua) hari kerja, sehingga gugatan masih dalam tenggat waktu 3 (tiga) hari kerja, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan, maka sangat patut dan beralasan hukum apabila gugatan Penggugat dinyatakan dapat diterima.

Menurut Penggugat, kelemahan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, yaitu: (a). Penentuan Pasangan Bakal Calon Gubemur dan Wakil Gubernur hampir 100% (seratus persen) ditentukan oleh Pimpinan Pusat Partai Politik di Jakarta, sehingga praktis terbukti saat ini hanya  2(dua) Pasang Calon yang diusung gabungan partai politik dan telah ditetapkan oleh Tergugat. Hal ini menunjukkan pengabaian terhadap aspirasi langsung dari Orang Asli Papua, yang juga saat ini masih dapat disalurkan melalui Panitia Khusus (PANSUS) DPR Papua.

Kemudian, tidak adanya pembatasan presentase kursi dan partai politik untuk mengusung pasangan bakal calon, sehingga sangat memungkinkan dominasi Pasangan Bakal Calon tertentu untuk "sapu bersih" seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPR Papua, terbukti dari 55 (lima puluh lima) kursi DPR Papua, dari 11 (sebelas) Partai Politik, Pasangan Calon Incumbent meraup 42 (empat puluh dua) kursi dari 9 (sembilan) Partai Politik dan 1 (satu) Pasangan Calon lainnya hanya memperoleh 13 (tiga belas) kursi dari 2 (dua) Partai Politik.

Dengan demikian, menurut Penggugat, saat ini terbuka kemungkinan masuknya Penggugat sebagai tambahan Pasangan Bakal Calon Gubemur dan Wakil Gubernur Papua Tahun 2018 yang berasal dari jalur perseorangan.

Dengan demikian, Penggugat meminta kepada Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut agar mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya, menyatakan batal Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Nomor: 28/PL03.1/91/Kpt/Prov/ll/2018, tanggal 20 Februari 2018 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Yang Memenuhi Persyaratan Menjadi Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tahun 2018, memerintahkan Tergugat untuk mencabut objek sengketa tersebut.

Pengugat juga meminta agar majelis hakim memutuskan, memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang penetapan Penggugat sebagai pasangan calon peserta pemilihan Gubernur danWakil Gubernur Provinsi Papua Periode 2018 – 2023.

Terhadap gugatan Penggugat ini, pada kesempatan yang sama, Tergugat pun membalas dengan memberikan jawabannya yang intinya menolak dalil Penggugat mengenai alasan kekhususan Papua dengan argumentasi bantahan bahwa pascadicabutnya Pasal 7 huruf a UU No. 21 Tahun 2001 dengan UU No. 35 Tahun 2008, kewenangan DPR Papua tidak dinegasikan sama sekali, namun diberi peran yang berbeda dari sebelumnya, yakni diikutsertakan dalam menerima berkas syarat calon untuk kemudian meneruskan atau menyampaikan kepada MRP (Majelis Rakyat Papua), selanjutnya MRP melakukan verifikasi apakah calon yang mendaftar di KPU benar-benar sebagai Orang Papua Asli.

“Sebagai buktinya, dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua 2018 saat ini, Termohon menyampaikan berkas syarat calon kepada MRP melalui DPRP, selanjutnya pada tanggal 14 Februari 2018 DPRP meneruskan atau menyampaikan berkas tersebut kepada MRP untuk diverifikasi tentang Keaslian Orang Papua dari bakal pasangan calon yang telah mendaftar ke KPU Provinsi Papua. Hasil verifikasi Keaslian Orang Papua diserahkan oleh MPR kepada Tergugat pada tanggal 19 Februari 2018,” terang Kuasa Hukum Penggugat, Heru Widodo, dkk.

Peran serta DPR Papua dimaksud, jelas Tergugat, diatur secara tegas dalam Pasal 25 ayat (1) PKPU No. 10 Tahun 2017 tentang Ketentuan Khusus dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat, yang menyatakan bahwa: “KPU Provinsi Papua atau Papua Barat menyampaikan salinan dokumen persyaratan bakal calon kepada MRP melalui DPRP unutk mendapatkan pertimbangan dan persetujuan terhadap syarat calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) huruf a”.

Kemudiaan, Pasal 22 ayat (1) huruf a PKPU No. 10 Tahun 2017 menyatakan, bahwa:  “Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. orang asli Papua”.

Adapun tentang keberadaan Pansus DPRP yang dikaitkan dengan aspirasi Dewan Adat Papua meminta DPRP mencalonkan Penggugat sebagai pasangan bakal calon dari jalur perseorangan, dan berkas pencalonan tersebut disampaikan DPRP kepada Tergugat pada tanggal 19 Februari 2018 namun tidak dapat Tergugat terima, sehingga dengan ini Tergugat tegaskan bahwa agenda kegiatan tanggal 19 Februari 2018 adalah “penyampaikan rekomendasi dari MRP kepada KPU Papua atas hasil penelitian keaslian orang Papua dari bakal pasangan calon yang sudah mendaftar dan memenuhi syarat calon dan syarat pencalonan”, bukan dalam agenda kegiatan “pendaftaran bakal calon perseorangan”, yang menurut Jadwal dan Tahapan yang ditetapkan oleh KPU RI secara Nasional, dibuka pada 24-26 November 2017 lalu.

Menurut Tergugat, adalah sangat tidak fair dan melanggar hukum jika Penggugat memaksakan kehendaknya agar pada tanggal 19 Februari 2018 Tergugat membuka kembali dan/atau menerima pendaftaran bakal dari jalur perseorangan yang sudah ditutup 26 November 2017 lalu.

Bahwa sesuai dengan Jadwal dan Tahapan, penetapan pasangan calon dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 2018, namun sampai dengan tanggal 12 Februari 2018 terdapat 1 (satu) syarat yang belum bisa dipenuhi yaitu pertimbangan dan persetujuan status “orang asli papua” untuk kedua bakal pasangan calon yang dikeluarkan oleh Majelis Rakyat Papua (“MRP”) dikarenakan dokumen administrasi untuk proses persyaratan orang asli papua yang Tergugat serahkan melalui DPRP belum diserahkan oleh DPRP kepada MRP.

Padahal, dokumen tersebut telah Tergugat serahkan melalui DPRP sejak sebulan sebelumnya, tepatnya tanggal 12 Januari 2018 (Bukti T-14). Atas dasar kondisi riil tersebut, maka kedua bakal pasangan calon yang telah mendaftar di KPU Provinsi belum memenuhi syarat keaslian orang Papua, sehingga Tergugat belum dapat menetapkan pasangan calon pada tanggal tersebut.

Meskipun demikian, Tergugat tetap melaksanakan pleno penetapan pasangan calon sesuai jadwal pada tanggal 12 Februari 2018 dengan memperhatikan dokumen syarat pencalonan B-KWK, B2-KWK, B3-KWK dan B4-KWK Parpol untuk kedua bakal pasangan calon dinyatakan memenuhi syarat;

Kemudian, karena sampai dengan rapat pleno penetapan pasangan calon berlangsung, syarat calon mengenai pertimbangan dan persetujuan status Orang Asli Papua bagi bakal calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Papua belum terpenuhi, kemudian Tergugat melakukan skorsing rapat pleno sampai dengan pukul 23.00 WIT dengan tetap berupaya untuk mendapatkan dokumen dimaksud. Dalam tenggang waktu skorsing tersebut, Komisioner KPU Provinsi ditugaskan menuju kantor MRP untuk menanyakan perihal syarat keaslian orang Papua dimaksud.

Pada saat skors dicabut pada pukul 23.30 WIT, jelas Tergugat kemudian, MRP hadir dalam rapat pleno dan menyampaikan pendapat untuk meminta waktu selama 7 (tujuh) hari untuk melakukan proses verifikasi berkas orang asli papua kepada Tergugat sebagaimana surat dari MRP nomor: 270.00/MRP/2018 yang juga dibacakan pada saat rapat pleno tersebut; (vide Bukti T-16).

Terhadap permintaan dari MRP untuk meminta waktu melakukan verifikasi berkas, Tergugat meminta pendapat  Bawaslu Provinsi Papua terkait hal dimaksud dan Bawaslu Provinsi Papua pada pokoknya sependapat dengan Tergugat untuk memberikan tambahan waktu selama 7 (tujuh) hari.

Oleh karena itu, Tergugat menolak dengan tegas dalil Penggugat dalam gugatannya mengenai alasan kekhususan Papua  dengan alasan bahwa untuk menyoal kelemahan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, yang menurut Penggugat mengabaikan aspirasi langsung dari Orang Asli Papua, dapat diuji materiil maupun uji formil di Mahkamah konstitusi, bukan di peradilan sengketa tata usaha Negara pemilihan dalam perkara aquo.

Quod non, dalam hal terdapat kelemahan dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, padahal tidak, adalah tidak serta merta dapat dijadikan dasar bagi masuknya Penggugat sebagai tambahan Pasangan Bakal Calon dari Jalur Perseorangan diluar jadwal dan tahapan, sebab UU tersebut sebenarnya telah memberi ruang dan waktu yang cukup bagi Penggugat maupun warga Negara Indonesia yang orang Papua Asli untuk mendaftarkan diri dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua 2018 melalui jalur perseorangan pada 24-26 November 2017. Faktanya, Penggugat tidak menggunakan kesempatan tersebut alias melepaskan hak konstitusionalnya untuk menjadi bakal calon, tetapi Penggugat justru mendaftar melalui Jalur partai politik pada tanggal 10 Januari 2018, tetapi gagal memenuhi syarat calon dan persyaratan pencalonan.

Dengan demikian, dalil Penggugat dalam alasan kekhususan Papua tidak beralasan menurut hukum, sehingga cukup bagi majelis hakim untuk menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

Salah satu Kuasa Hukum KPU Papua, David Soumokil kepada wartaplus.com, usai sidang mengemukakan, sidang ditunda Rabu (13/3) besok, dengan agenda mengajukan bukkti surat dari kedua belah pihak yakni Penggugat dan Tergugat. [Frida]