JAKARTA, wartaplus.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua dalam Perkara Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang dimohonkan Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1 Benhur Tomi Mano-Constant Karma. Mahkamah menegaskan jumlah pengguna hak pilih pada pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua yang berlangsung pada 6 Agustus 2025 tidak boleh melebihi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) secara keseluruhan di tingkat Provinsi Papua pada pencoblosan serentak 27 November 2024.
“Tidak boleh ada orang yang dapat memberikan hak pilihnya di luar dari nama-nama pemilih yang ada dalam daftar pemilih dalam pemungutan suara tanggal 27 November 2024 tersebut,” ujar Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur membacakan pertimbangan Putusan Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 pada Rabu (17/9/2025) yang dikutip dari mkri.id.
Namun, Mahkamah juga menegaskan pembatasan jumlah pemilih demikian tidak ekuivalen dengan pembatasan jumlah partisipasi pemilih di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS). Mahkamah menemukan pengguna hak pilih pada 6 Agustus 2025 berjumlah 521.272 pemilih, sedangkan pada 27 November 2024 sebanyak 545.879 pemilih.
Menurut Mahkamah, angka tersebut tidak terdapat kejanggalan maupun penambahan jumlah pengguna hak pilih dalam Pilgub Papua pasca-Putusan Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025. Sedangkan Pemohon keliru atau salah memahami antara data pemilih DPT dan data pengguna hak pilih DPT, sehingga berakibat terdapat ketidaksesuaian data yang disajikan Pemohon.
Tidak pula ditemukan adanya laporan atau temuan berkaitan dengan dalil Pemohon mengenai tingkat partisipasi di atas 100 persen DPT. Dengan demikian, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan adanya jumlah pemilih melebihi 100 persen DPT yang merugikan Pemohon atau menguntungkan Paslon Nomor Urut 2 Matius Fakhiri-Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen selaku Pihak Terkait sehinga mempengaruhi perolehan suara Pemohon. Karenanya, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pada pokoknya Pemohon mendalilkan adanya anomali data pemilih yang mengindikasikan terdapat pengkondisian data pengguna hak pilih yang dilakukan secara sistematis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua hingga KPU Kabupaten/Kota serta Panitia Pemilihan Distrik (PPD) yang menguntungkan Pihak Terkait. Namun, menurut KPU Papua selaku Termohon, Pemohon tidak melihat keseluruhan penurunan jumlah pengguna hak pilih dalam PSU sebanyak 24.607 pemilih sehingga dinilai wajar apabila jumlah pemilih dalam DPK juga berkurang.
Selain itu, proses pencermatan yang dilakukan Termohon berkenaan dengan data pemilih terkait adanya alih status pemilih menjati TNI/Polri telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku secara transparan dan melibatkan pemangku kepentingan. Jumlah pemilih dan/atau pengguna hak pilih dalam DPK bersifat dinamis tergantung partisipasi pemilih pada waktu dan tempat tertentu.
“Siapapun tidak berhak memaksa pemilih untuk memberikan atau tidak memberikan suaranya dalam penyelenggaraan pemilu termasuk pemilukada. Hal demikian karena menggunakan hak pilih atau tidak menggunakan hak pilih adalah hak konstitusional warga negara, bukan merupakan kewajiban konstitusional,” kata Ridwan.
Andaipun ada anomali pada data pemilih atau DPK tersebut benar adanya, tidak dapat dipastikan siapa yang dipilih oleh para pemilih tersebut. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai tingkat partisipasi pemilih di atas 100 persen melebihi DPT pada 62 TPS di 24 distrik dari 8 kabupaten/kota adalah tidak beralasan menurut hukum.
Dalil Perubahan Perolehan Suara
Pemohon juga mendalilkan adanya perubahan perolehan suara pada 30 TPS di 10 distrik pada 5 kabupaten di wilayah Papua berupa pengurangan maupun penambahan suara baik untuk Pemohon maupun Pihak Terkait. Perubahan tersebut terjadi di 3 TPS di Kabupaten Jayapura, 16 TPS di Kabupaten Kepulauan Yapen, 5 TPS di Kabupaten Biak Numfor, 4 TPS di Kabupaten Sarmi, dan 2 TPS di Kabupaten Supiori. Termohon juga telah membantah dan memberi jawaban yang pada pokoknya perolehan suara yang didalilkan oleh Pemohon pada umumnya berbeda dengan perolehan suara versi Termohon yang merujuk dokumen C. Hasil dan D. Hasil Kecamatan.
Perubahan perolehan suara yang dituntut oleh Pemohon tidak diikuti dengan adanya uraian mengenai konsekuensi berupa konsistensi antara jumlah pengguna hak pilih, jumlah surat suara yang digunakan, dan jumlah suara sah dan tidak sah. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak menguraikan dalilnya secara komprehensif. Pemohon tidak menjelaskan secara rinci atau detail proses perubahan tersebut, tidak pula menjelaskan siapa yang melakukan, kapan terjadinya, dan apakah Pemohon telah mengajukan keberatan dan telah melaporkannya ke Bawaslu secara berjenjang.*