TIMIKA,wartaplus.com - Di tengah pegunungan hijau Papua yang diselimuti kabut, sebuah kabar membahagiakan datang dari Timika. Tiga anak muda dari suku asli Amungme dan Kamoro suku yang sejak dulu menjaga tanah leluhur di sekitar tambang Freeport baru saja resmi menyandang gelar dokter.

Foto: dr. Christanto Beanal, penerima beasiswa PTFI melalui YPMAK menyelesaikan studi kedokteran di Unika Atmajaya. Saat ini ia tengah menempuh pendidikan S2 Manajemen Rumah Sakit di Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Banten/Corcom PTFI
Mereka bukan sekadar lulusan kedokteran biasa. Mereka adalah pionir: dokter perempuan pertama dari suku Kamoro, dokter laki-laki pertama dari suku Amungme, dan dokter perempuan pertama dari suku Amungme. Namanya dr. Thalia Thomas Karupukaro (Kamoro), dr. Christanto Beanal (Amungme),dr. Sephia Jangkup (Amungme).

Foto: Thalia Thomas Karupukaro, penerima beasiswa PTFI melalui YPMAK berhasil meraih gelar dokter dari kampus Universitas Katolik Atma Jaya, Kampus Pluit, Jakarta/Corcom PTFI
Bagi masyarakat adat di Mimika, ini bukan hanya soal gelar. Ini soal harapan yang akhirnya menjadi nyata.
Claus Wamafma, Director & Executive Vice President Sustainable Development PT Freeport Indonesia yang juga orang asli Papua, tak bisa menyembunyikan kebanggaannya.
“Mereka sudah membuktikan: kerja keras, disiplin, ketekunan, dan kemauan beradaptasi bisa mengantarkan anak Papua ke puncak cita-cita. Kami di Freeport bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka,” ujarnya dengan suara bergetar. Perjalanan itu memang tidak mudah khususnya bagi Thalia.
Sejak tahun 2013, saat masih duduk di bangku SMP di Tomohon, Sulawesi Utara, Thalia sudah menjadi penerima beasiswa YPMAK yang didanai penuh PT Freeport Indonesia. Dua belas tahun lamanya ia merantau dari bangku SMP, SMA, hingga akhirnya lulus dokter dari Universitas Atma Jaya Jakarta.
Foto: dr. Christanto Beanal, penerima beasiswa PTFI melalui YPMAK menyelesaikan studi kedokteran di Unika Atmajaya. Saat ini ia tengah menempuh pendidikan S2 Manajemen Rumah Sakit di Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Banten/Corcom PTFI
Ada hari-hari ia menangis karena rindu kampung, ada malam-malam ia hampir menyerah karena pelajaran kedokteran yang berat, ada momen-momen ia merasa sendirian di kota besar. Tapi setiap kali ia hampir jatuh, ia ingat wajah ibunya di kampung, ingat janji pada sukunya, dan ingat bahwa ia sedang membuka jalan bagi adik-adik di belakangnya.
Kini, Thalia pulang membawa stetoskop dan gelar dokter sekaligus membawa harapan baru bahwa anak perempuan Kamoro bisa menjadi apa saja yang ia mau.
Di balik kisah tiga dokter ini ada satu program yang sudah berjalan hampir 30 tahun: Beasiswa YPMAK (Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro). Sejak 1996, ribuan anak dari tujuh suku adat di sekitar wilayah operasional Freeport mendapat kesempatan belajar—dari SD sampai perguruan tinggi, bahkan sampai ke luar negeri.
Leonardus Tumuka, Ketua Pengurus YPMAK, mengatakan dengan tegas, “Kami ingin mencetak manusia Papua yang kuat, yang nantinya bukan hanya bisa bantu dirinya sendiri, tapi juga bisa mengangkat masyarakatnya. Dokter Thalia, dokter Christanto, dan dokter Sephia adalah bukti nyata bahwa itu mungkin.”
Tiga dokter muda ini bukan akhir dari cerita. Mereka adalah awal.
Awal dari generasi baru Papua yang tak lagi hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri, tapi menjadi pelaku utama yang menentukan masa depan bangsanya.*

