Ketua Peradi Jayapura Sesalkan Sikap Slow Respon Pemprov Papua Terhadap Tuntutan Dokter Spesialis

Ketua DPC Peradi Jayapura, Dr Pieter Ell SH/dok:Rep

JAYAPURA, wartaplus.com - Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jayapura, Dr.Pieter Ell SH mengaku prihatin dan menyesalkan sikap slow respon Pemerintah Provinsi Papua dalam menyikapi tuntutan para dokter spesialis dan sub spesialis.

Sebelumnya, pada Senin (28/08) lalu, puluhan dokter spesialis yang ada di tiga rumah sakit milik pemerintah daerah Papua, berunjuk rasa menuntut adanya penyesuaian Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sesuai dengan kinerja.

Dimana besaran TPP yang diterima dibawah standar dan tidak sama dengan daerah lain yang mengacu pada Permenkes RI tahun 2019. Bahkan, saat ini Pemerintah Papua belum menyelesaikan tunggakan TPP selama 8 bulan.

Puluhan dokter yang berstatus sebagai ASN ini bahkan mengancam jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, maka terhitung mulai 31 Agustus besok, mereka tidak akan memberikan pelayanan rawat jalan di tiga Rumah Sakit yakni RSUD Dok II Jayapura, RSUD Abepura dan Rs Jiwa  Abepura.

Masalah Serius

"Ini masalah serius yang menyenggol hak asasi manusia di bidang kesehatan," ujar Pieter Ell kepada wartaplus.com, Rabu (30/08) pagi.

Menurut Pieter, sudah saatnya aspirasi para dokter direspon segera, sehingga tidak menimbulkan aksi yang merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan prima.

"Sangat disayangkan, jika para dokter spesialis dan sub spesialis ini harus mogok kerja. Karena jasa mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sedang mengalami sakit. Sehingga kami berharap Pemerintah Provinsi Papua segera menindaklanjuti tuntutan mereka, agar pelayanan kesehatan bisa berjalan baik," harap Pieter Ell.

Ketua Komite Medik RSUD Jayapura, dr Yunike Howay, Spa, kepada wartawan di sela aksi demo mengatakan, dalam Pergub Papua no.9 tahun 2023 dalam pasal 27, dokter spesialis tidak termasuk didalamnya.

"Padahal SK sebelumnya kami ada masuk dalam Pergub di pasal 23. Tetapi begitu Pergub no.9 itu keluar, kami tidak ada tempat lagi dalam Pergub tersebut. Namun ada satu pasal yakni pasal 27, yang mana pekerjaan yang kami lakukan sudah memenuhi pasal tersebut," tegas Yunike.

"Tujuan kami datang kesini, kami menuntut diberikan penghargaan dengan masuk dalam Pergub No 9 tahun 2023, pasa 27. Dimana kami adalah ASN yang melakukan pekerjaan dengan beban kerja yang berlebih, dan pekerjaan kami tentunya dilakukan bukan seperti ASN pada umumnya yang kerja mulai pukul 7.30 hingga pukul 15.00. Tetapi pekerjaan kami ini bekerja diluar jam kerja yang namanya On call, sehingga kami minta Pemerintah hargai kami," tegasnya lagi.



Tuntut TPP Khusus

Berkaitan dengan itu, lanjut Yunike, mereka menuntut diberikan TPP khusus bagi yang menangani masyarakat. "Pekerjaan kami adalah menangani penanganan terhadap publik, awalnya kami sudah audiensi dengan Plh Sekda, sempat menjanjikan kepada kami akan dipikirkan bahwa dokter tidak akan menerima haknya seperti ASN pada umumnya, karena dokter memiliki kelebihan beban kerja. Tetapi pada kenyataannya TPP kami terjadi penundaan pembayaran sudah delapan bulan," ujarnya menyayangkan.

Soal keterlambatan pembayaran TPP, aku Yunike, pihaknya sudah pernah melakukan pertemuan dengan Plh Sekda Provinsi juga Ketua DPR Papua, serta Biro Ortal Provinsi

"Tetapi tidak ada respon, sehingga hari ini kami harus turun berdemo di depan kantor gubernur Papua,"  ungkapnya.

Yunike mengingatkan, jika dalam 3 hari Pemerintah tidak menanggapi aspirasi yang disampaikan. Maka para dokter spesialis ini akan berkerja seperti waktu kerja ASN pada umumnya.

"Jika ada pasien diluar dari jam kerja yang seharusnya, biar nanti Pemerintah yang tangani," tegasnya memperingatkan.

Sementara itu Konsultan Neonatologi (Konsultan Bayi), dari RSUD Abepura, dr Sandra menambahkan, intinya kami menuntut kesamaan hak yang sama seperti dokter spesialis yang ada di seluruh Indonesia.

"Kami belum minta penambahan TPP, padahal di Papua jauh dari Jawa yang notabenenya biaya kehidupan kita di Papua sangat besar, tetapi kami masih menerima hak kami dibawa standar atau tidak sesuai dengan Permenkes," ujarnya menyayangkan.**