Seleksi Online Peradaban Baru Dan Orang Asli Papua

Foto: Ilustrasi

Oleh:  Peter Tukan*

BERBAGAI diskusi, pernyataan,  polemik dan  mungkin unjuk rasa  seputar rencana  seleksi  Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dengan sistem “Online”  kini sedang hangat-gangatnya bergulir di tengah masyarakat,  khususnya di  wilayah Provinsi Papua yang merupakan salah satu wilayah Otonomi Khusus (Otsus) selain Provinsi Papua Barat berdasarkan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua.

Seleksi Online secara sangat  sederhana  dapat dimengerti  sebagai  seorang  calon tenaga kerja mengikuti  seleksi  untuk diterima di sebuah lapangan pekerjaan (kantor atau perusahaan)  atau  seorang calon pelajar atau calon mahasiswa mengikuti ujian   di sebuah lembaga pendidikan  dengan menggunakan peralatan laptop atau komputer yang mengandalkan  jaringan internet yang baik. 

Kesulitan dalam mengikuti seleksi online antara lain,  sering terjadi koneksi internet yang tidak stabil. Server  bermasalah saat membuka soal-soal  tesnya, dan sebagainya. Orang tidak dapat mengikuti tes online jika di lokasi ujian tersebut, tidak tersedia aliran listrik yang prima dan  jaringan internet.

Kelebihan dari seleksi online adalah semua proses seleksi benar-benar transparan semua orang tahu hasilnya alias  tidak “neko-neko”, praktis dan obyektif artinya jika lulus maka dia lulus murni sebaliknya jika tidak lulus maka memang benar dia belum mampu. Tidak ada kompromi apapun antara peserta tes dengan penguji atau pengawas ujian. 

Tidak dikenal “calon titipan” pejabat manapun juga. Tidak ada perlakuan istimewa kepada peserta seleksi atas dasar “pesan sponsor” dan arahan atau petunjuk  pejabat atau orang berpengaruh dan berduit.

Caranya adalah peserta seleksi  itu, duduk dengan tenang  di depan komputer  atau laptop yang terhubung dengan  internet lalu mengerjakan soal-soal  yang sudah disiapkan di dalam jaringan itu. Benar atau salah, berhasil atau tidaknya  pekerjaan kita  akan  ditentukan atau dijawab secara online pula. Nilai ujian  atau peringkat kelulusan juga  dapat langsung ditentukan secara otomatis melalui jaringan internet ini.

Jika peserta ternyata  lulus seleksi  online maka  patut disyukuri, sebaliknya apabila tidak lulus pun harus disyukuri . Ungkapan lain yang lebih halus  dari pernyataan “tidak lulus”  adalah “belum berhasil”.  Sebutan lain sebagai penghibur hati yang kecewa  dari “ belum berhasil” adalah “keberhasilan yang tertunda”. 

Kebalikan atau berbeda dari sistem  online  adalah seleksi offline artinya,    peserta seleksi diterima atau dinyatakan lulus, antara lain berdasarkan nilai rata-rata Rapor  minimal 7,5 dan  nilai rata-rata ijazah minimal 7,5.  Selain itu, peserta harus  mengikuti tes kecerdasan, tes potensi akademik, tes minat dan bakat, mendapatkan surat keterangan sehat dari dokter, tes Bahasa Inggris dan sebagainya (Lihat: Permendiknas No.78 Tahun 2009) 

Kelemahan dari tes offline adalah kemungkinan adanya ketidak terbukaan atau transparansi dalam seleksi. Juga adanya intervensi atau  “main mata”  di belakang layar antara peserta tes  atau pesan sponsor dengan penguji atau pengawas.

Ada “calon titipan” dari  pejabat sebuah instansi, penguasa atau pengusaha tertentu sehingga kemungkinan besar, mayoritas mereka yang  dinyatakan lulus seleksi adalah anak-anak pejabat atau pengusaha kaya atau anak-anak hasil “titipan” tersebut.

Kejadian di banyak wilayah di Indonesia (Maaf, di Papua saya belum tahu) bahwa pada  menjelang pelaksanaan  seleksi, terlihat dan terdengar  begitu banyak pejabat pemerintah, pimpinan dan anggota legislatif serta  pimpinan lembaga-lembaga berpengaruh lainnya,  berteriak  sangat emosional  disertai sedikit ancaman  untuk membatalkan seleksi online tersebut.

Selanjutnya, dengan mengatasnamakan rakyat kecil yang bermukim di kampung-kampung  terpencil dan terisolir  yang  samasekali tidak terjangkau jaringan internet, mereka berjuang  habis-habisan agar terlaksana seleksi offline bukan online.  Banyak  di antara mereka yang jujur berjuang, namun tidak sedikit pula di antara mereka  yang tidak jujur,   setelah menyodorkan  berbagai alasan dan pertimbangan yang  (mungkin terkesan ) masuk akal sehat. 

Hasil perjuangan dari mereka yang tidak jujur berjuang  itu adalah ketika  diumumkan  kelulusan di media massa, maka yang terlihat dalam daftar nama peserta seleksi yang dinyatakan lulus itu adalah anak-anak  pejabat atau anak-anak titipan pejabat, pengusaha dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya yang kemarin itu berteriak-teriak  memprotes pelaksanaan tes online, sementara  peserta seleksi yang  adalah anak-anak rakyat jelata  yang seharusnya lulus seleksi  karena mereka memang pintar, dinyatakan tidak lulus. 

Peradaban Baru

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu, di Papua terdengar orang berkampanye, berdiskusi, memajang spanduk dan baliho   dengan mengusung tema :  “Menuju Peradaban Baru di Tanah Papua”.

Sebagaimana kita ketahui bahwa  pilar-pilar utama   “Peradaban Baru “ itu adalah Kebudayaan, Agama, Ilmu Pengetahuan  (Pendidikan) dan Teknologi.  Tanpa berpijak pada pilar-pilar ini maka cita-cita menuju sebuah “Peradaban Baru” hanyalah sebuah slogan kosong  tanpa makna, sebuah mimpi indah yang tak pernah terwujud. “Peradaban Baru”  hanya sebagai  “penghias  bibir”  di kala berkampanye pada tahun-tahun politik  pemilihan umum.

Salah satu unsur penting dan amat menentukan pola pikir dan pola tingkah laku manusia zaman ini adalah kenyataan adanya perubahan-perubahan sosial disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).

Dunia Iptek merupakan perangkat budaya global yang semakin meresapi berbagai sendi kehidupan umat manusia, dimana masyarakat di Tanah papua merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya global itu.Tidak ada masyarakat modern lepas dari penguasaan dan pengembangan Iptek.

Apabila kita menyadari bahwa saat ini masyarakat Papua  sedang berziarah  menuju  “Peradaban Baru”  maka itu  berarti masyarakat Papua tidak boleh mengasingkan diri  atau lari dari tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Kita harus memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dan menguasai  sekaligus menggunakan teknologi yang sudah ada di depan mata kita untuk “bertarung” dalam perjalanan zaman yang terus berubah dan penuh tantangannya itu.

Pada zaman ini, teknologi tidak bisa dipisahkan dari segala bentuk kegiatan masyarakat di Tanah Papua. Pada saat ini bisa dibilang,  teknologi menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup setiap orang. Teknologi itu sendiri ada untuk mempermudah masyarakat Papua di Tanah Papua dalam mengerjakan segala kegiatan, kebutuhan serta kepentingannya. Kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah masyarakat di Tanah Papua  akan tetap membutuhkan teknologi yang dapat mempermudah segalanya.

Teknologi akan terus berkembang merubah peradaban di dunia menjadi lebih maju dari era yang kita alami sekarang. Teknologi (komputer)  juga memberikan kemudahan dalam mengikuti seleksi  untuk memasuki lembaga pendidikan atau menapaki sebuah lapangan kerja baru. 

Dengan hanya bermodalkan laptop atau komputer dengan jaringan internet yang  memadai, semua bisa teratasi. Peserta seleksi  yang juga adalah putra-putri Orang Asli Papua (OAP) tidak perlu harus menyiapkan pensil, penghapus dan peralatan tulis lainnya.
 Kemampuan menggunakan teknologi komputer dalam seleksi  CPNS, misalnya,  tentu akan semakin  menegaskan kemampuan dan mutu  diri seorang anak OAP  dalam mengikuti seleksi tersebut.

Kemampuan anak OAP mengoperasikan komputer atau laptop dengan jaringan internet yang baik,  menegaskan kepada dunia bahwa Orang Asli Papua pun tidak kalah hebatnya dengan warga masyarakat lain di luar Tanah Papua. Mereka mampu “duduk sama rendah - berdiri sama tinggi – tidur sama rata” dalam  penguasaan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi modern di zaman moderen  ini.
Untuk mencapai semuanya itu, pendidikan memegang peranan  sentral . Lembaga pendidikan di Tanah Papua harus dapat memberikan kepastian kepada calon peserta seleksi bahwa dengan berbekalkan pendidikan yang bermutu, mereka mamupu dan berhasil mengikuti seleksi  online dengan menggunakan komputer atau laptop berjaring internet.

Orang Asli Papua

Khusus tentang seleksi  calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Provinsi Papua, pihak DPRP dan pihak-pihak lainnya yang berkompeten telah menyatakan menolak seleksi online, sebaliknya  mereka menghendaki seleksi  sistem offline.

Ketua DPR Papua (DPRP), Dr Yunus Wonda sepakat bahwa  seleksi online bagi CPNS tidak layak diberlakukan di Papua mengingat kondisi Papua saat ini dimana masih banyak daerah yang belum terlayani jaringan internet secara baik dan Pemerintah Pusat, lanjut Yunus,  jangan menyimpan pesan diskriminasi. Apabila jaringan internet  di Papua terakses dengan baik, menyeluruh  dan kualitasnya memadai maka pihaknya tidak keberatan untuk dilakukan  seleksi online.

“Kami sangat tidak setuju dengan seleksi  online di Papua, ini tidak menguntungkan orang Papua dan hanya memberikan  kesempatan kepada orang dari luar Papua untuk datang bekerja , sementara ada ribuan anak-anak Papua yang mengantri  dan berharap, bisa mengabdi bagi daerahnya lewat PNS,” katanya seperti dikutip Harian Cepos, 20 September 2018.Hal 1 dan 5.

Alasan yang disampaikan Dr Yunus Wonda menjadi benar (tetapi tidak boleh berlaku selamanya), apabila pada saat ini dia  mempertimbangkan kondisi geografis di Papua yang  belum semua wilayah  dapat memiliki jaringan internet  karena jaringan internet merupakan syarat  bagi beroperasinya komputer atau laptop  saat peserta seleksi mengikuti seleksi sistem online. 

Mengapa  alasan  geografis ini tidak boleh berlaku selamanya, karena bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, semua warga masyarakat yang berdomisili di Tanah Papua terutama Orang Asli Papua  (OAP) tidak boleh “melek “ ilmu pengetahuan dan teknologi  (Iptek) termasuk teknologi komputer berjaring internet itu.  

Perkembangan zaman menuntut semua orang termasuk  masyarakat di tanah Papua  harus menguasasi Iptek dengan segala konsekuensinya. OAP sendiri tidak boleh ketinggalan zaman dan tidak boleh pernah tertinggal dari  lajunya perkembangan zaman menuju Peradaban Baru.

Dengan adanya seleksi  penerimaan CPNS  melalui tes online maka persyaratan tersebut harus sudah dapat mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua  bersama semua perangkatnya untuk semakin  berpacu membangun  infrastruktur teknologi (internet) di seluruh pelosok kampung, distrik dan kabupaten sehingga nantinya tidak ada alasan apapun lagi untuk menolak pelaksanaan seleksi dengan sistem online. 

Jika hal ini tidak segera  dilakukan maka  masyarakat Papua akan ketinggalan “kereta zaman” yang melaju begitu cepatnya tanpa kompromi sedikitpun dan pada akhirnya kita sendiri menjadi “hamba” dari perkembangan teknologi itu sendiri. 

Para calon tenaga kerja di Papua  (baik swasta maupun di lingkungan pemerintahan)  harus segera berpacu dalam perkembangan Iptek,  dan tidak terus-menerus mengandalkan “politik dan kebijakan afirmasi” khusus Papua  yang telah diamanatkan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua. 

Orang Asli Papua pada satu ketika harus keluar dari alasan-alasan  klasik, seperti   masih adanya hambatan cuaca yang tidak ramah dan kondisi geografis yang menantang nyawa. Atau dalam hal seleksi online, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, OAP harus dapat mengikuti seleksi online seperti yang berlaku di belahan dunia lainnya sebagai bagian integral dari pemenuhan  tuntutan perkembangan  zaman . Kita tidak boleh menghindari dari tuntutan zaman, semakin kita menghindar, semakin kita digilas habis oleh roda zaman itu.

Apabila,kali ini, seleksi online belum dapat dilaksanakan di Tanah Papua maka mulai hari ini juga para pencari kerja OAP harus dipersiapkan dengan mengikuti pelatihan atau kursus-kursus komputer di kota-kota yang terjangkau internet. Ketika  tiba saatnya digelar seleksi CPNS sistem online, maka mereka yang sudah mengikuti kursus atau pelatihan itu dikumpulkan di kota-kota berjaring internet untuk mengikuti seleksi.

Kita semua tentu tidak menghendaki,   sikap dan tindakan keras  menolak seleksi online dengan terus menerus menampilkan alasan (klasik) kondisi geografis Papua  (walaupun itu masuk akal sehat), padahal, mungkin saja, penolakan dengan alasan itu  sebagai cara lain dari sikap kita yang  tidak  percaya diri dan tidak yakin akan  kemampuan diri kita sendiri.

Jangan sampai, menolak seleksi online sebagai cara untuk mempertahankan seleksi offline yang mungkin penuh dengan kompromi dan rekayasa di balik semuanya. Seleksi online merupakan salah satu cara untuk membuktikan bahwa peserta seleksi bukanlah “jago kandang”.

“Gerbong Kereta Iptek” terus melaju dengan sangat kencangnya melintasi zaman,  sementara masyarakat  Orang Asli Papua pun  sedang berada di dalam gerbong itu! Kita tidak boleh ketinggalan kereta itu, kita pun tidak boleh hanya sebagai penumpang kereta, tetapi harus bisa  menjadi masinis pengemudi lokomotip kereta zaman ini. 


*Peter Tukan:  Wartawan aktif (1984-2010)