Peran Lembaga-Lembaga di Tingkat Masyarakat Dalam Membangun Ketahanan Nasional Bidang Sosial Budaya

Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs Paulus Waterpauw/Istimewa

Oleh: Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri Komisaris Jenderal Polisi Drs Paulus Waterpauw

Latar Belakang

Ketahanan nasional (national resilience) adalah faktor kunci dalam eksistensi dan perkembangan suatu bangsa, termasuk Indonesia. Tanpa memiliki ketahanan nasional yang tangguh, maka akan sangat sulit bagi negara kita untuk memenuhi cita-cita negara seperti yang termuat di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Ketahanan nasional Indonesia adalah kemampuan bangsa Indonesia, atas dasar keuletan dan kemampuannya sendiri, untuk menanggulangi dan memenangkan segala bentuk ancaman, gangguan atau hambatan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. 

Pada tahun 2021, World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan yang diberi judul “The Global Risks Report 2021: Insight Report”.  Di dalam laporan WEF tersebut dikemukakan sejumlah ancaman global sebagai berikut:

Persepsi tentang risiko global yang masih tetap sama yaitu penyakit menular, kegagalan penanggulangan perubahan iklim, senjata pemusnah massal, krisis ekonomi rumah tangga, krisis utang negara-negara, dan rusaknya infrastruktur teknologi informasi;

Semakin rapuhnya ekonomi dan semakin meningkatnya perpecahan sosial

Semakin melebarnya kesenjangan digital dan ketidakmerataan adopsi teknologi

Semakin bergandanya jumlah orang muda yang tidak memperoleh peluang untuk maju secara ekonomi

Semakinnya melemahnya kerjasama global untuk menangani risiko perubahan negatif iklim dan

Semakin meningkatnya risiko terpolarisasinya industri, khususnya pasca pandemi Covid-19.

Sebagai bagian dari sistem perekonomian global, maka Indonesia juga menghadapi risiko yang berasal dari ke-6 ancaman global seperti yang dikemukakan di atas – tidak saja ancaman yang berasal dari luar Indonesia, tetapi juga tuntutan dari dalam negeri agar disparitas antardaerah dan antarkelompok masyarakat bisa semakin diperkecil.   

Ketahanan nasional Indonesia itu dipelihara dan ditingkatkan melalui suatu sistem penyelenggaraan negara antara lain: melalui pemerintahan yang digerakkan oleh kepemimpinan nasional yang efektif, maka tercipta suatu gerak bersama sebagai suatu bangsa yang mampu menghadirkan  keadilan, ketertiban, ketentraman, penegakan hukum dan penghormatan HAM serta demokrasi di semua kalangan penduduk di seluruh tanah air. 

Melalui pelaksanaan pembangunan, maka berbagai keperluan hidup seluruh masyarakat bisa terpenuhi, melalui pembangunan yang direncanakan dan diimplementasikan secara paripurna, cerdas dan akuntabel, maka kesejahteraan masyarakat Indonesia terus meningkat melalui semakin tingginya komponen-komponen yang menyusun Indeks Pembangunan Manusia  yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

Melalui pembinaan masyarakat yang dilakukan secara demokratis, khususnya dalam pelestarian 4 (empat) pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, maka integritas nasional dan ketahanan (resilience) Indonesia di segala bidang akan semakin kukuh dari waktu ke waktu.  

Lembaga-lembaga Masyarakat dan Peranannya

Lembaga (institution) pada dasarnya terdiri dari dua komponen dasar: sistem nilai yang mengatur perilaku para anggota Lembaga itu (Keizer, 2008), dan organisasi yang mewadahinya (Zucker, 1983).  Di dalam lembaga orang-orang berkumpul, berinteraksi, bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan yang pada umumnya disepakati bersama.  Semakin tinggi interaksi dan kerjasama para anggota, yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang telah diinternalisasi dan didukung bersama, maka akan semakin solid lembaga tersebut. 

Prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas ini juga berlaku di kalangan masyarakat, bahkan sampai ke tingkat yang paling bawah/akar rumput.  Lembaga-lembaga masyarakat seperti ini telah lama eksis melalui keswadayaan mereka sendiri. Dari segi formalitas, bisa saja lembaga-lembaga itu tidak terdaftar di instansi pemerintah terkait, tetapi dari segi aktivitas, mereka tetap berfungsi bahkan berkembang.

Dengan demikian tantangan yang dihadapi adalah bagaimana bisa mengaitkan dan melibatkan lembaga-lembaga masyarakat ini dalam upaya besar untuk membangun dan memantapkan ketahanan nasional Indonesia?  Metoda apa yang paling tepat untuk mencapai hal tersebut? Pintu masuk untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas adalah dengan:

Mempelajari dengan seksama tentang nilai-nilai dan/atau harapan-harapan apa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut; dan bagaimana nilai lembaga itu diwadahi, dan harapan lembaga itu dijawab, melalui implementasi nilai-nilai dari ke-4 pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan. 

Ketahanan Nasional di Daerah: contoh kasus pembangunan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat.Tantangan yang terutama di dalam mewujudkan Ketahanan Nasional di Provinsi Papua adalah penyelenggara Negara di daerah masih belum berhasil secara baik memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Papua sebagaimana amanat pasal 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Di sektor Pendidikan, sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi Khusus  kondisi pendidikan penduduk asli Papua masih jauh tertinggal dibanding penduduk asal luar daerah Papua, sesudah 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua,  tentu telah terjadi peningkatan, namun masih perlu dikritisi agar benar-benar memberikan dampak positif yang sebesar-besarnya bagi pembangunan ketahanan negara di Tanah Papua.

Jumlah sekolah menurut jenis, jumlah murid dan jumlah guru telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan di Tanah Papua apabila dibandingkan keadaan sebelum Otsus diberlakukan. Pada tahun 2000 jumlah sekolah hanya 3.267 buah – mulai dari TK sampai SMA/SMK, dalam jangka waktu 18 tahun kemudian, jumlah sekolah di Tanah Papua meningkat menjadi 6.900 sekolah, atau sebesar kurang lebih 210 persen,  peningkatan tersebut konsisten dengan peningkatan jumlah sekolah, jumlah murid dan jumlah guru.

Berdasarkan gambaran kemajuan kuantitatif kenaikan jumlah sekolah, murid dan guru diatas, apakah  itu juga berarti bahwa jumlah dan kualitas guru di Tanah Papua sudah memadai dibandingkan dengan sebelum Otsus diberlakukan? dan apakah peningkatan sarana dan prasarana pendidikan secara signifikan tersebut berarti bahwa seluruh penduduk usia sekolah di Tanah Papua sudah mengenyam pendidikan dasar dan menengah sesuai usianya, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi negara Indonesia dan Undang-Undang otonomi khusus Papua? 

Faktanya dengan meningkatnya jumlah sekolah, jumlah murid maupun jumlah guru ternyata tidak disertai dengan kecukupan guru yang mana rasio ketersediaan guru di sekolah-sekolah tidak menjadi lebih baik secara signifikan. Apabila semua pelajar dari tingkat SD sampai SMA/SMK dapat diasuh dengan baik maka harus merekrut 18.719 orang guru baru, angka yang besar ini hampir mustahil untuk dipenuhi apabila dibandingkan dengan terbatasnya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan guru di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kondisi ini menjadi lebih buruk apabila ikut diperhitungkan angka kemangkiran guru, sebagaimana Survei yang dilakukan oleh UNICEF di Papua dan Papua  Barat mengaitkan tingkat kemangkiran guru dengan frekuensi kedatangan pengawas ke sekolah. Tingkat kemangkiran guru di sekolah-sekolah yang tidak pernah didatangi oleh pengawas mencapai 52 persen. Sedangkan di sekolah-sekolah yang didatangi pengawas pada bulan survai dilakukan tingkat kemangkiran guru hanya mencapai 18 persen.

Terkait dengan kualifikasi para guru, yang diukur dari tingkat pendidikan terakhir yang mereka capai, menunjukkan situasi yang sangat baik di semua jenis sekolah, baik di Provinsi Papua maupun di Provinsi Papua Barat.  Namun, apabila ukuran yang digunakan adalah sertifikasi profesi untuk menilai kualitas/kompetensi, maka hasilnya masih jauh dari harapan.  Rata-rata jumlah guru yang telah tersertifikasi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berturut-turut hanya 32 persen dan 28.6 persen.  Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata guru tersertifikasi di tingkat nasional yang telah mencapai 45,38 persen.

Kehadiran Otsus Papua selama 18 tahun telah mampu menyediakan kesempatan belajar kepada semua penduduk menunjukkan  bahwa jumlah penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mencapai 20 persen dari jumlah penduduk berusia 5 sampai 19 tahun.   Situasi ini jelas harus diperbaiki karena sebagaimana diatur dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu.  Banyak gedung sekolah baru yang harus dibangun. Sekolah-sekolah yang rasio rombel:siswanya rendah harus diisi.  Gedung sekolah/kelas yang rusak harus diperbaiki.  Yang tidak memiliki MCK harus dilengkapi dengan MCK.  Air bersih harus dialirkan ke sekolah-sekolah.  Gedung sekolah yang tidak memiliki listrik, harus dialiri listrik.  Internet harus bisa diakses dari setiap sekolah di Tanah Papua tanpa kecuali.

Guru-guru harus dididik atau dilatih dan direkrut – jumlahnya hampir 20.000 orang.  Proses pembelajaran harus direvitalisasi.  Sekolah harus berlangsung sepanjang hari, dari jam 07:30 sampai 16:00 – supaya anak-anak bisa belajar optimal.  Dengan begitu semua sekolah harus dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, laboratorium, musik, dan olah raga. Dan, karena sekolah berlangsung sepanjang hari, berarti harus tersedia makanan yang bergizi di sekolah.  

Tantangan seperti yang dikemukakan di atas ini sesungguhnya memberikan implikasi yang tidak kecil bagi upaya memantapkan keutuhan NKRI.  Terbatasnya jumlah guru, dan banyaknya sekolah yang tidak berfungsi dengan baik di daerah-daerah terpencil, ditambah lagi dengan banyaknya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah, merupakan masalah besar yang perlu dicarikan jawabannya dengan segera, karena memberikan dampak yang tidak kecil bagi upaya membangun ketahanan nasional di daerah.  Pendanaan pendidikan, yang nilainya bertambah secara signifikan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat melalui  kerangka Otonomi Khusus dan sumber-sumber lainnya (DAU, DAK) berada di tangan pemerintah daerah.  Demikian pula keputusan-keputusan untuk merevitalisasi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan mencakup seluruh rakyat hanya bisa memberikan dampak yang besar apabila dilakukan oleh pemerintah daerah.  Artinya, kualitas dan integritas birokrasi/aparatur negara merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan di daerah.

Meningkatkan Efektivitas Kelembagaan Masyarakat di Daerah

Kelembagaan masyarakat di daerah pada umumnya terdiri dari dua, yaitu kelembagaan adat dan kelembagaan agama.  Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kelembagaan adat dan agama telah hidup dan berkembang di masyarakat sampai di daerah-daerah terpencil.  Sebagai bagian dari upaya memelihara keharmonisan sosial di masyarakat, nilai-nilai dasar dari kedua lembaga ini sesungguhnya konsisten dengan nilai-nilai yang berada pada tingkat bangsa dan negara yang bersumber dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Di dalam prosesnya, terutama ketika masuknya nilai-nilai dari luar, sistem kelembagaan masyarakat sering menjadi kurang efektif.  Yang menjadi penyebab utama kekurangefektivan tersebut adalah ketika perilaku perilaku koruptif, krisis moralitas, dan krisis keteladanan terjadi di birokrasi pemerintahan daerah. 

Dengan demikian, apabila bisa dilakukan langkah-langkah strategis untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila di daerah, khususnya di kalangan birokrasi/pemerintah daerah, maka secara otomatis akan meningkatkan kepercayaan lembaga-lembaga di tingkat masyarakat kepada pemerintah.   Yang memberikan makna bahwa di dalam kerangka pewarisan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka dalam jangka pendek hal-hal berikut ini harus dapat dilakukan secara resmi dan meluas di semua kalangan birokrasi:

Penyegaran dalam bentuk karacter building berbasis nilai-nilai Pancasila;

Penyusunan mekanisme rekrutmen dan seleksi jabatan atas dasar rekam jejak kepatuhan kepada nilai-nilai Pancasila;

Para penyelenggara negara di lingkungan pemerintah daerah – termasuk di kalangan DPR dan MRP (apabila di Papua) perlu lebih sering turun ke bawah dan membangun komunikasi dengan konstituen

Penyusunan peraturan daerah yang menyangkut perilaku, etika, dan moral aparatur penyelenggara negara

Penanaman nilai-nilai Pancasila pada keluarga aparatur penyelenggara negara di daerah.

Apabila hal-hal yang dikemukakan di atas berhasil dilakukan, maka keterlibatan kelembagaan masyarakat di tingkat masyarakat dalam pemantapan ketahanan nasional akan menjadi jauh lebih efektif.  Upaya pelestarian Pilar Nasional Indonesia di tingkat rakyat, melalui kelembagaan rakyat, akan dipandang oleh rakyat sebagai upaya sungguh-sungguh karena telah tercermin pada perubahan perilaku birokasi/aparatur penyelenggara negara.  Kepercayaan masyarakat kepada negarapun akan menjadi lebih kukuh karena ada keteladanan yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya,peran lembaga-lembaga adat dalam agama di tingkat masyarakat di dalam pemantapan ketahanan nasional akan semakin kuat. *