Turbulensi Menuju Kemandirian Papua

Peter Tukan/Istimewa

Oleh: Peter Tukan *

LUKMEN, Lukas Enembe dan Klemen Tinal - dua orang putra asli Tanah Papua yang dikelola sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua dua periode telah berani mengusung “Kemandirian” (selain Bangkit, Sejahtera dan Berkeadilan) sebagai visi dan misi pembangunan Provinsi Papua dalam rentang waktu 10 tahun (2013-2018 dan 2018-2023). Mengapa berani?

Mereka berdua berani mengusung “Kemandirian” di tengah rakyatnya yang telah beratus-ratus tahun yang terbiasa hidup dimanja dan terikat pada dan kemurahan alam yang kaya raya. Lukmen juga berani mengusung dan misi “Kemandirian” di tengah-tengah warga masyarakat pemeluk Kristiani (Protestan dan Katolik) yang pada masa lalu (terbawa sampai sekarang) dimanja oleh kemurahan hati dan aplikasi para penderma di Dunia Barat visi yang mengirimkan uang dan berbagai kebutuhan hidup setiap hari melalui tangan para zendeling dan misionaris.

Sejarah mencatat, bahwa` pada zaman dulu, Dunia Barat memandang masyarakat di Dunia Timur sebagai manusia yang miskin absolut tak berdaya apa-apa, patut dikasihani dengan mengirimkan bantuan pakain-pakaian bekas, susu, gandum dan sebagainya. 

Bantuan itu dilemparkan (dihamburkan) dari pesawat yang sedang terbang rendah ke kampung-kampung terpencil dan membiarkan manusia Timur berjibaku merebut dan merampas barang bantuan itu. Masyarakat Dunia Timur itu harus menyiapkan bagaikan bayi yang baru lahir yaitu dimanja dan digendong, dibuai hingga tidur nyenyak selama lebih dari dua belas jam sehari.

Pada lima tahun pertama (2013-2018), Lukmen mengusung “Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera” sedangkan periode kedua (2018-2023) menampilkan “Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera yang Berkeadilan”. Kedua putra terbaik Tanah Papua ini bertekad untuk bergandengan tangan, berjalan bersama seluruh rakyatnya guna menggapai hidup Mandiri - dapat berdiri sendiri bebas dari ketergantugan yang kronis itu.

“Memantapkan kemandirian harus terwujud di seluruh dimensi pembangunan yaitu mandiri di bidang ekonomi, sosial budaya dan politik,” kata Lukas Enembe di gedung DPRP, Jayapura, Selasa, 6 Maret 2018 ketika pasangan “Lukmen” memaparkan visi dan misi membangun provinsi ini untuk periode kedua.
Lebih lanjut Lukmen berpendapat bahwa, masyarakat yang demokratis merupakan landasan penting untuk tercapainya masyarakat yang mandiri.
 

Memantapkan kualitas dan daya saing SDM Papua dilakukan untuk mendukung dan mewujudkan kebangkitan dan kemandirian, sebab orang Papua yang mandiri memiliki kemauan, kreatif dan inovatif sebagai pelaku pembangunan bagi kemajuan daerah untuk mencapai kualitas hidup.

Dari visi pembangunan itu, pasangan “Lukmen” lantas memaparkan misi pembangunan Papua antara lain, memantapkan kualitas dan daya saing SDM, memantapkan rasa aman, tenteram dan damai; Membangun perekonomian daerah berbasis unggulan lokal dan membangun wilayah berbasis budaya serta, percepatan pembangunan daerah tertinggal, terbelakang dan terdepan.

Fakta membuktikan bahwa ternyata, tekad bersama kemandirian Papua. Pemimpin agama –agama di Papua bersama umat beriman memantapkan tekad bersama untuk mandiri sebagai umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua Barat, misalnya juga telah mengusung tema “kemandirian” dalam kehidupan menggerejanya.

“Sungguh tidak mudah mengupayakan kemandirian jemaat kami, tetapi juga, kami harus terus berusaha dengan prinsip, kami menimba air dan minum dari sumur kami sendiri,”kata Presiden Persekutuan Gereja-gereja baptis Papua, Gembala Dr. Socratez Yoman, MA kepada penulis, Oktober 2016 silam.

Dia memberikan contoh, ketika jemaat gereja Baptis yang dipimpinnya harus membangun gedung kantor gereja Baptis di kawasan Padangbulan, Jayapura, jemaat bergotong royong mengumpulkan dana pembangunan walaupun sedikit sesuai kemampuan masing-masing. Jemaat pun bergotong royong mengumpulkan batu dan pasir untuk membangun gedung kantor yang menjadi sarana pelayanan jemaat Gereja Baptis West Papua.

Tekad dan upaya menuju kemandirian hidup menggereja juga telah dan sedang dilakukan oleh gereja-gereja lainnya yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) wilayah Papua, Persekutuan Injili Indonesia (PII) Perwakilan Papua, Persekutuan Gereja-gereja Pentekosta Indonesia (PGPI) Provinsi Papua dan Gereja Katolik di lima wilayah Keuskupan di Tanah Papua atau disebut Provinsi Gerejawi Merauke. Pada Sinode Keuskupan Jayapura 20 - 24 September 2006, Uskup Keuskupan Jayapura bersama umatnya menetapkan visi dan misi pengembangan Gereja Keuskupan Jayapura yaitu “Membangun Gereja Mandiri yang Misioner”.

“Gereja Mandiri yang Misioner adalah arah perjalanan kita sebagai Umat Allah. Gereja Mandiri yang Misioner itu kita wujudkan sambil berjalan terus, kita wujudkan mulai dari sekarang juga. Inilah cara menggereja yaitu pola hidup kita sebagai umat Allah, ”tulis Uskup Leo Laba Ladjar, OFM dalam“ Membangun Gereja Mandiri yang Misioner ”, Hal.IV. Tentang “kemandirian” Gereja Keuskupan Jayapura, Hardus Desa - salah seorang tokoh dan “arsitek” di balik perhelatan akbar Sinode Keuskupan Jayapura ditulis di bawah sub judul “Dituntun untuk Mandiri” secara terang-benderang menyatakan bahwa program-program pengembangan umat / masyarakat yang didukung oleh dana block grant Misereor pada acara berintikan kegiatan “pemberdayaan”, dan secara khusus dalam bidang ketenagaan disebut “kaderisasi”.

“Ketika program-program pemberdayaan yang besar dan lahan yang lambat berakhir, juga karena dukungan dana yang semakin menipis, bersamaan waktu, Pemerintah menampilkan program-program pembangunan fisik unggulan dengan kekuasaan dan kekuatan yang sangat besar. Bersamaan waktu juga bermunculan pelbagai macam organisasi swadaya, LSM yang menawarkan pelbagai macam kegiatan pembangunan dan pengembangan, ”tulis Hardus Desa dalam“ Profil Paroki & Unit Karya Keuskupan Jayapura, ”Hal.15. 

Selanjutnya dikatakan, kekuasaan dan “kekuasaan” gereja yang pada periode sebelumnya sangat menentukan dan besar itu, perlahan-lahan beralih kepada Pemerintah. Dalam keadaan yang lebih terjepit itu, maka prioritas gereja pada pemberdayaan merupakan satu-satunya pilihan.

Gereja yang difokuskan pada kegiatan utamanya yaitu pendalaman iman yang semakin kontekstual, semakin tanggap terhadap keadaan lingkungan, elemen sosial-budaya masyarakat setempat.  “Oleh karena itu, tergantung pada pembangunan gereja lokal yang semakin mandiri menjadi sangat wajar dan tepat,” tulis Hardus Desa.

Semua yang dipaparkan di atas yang terkait kemandirian itu sendiri, terutama kemandirian dalam kehidupan menggeraja akan terus menemukan begitu banyak tantangan dan kesulitan yang maha berat, ketika realitas masa lalu berbicara lain samasekali dibandingkan masa kini, bertolak belakang dengan bertahan hidup di sini dan hari ini (hic) et nunc).

Banyak dokumen gereja menceriterakan bahwa pada masa lalu, ketika banyak misionaris dari Dunia Barat melukis di Papua, mereka sangat rajin mencari dana bantuan dari negara asal mereka (malahan, setiap misionaris memiliki donatur sendiri-sendiri). Bantuan dana yang dikirim itu, digunakan oleh misionaris untuk mendidik sekolah, asrama pelajar putra dan putri, mendirikan bengkel otomotif dan bengkel pertukangan kayu (mebel) membangun klinik kesehatan, membeli obat-obatan untuk menyembuhkan yang sakit, membiayai kuliah mahasiswa. Malahan, para misionaris ini pun dikirimi pakaian-pakaian bekas, makanan kaleng, gandum, terigu dan kebutuhan hidup lainnya untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat / umat yang dilayaninya.
 

Program kemandirian masyarakat di Papua tidak hanya dilakukan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal serta melakukan keagamaan (gereja) tetapi juga oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) salah satu perusahaan tambang tembaga, emas dan perak terbesar di Dunia yang beroperasi di Kabupaten Mimika sejak awal tahun 1970-an hingga hari ini.

Dengan dana “Tanggungjawab Sosial Perusahaan” (CSR), PTFI bersama Pemerintah Kabupaten Mimika dan masyarakat setempat membuat program untuk memandirikan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah pertambangan, khususnya pemilik hak ulayat areal tambang PTFI yakni suku Amungme dan Kamoro bersama lima suku kekerabatannya yaitu Dani, Damal, Moni, Mee dan Nduga.

Freeport membentuk Departemen Social Outreach & Local Development (SLD) yang membawahi program-program pengembangan masyarakat (ComDev) dengan pola kerja meningkatkan kesejahteraan dan harga diri masyarakat asli Papua secara nyata dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, serta terbukanya kesempatan kerja dan usaha bagi mereka agar mampu mandiri dan berpartisipasi dalam pembangunan menuju masa depan yang lebih baik.

Empat program prioritas menuju kemandirian masyarakat yang bermukim di sekitar areal operasi tambang PTFI itu adalah pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan infrastruktur.

Turbulensi yang menantang

Turbulensi kegagalan sebagai keadaan terganggu karena perubahan yang tidak dapat diprediksi dan dikontrol. Arti lainnya dari turbulensi adalah ketidakstabilan di atmosfer (KBBI). Dalam konteks diskusi kita tentang “Kemandirian” rakyat atau umat / jemaat maka “turbulensi” diimplementasikan sebagai “guncangan” yang terjadi di dalam diri warga masyarakat atau anggota umat/jemaat yang sudah terbiasa dalam kurun waktu puluhan dan ratusan tahun hidup dalam “zona nyaman”, mapan, aman-damai, sentosa dan sejahtera, tetapi pada hari ini, dia atau mereka (dengan rasa udah), harus bangkit berdiri untuk berjalan bersama menuju kemandirian itu sendiri lepas dari mental ketergantungan total masa lalu bagaikan seorang bayi yang baru lahir 24 jam yang lalu, yang harus dimanja, dielus-elus dan dibuai sembari terlena menikmati ASI dari sang ibunya!

Turbulensi itu adalah keadaan dimana pribadi atau kelompok yang merasa pikiran dan batinnya “terganngu” karena terjadi perubahan gaya (pola) hidup bersama dari yang lama (yang dirasakan nyaman) ke yang baru yang dirasakan tidak menyenangkan sekaligus menggoyahkan kenyamanan.

Turbulanesi atau guncangan batin, guncangan gagasan, guncangan cita-cita, harapan dan guncangan kehidupan kemasyarakatan atau menggereja akan terus berjalan, ketika para pemimpin pemerintah, aparat, dan sebagainya dengan sangat berani (seperti Lukas Enembe dan Klemen Tinal) mengharuskannya Melaksanakan peribahasa ini: Tempora Mutantur et Nos Mutamur in Illis - waktu berubah dan kita pun turut berubah di dalamnya! 

Menempatkan “Kemandirian” sebagai tekad bersama, sekaligus gaya hidup baru, baik di bidang kemasyarakatan (politik) maupun keagamaan, menjadi sangat sulit dan penuh tantangan yang tidak mudah diprediksi, ketika masyarakat atau umat itu sendiri, belum bersedia hati malahan samasekali tidak mau keluar dari Gaya hidup lama yang penuh dengan ketergantungan pada kekayaan sumber daya alam Papua dan kemurahan hati para penyumbang (donor) dari Dunia Barat.

Turbulensi guncangan dalam umat / masyarakat di Papua menjadi sebuah tantangan yang berat bagi perjalanan kepemimpina Lukmen, juga perjalanan kepemimpinan para pemimpin agama-agama di Tanah Papua serta ujian sangat berat bagi Freeport Indonesia di bumi Cenderawasih ini.

Siapa bilang bahwa pasangan Lukmen tidak mengalami kesulitan dan tantangan ketika mengusung visi dan misi “mandiri” selama 10 tahun mereka berdua memerintah di provinsi tertimur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini?

Kenyataan membuktikan bahwa walaupun Lukas dan Klemen adalah anak asli Papua dan Satuan Perangat Kerja Daerah (SKPD) yang dibentuknya dipimpimpin oleh anak-putri Orang Asli Papua (OAP) tetapi, semua ini belum merupakan jaminan yang pasti untuk menyukseskan program memandirikan rakyat di Papua selama 10 tahun kepemimpinan Lukmen. Apabila, rakyat sendiri tidak mau ikut berubah dan tidak mau ikut berpartisipasi dalam program “kemandirian” yang sudah dicanangkan Lukmen melalui visi dan misi pembangunan Provinsi Papua pada 10 tahun berjalan.

Hal yang sama juga oleh para pemimpin agama dan pimpinan perusahaan dan bisnis di Papua yang juga mengusung tema “Kemandirian” dalam visi, misi dan program kerja mereka.

Kita memberikan apresiasi yang memberikan apresiasi yang tinggi pada berbagai pasangan Lukmen yang walaupun mengalami kesulitan dan tantangan dalam pembangunan menuju kemandirian rakyat, namun tetap tabah dan tekun untuk menahkodai bahtera Provinsi Papua yang sangat luas, sulit dan penuh dengan tantangan.

Papua telah beratus-ratus tahun dikaruniai kekayaan alam yang diukur. Alam raya memberikan begitu banyak bahan bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan makanan bagi kebutuhan hidup setiap hari. Pada zaman Belanda, cukup banyak fasilitas kesehatan dan pendidikan dibangun dengan menggunakan sumbangan caritatif (amal) dari Dunia Barat. Banyak bantuan bahan makanna, pakaian, sarana kesehatan dan pendidikan didatangkan secara terus menerus dalam jumlah yang sangat banyak dari Dunia Barat ke Tanah Papua.

Di tengah Badai

Semua yang dipaparkan di atas itu, adalah nostalgia masa lalu, tetapi, pada hari-hari ini, pasangan Lukmen sangat menyadari kita semua berada di tengah pusaran badai yang mengganas: bahan makanan (sumber daya alam) yang disiapkan alam raya Tanah Papua semakin hari semakin berkurang atau menipis akibat perubahan iklim, jumlah penduduk semakin bertambah banya.

Begitu pula, hutan alam raya terkuras akibat penebangan pembohong, pembukaan kebun-kebun baru dengan sistem bakar hutan, yang terjadi perampokan ikan secara besar-besaran, kerusakan biota laut yang semakin parah, pembangunan perumahan penduduk dan pembangunan berbagai infrastruktur lainnya yang mau tidak mau harus mempersempit hutan kita yang adalah paru-paru dunia. Kita memang sedang berada di tengah pusaran badai!

Pasngan Lukmen mengalami kesulitan ketika begitu banyak warga masyarakat berbondong-bondong meminta bantuan dengan sistem “proposal”. Hal ini bagi Lukmen merupakan salah satu sikap dan mental “ketergantungan” pada pemerintah. Oleh karena itu, mengawali karier mereka dalam kepemimpinan provinsi ini, kebiasaan mengirim “proposal” ke Kantor Gubernur Papua mulai dihilangkan atau diberhentikan.
Pertanyaan cerdas adalah, apakah dalam hampir sepuluh tahun pasangan Lukmen menahkodai Provinsi Papua, program “kemandrian” ini sudah berhasil?

Jawabannya adalah: Belum! Why, karena program kemandirian itu sendiri merupakan sebuah cita-cita jangka panjang (visi) yang sangat tidak mudah dituntaskan atau digapai hanya dalam kuru waktu 10 tahun saja. Namun, bahwa tekad dan langkah-langkah nyata menuju kemandirian itu telah dimulai dan dijalankan oleh Lukmen dengan penuh keberanian selama masa kepemimpjnannya, sudahlah merupakan sebuah sikap yang patut kita akui bersama. Diharapkan, para pengungsi nanti meanjutkan visi kemandirian ini.

Di dalam situasi di tengah badai seperti ini, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, pasangan Lukmen dan para pemimpin agama-agama serta berbagai perusahaan swasta harus konsisten dan berkesinambungan mengusung visi dan misi pembangunan menuju “Kemandrian”. 

Pada satu pihak, masyarakat telah bertahun-tahun, sudah dimanja oleh pemberian alam yang kaya raya dan kemurahan bantuan Dunia Barat yang bersifat “sinterklas”, tetapi pada pihak lain, program kemandirian rakyat atau umat / jemaat harus terus berjalan dan harus disukseskan, walaupun penuh dengan tantangan, kritikan destruktif, unjuk rasa damai, penyampaian dan penyebarluasan naskah mosi tidak percaya oleh sekelompok orang yang begitu mendadak tampil “mengatasnamakan” umat atau masyarakat, mengumpulkan “koin” seribu rupiah di berbagai sudut jalan kota dan sebagainya.

Juga, di dalam situasi yang sangat sulit ini, Pemimpin pemerintahan agama atau perusahaan harus teguh dan kokoh pada pendirian, sikap dan keteladanan, bersabar dan bijaksana di tengah turbulensi perubahan pola atau gaya hidup kemasyarakatan (politik) dan menggereja (keagamaan) menuju kemandirian hidup bersama. 

“Apabila seorang pemimpin dari Suara Hatinya, merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa program dan tindakannya itu Benar, maka lakukanlah itu demi Kebenaran. Apabila seorang pemimpin dari Nuraninya yang paling dalam merasa yakin, seyakin-yakinnya bahwa apa yang dilakukan itu Baik, maka kerjakan itu demi Kebaikan semua orang. Orang baru sadar bahwa ternyata Anda orang Baik dan Benar ketika Anda sudah terbaring kaku di dalam liang lahat dan kertika orang yang berdesak-desakan meletakkan setumpuk karangan bunga duka di pusaramu. Badai pasti berlalu, ”kata Ben Mboi - Gubernur NTT dua periode 1978-1988 saat memberikan Kuliah Umum kepada mahasiswa STFT Ledalero, Flores, tahun 1985 silam.

* Peter Tukan: Jurnalis