HUT RI Ke-76 Papua Sudah Berada Dalam Rumah Besar NKRI?

Foto: Ilustrasi

Oleh: Arkilaus Baho

Terpampang bendera merah putih terbentang sepanjang jembatan Youtefa Jayapura Papua, saat 
peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 2021, menandakan bahwa 76 Tahun sudah telah berdiri negara Indonesia. Sudahkah bangsa ini merdeka dan berdaulat? Cita-cita kemerdekaan yaitu masyarakat adil dan makmur, Titik.

Penulis lalu mencari kata "Papua" di teks pidato bapak Presiden Jokowi jelang hut kemerdekaan. Tak ditemukan Papua. Lebih banyak soal infrastruktur, pandemi dan investasi. Pemerintah permudah Izin  untuk berbagai usaha. Lembaga negara ditekankan untuk terus menjadi sentral dalam melayani investasi. Pemerintah berkeyakinan dengan demikian masyarakat sejahtera dan berdaulat.

Investasi Infrastruktur secara kasat mata sudah terpampang bendera merah putih terbentang sepanjang jembatan Youtefa. Jembatan yang dibangun Jokowi itu kemudian terbentang lambang negara, bendera "merah putih". Sekali lagi, itukah yang dimaksud investasi dan infrastruktur demi adil dan makmur?

Sosok Proklamator Bung Karno mengatakan bahwa syarat menuju masyarakat adil dan makmur yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), Bung Karno memformulasikan konsep Trisakti, yakni: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai bentuk revolusi suatu bangsa. 

Bagaimana dengan kebijakan pemerintah untuk Papua dan Papua barat, apakah sesuai dengan syarat "berdikari" sebagaimana pidato bung Karno?

 Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat Jasmerah adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. 

Belanda dahulu menguasai Papua melalui "proyek kemandirian", bertahan hanya 10 tahun. Orde baru menguasai Papua dengan "REPELITA". Sejak Reformasi 1998 hingga sekarang, Papua dikuasai melalui "otonomi khusus". Sudahkah Papua berada dalam rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia?

*6 Alasan Mengapa Otsus Jilid II Mempertegas Papua di Luar NKRI!*

Presiden Jokowi pada tanggal 19 Juli tahun ini, telah menandatangani Undang-Undang (UU) N0. 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua UU N0.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tanggal yang sama otomatis di undangkan oleh menteri hukum dan ham. Tak hanya freeport yang ijin konsensinya (IUPK) hingga tahun 2041, UU otsus Papua untuk provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tersebut juga diundangkan, dan berjalan hingga tahun 2041 mendatang. Apakah perubahan otsus ronde kedua tersebut menyelesaikan atau menjawab persoalan kesejahteraan rakyat Papua?

Diskursus soal kemajuan Papua, justru lebih maju dan berkembang cara pandang elemen sipil lainnya diluar sana, daripada cara pandang pemerintah melalui regulasi otonomi khusus yang diteken Jokowi itu. Cara pandang agar daerah tersebut maju dan berkembang, tak ada sama sekali di perubahan produk tersebut. 

Entah terkesan lamban atau memang pemerintahan sekarang ini menginginkan nasib Papua tidak berkembang pesat, dan persoalan dis-integrasi bangsaa hanya sebagai bisnis kamtibmas belaka tanpa solusi alternatif yang permanen?  saya justru lebih pede menawarkan resolusi Dewan Rakyat Papua (DRP) sebagai solusi sosio-nasionalisme untuk rakyat di ufuk Timur negeri Cenderawasih itu. 

Pertama, Isi dari keseluruhan bab, pasal hingga ayat pada UU otsus jilid II, tak ubahnya penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya. Namun, otsus ini selain melimpahkan kewenangan birokrasi aparatur negara, juga mempertegas dan mempertajam tupoksi. Posisi Gubernur disini mendua, disatu sisi sebagai kepala pemerintahan otsus, di sisi lain wakil pemerintah pusat untuk provinsi. Tak ada penyebutan "Gubernur Daerah Khusus Papua". 

Kedua, Isinya sama sekali tidak ada bobot baru. Sebagai orang yang sering mengikuti kebijakan negara khusus untuk Papua, saya menduga, aturan di dalam Undang-Undang tersebut, mengindikasikan bahwa mental pejabat birokrat di Papua lemah atau buta, sehingga perlu dipertegas dalam bentuk UU? 

Misalnya ketegasan soal alokasi anggaran khusus untuk pendidikan dan kesehatan. Tanpa UU, perda juga bisa kok. Tanpa embel-embel otsus pun, penyelenggaraan pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Arahan Mendagri yang seyogyanya dijalankan oleh pemerintahan di daerah, tapi khusus Papua dibuatkan sebuah produk UU?. 

Ketiga, fungsi pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan dan mengeluarkan anggaran, sangat lemah atau dibayangi dengan berbagai intervensi. Misalnya badan khusus otsus yang dikepalai oleh wapres dan beranggotakan menteri terkait, lalu ditambah seorang non pejabat dan parpol dari dua provinsi. Dulunya, sebelum ada badan khusus itu sudah ada desk Papua di lingkup kementerian. Bahkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga bentuk UP4B. Sekarang siapa dengar siapa? Otomatis kewenangan langsung pemerintah daerah diredam dengan rumitnya koordinasi. 

Keempat, banyaknya sumbatan koordinatif dalam otsus jilid dua tersebut, mengindikasikan bahwa, kewenangan pemerintahan otsus (Pemprov/pemda dan DPRP/K)  untuk membuat perdasi dan perdasus, tetap sama maknanya dengan perda. Dari bawah slogan orang asli Papua (OAP) kuat, sampai ke atas, berlaku sama dengan perda pada umumnya di daerah lain dan rawan, karena dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Kelima, tak hanya tataran pemerintah yang saling sumbat. Kekhususan seperti Majelis Rakyat Papua yang memberi pertimbangan, lalu perwakilan DPRP dan DPRK wajib ¼ persen OAP dari keseluruhan jumlah anggota legislatif, yang seyogyanya punya hak dan kewajiban sama seperti anggota legislatif pemilihan partai politik lainnya, hanya sebagai demokrasi tempel menempel, tidak kokoh. Pada praktiknya DPRP/K jalur ¼ persen hanya bersuara di daerah pengangkatannya, sedangkan jalur pemilihan parpol, bersuara di DAPIL masing-masing. Padahal, tujuan otsus untuk kesejahteraan OAP, tapi nyatanya kekhususan tersebut palsu.

Keenam, liberalisasi birokrasi di otsus bukanya mempermudah, malah saling tumpuk menumpuk. Pada praktiknya, mengelola realisasi DAU/DAK/Hibah, yang nilainya, 2,5 persen dari total APBN, bahkan pembagian hasil 80/20 dan 70/30 pun tak efektif. Boro-boro rakyat sejahtera, anggaran turun saja melalui sumbatan macam-macam. 

Keenam, dengan demikian regulasi otsus yang dijalankan 20 tahun akan datang, bukan untuk membawa rakyat Papua dari teras rumah NKRI (mengangkat harkat dan martabat serta kesejahteraan rakyat Papua agar sama derajatnya dengan bangsa-bangsa lain di Indonesia), tapi regulasi tersebut tetap mempertegas bahkan memberi banyak pekerjaan di teras rumah agar Papua tetap di luar rumah NKRI.

*Penulis adalah Juru Bicara DPP PRIMA Urusan Papua dan Papua Barat_