73 Tahun Republik Indonesia, Sejumlah Pelajar Terganggu Hak Adat

Pihak kepolisia membuka paksa pintu pagar yang tertutup rapat/Ola

SORONG,-Bangsa ini baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke 73 tahun pada 17 Agustus lalu.
Namun tidak demikian dengan Ratusan pelajar SD Inpres 74 Kota Sorong, Papua Barat yang sudah hampir dua pekan tidak menikmati proses belajar mengajar, disebabkan sekolah mereka dipalang oleh sejumlah orang yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat diatas tanah seluas kurang lebih 3.000 meter persegi.

Berharap ada perhatian pemerintah, ratusan orang tua dan siswa melakukan orasi di depan kantor Wali Kota Sorong, Senin pagi (20/8).

Tidak puas dengan tanggapan pihak pemerintah Kota Sorong yang diwakili pejabat lainnya, ratusan massa kemudian mengancam akan belajar di depan sekolah yang tepat berada di pinggir jalan Protokol.

Namun dengan pengamanan ketat oleh pihak Kepolisian yang dipimpin langsung Wakapolres Sorong Kota, Kompol Hengky Kristanto melakukan negosiasi dengan pihak pemilik ulayat. Menemui jalan buntu pihak kepolisian kemudian membuka paksa pintu pagar yang tertutup rapat.

Setelah pagar terbuka, siswa SD kemudian berhamburan masuk ke dalam sekolah dengan wajah ceria. Tanpa diperintah oleh guru, mereka langsung membersihkan ruang kelas dan halaman yang penuh dengan debu dan daun kering.

Salah satu pelajar, Geby mengaku senang karena dapat bersekolah kembali. Geby bersama teman-teman lainnya berharap pemalangan tidak lagi terulang.

Orang tua siswa, Vince juga berharap kejadian pemalangan tidak lagi terulang dan meminta kepada Wali Kota Sorong untuk mengambil tindakan tegas kepada pemilik ulayat.

"Kami minta Wali Kota secepatnya mengambil tindakan untuk duduk bersama dengan pemilik ulayat. Jangan sampai anak-anak Kami menjadi korban dari permasalahan ini," ujar Vince.

Perwakilan pemilik ulayat, Alfredo Muray mengatakan bahwa pihaknya memberikan kesempatan kepada para pelajar untuk kembali bersekolah, namun persoalan dengan pemerintah Kota tetap berjalan.

"Saya harapkan pemerintah dapat melihat kami, kami tidak terlalu menuntut nilai besar, yang penting ada buat kami. Hargai kami sebagai anak adat anak pribumi dibawah UU otsus tahun 2000. Ketika kami ribut kami dibilang saparatis. Kami buat begini supaya mata pemerintah terbuka. Masalah adat harus diselesaikan secara adat, tapi kalau ke hukum kami juga sudah siap,"ujar Alfredo.

Pemalangan yang dilakukan ini merupakan pemalangan kali kedua dimana sebelumnya pihak pemilik ulayat pernah melakukan pemalangan pada 3 Mei lalu disaat siswa kelas VI hendak melaksanakan Ujian Sekolah.
Perwakilan pendemo saat itu, Peninsula Nawarisa mengatakan jika tanah milik keluarganya ini belum pernah diganti rugi oleh pemerintah.

"Dari tahun 1982, belum pernah ada proses ganti rugi. Kami sudah berkali-kali mengadu ke pemerintah kota tapi tidak ada tanggapan. Oleh karena kekesalan itu maka hari ini Kami lakukan pemalangan dengan tuntutan ganti rugi 5 Miliyar atas luas tanah 3000 meter persegi. Kami tidak akan memberikan ijin pakai sekolah kalau belum ada tanggapan dari Walikota," ujarnya pada 3 Mei lalu.*