Dialog dan Rekonsiliasi Nasional Suatu keniscayaan di Era Globalisasi

Ambassador Freddy Numberi/Istimewa

BERANGKAT dari filosofi Papua Tanah Damai sesuai arahan Presiden Ir. H. Joko Widodo Pada acara perayaan Natal 27 Desember 2014 dimana Presiden mengutuk peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014, dan berkata:”Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin sekali lagi Tanah Papua sebagai Tanah yang damai”. (Kompas, 27 Desember 2014). Disamping itu, hasil kajian tim LIPI Papua untuk memutuskan mata rantai kekerasan dan pelanggaran HAM seta meruntuhkan tembok stigmasi “separatis” Papua, negara tidak perlu merasa terancam, manakala keran dialog damai dapat dibuka agar saling percaya antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat dan Daerah dapat terbangun kembali.

Selama 57 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2020), yang ada antara Jakarta dan Papua adalah “mistrust” dan saling curiga. Melalui dialog damai dan rekonsiliasi akan terbuka ruang, terutama bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi secara politik, ekonomi maupun budaya, sekaligus memperkuat jalannya pemerintahan Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai Resolusi PBB 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969.

Jakarta dan Papua harus berkomitmen bahwa merupakan tanggung jawab bersama dan saling percaya, berbicara jujur, netral dan terbuka dalam merajut Papua Tanah Damai.

Papua Tanah Damai merupakan pilihan terbaik dalam membangun Indonesia yang lebih adil, demokratis, sejahtera, bermartabat, menghormati Hak Asasi Manusia serta menghargai Hak Masyarakat Adat Papua.

Indonesia akan mendapat pujian dan simpati dunia internasional dalam hubungan kerjasama yang ada, karena menangani Papua secara terhormat dan manusiawi.

Ketidakmauan politik pemerintah pusat dan ketidakmampuan untuk menjustifikasi, serta mengevaluasi akar permasalahan konflik Papua, mendorong rakyat Papua untuk dialog damai dengan pemerintah Indonesia.

Rekonsiliasi di antara Orang Papua membutuhkan berbagai pendekatan. Hal ini dilakukan untuk menyamakan persepsi kelompok-kelompok yang ada di Papua. Merujuk berbagai sumber yang mendorong adanya dialog Papua Tanah Damai, antara lain Timo Kimivaki (Initiating a Peace Proses in Papua, 2006) dan Pastor Neks Tebay.  Penulis mencoba untuk menginventarisasi syarat-syarat yang diperlukan untuk dialog menuju Papua Tanah damai.

Dialog Jakarta – Papua dibagi dalam 3 tahap. Tiap tahap dapat berkembang sesuai dinamika di lapangan. Tahapan dialog dibagi sebagai berikut:

  1. PRA DIALOG

PEMERINTAH PUSAT

  1. Transformasi konflik yang ada dalam suatu kemauan politik untuk dialog damai.
  2. Menyetujui Pra Dialog antar internal Orang Asli Papua, termasuk OPM/TPN dan mereka yang berada di luar negeri.
  3. Menjamin keamanan OPM/TPN dan mereka yang dari luar negeri dalam membahas rencana dialog tersebut.
  4. Ikut mendorong adanya dialog antara penduduk Papua. (Orang Asli Papua dan paguyuban masyarakat Papua/Pendatang).
  5. Membahas unsur-unsur Papua Tanah Damai dalam kerangka dialog.
  6. Hentikan “kekerasan” antara aparat keamanan dengan OPM/TPN baik yang ada di hutan Papua maupun luar negeri.
  7. Menunjuk “special envoy” untuk berkomunikasi dengan pihak OPM/TPN di hutan Papua maupun mereka yang di luar negeri.
  8. Merencanakan penarikan pasukan non organik dari Papua.
  9. Menyepakati untuk menghilangkan persepsi/slogan “NKRI harga mati”
  10. Menyetujui adanya mediator (pihak ketiga) yang memfasilitasi jalannya dialog.
  11. Menyetujui seluruh pembiayaan dialog (Pra Dialog, Dialog, Pasca Dialog)
  12. Hilangkan kecurigaan terhadap Orang Papua
  13. Tidak akan membicarakan kemerdekaan dalam dialog.
  14. Sosialisasikan Dialog Damai Jakarta-Papua.

PEMERINTAH DAERAH

  1. Transformasikan konflik yang ada dalam suatu kemauan politik untuk dialog damai.
  2. Bangun kepercayaan antar sesama Orang Asli Papua termasuk OPM/TPN serta mereka yang diluar negeri dan antar penduduk Papua (Orang Asli Papua dan paguyuban masyarakat Papua/Pendatang).
  3. Dialog internal Orang Asli Papua, termassuk OPM/TPN serta mereka yang di luar negeri.
  4. Dialog antar penduduk di Papua (Orang Asli Papua dan paguyuban masyarakat Papua/Pendatang)
  5. Tidak akan membicarakan merdeka dalam dialog.
  6. Menyepakati untuk menghilangkan persepsi/slogan “Merdeka harga mati”
  7. Menyepakati syarat-syarat Papua Tanah Damai.
  8. Menyetujui agenda dialog.
  9. Menyetujui para investor yang ada di Papua agar ikut berpartisipasi dalam memberikan masukan tentang Papua Tanah Damai.
  10. Hilangkan kecurigaan terhadap Pemerintah Pusat.
  11. Ikut membantu Pemerintah Pusat dalam pembiayaan dialog.
  12. Ikut mendorong adanya mediator yang memfasilitasi jalannya dialog.
  13. Libatkan partisipasi perempuan dalam dialog.

II. DIALOG

  1. Menerima penyerahan senjata OPM/TPN.
  2. Dialog dengan perwakilan rakyat Papua termasuk OPM/TPN serta mereka dari luar negeri.
  3. Menyepakati syarat-syarat menuju Papua Tanah Damai.
  4. Menyepakati tentang rencana penarikan pasukan non organik dari Papua.
  5. Libatkan mediator/pihak ketiga dalam memfasilitasi jalannya dialog Papua Tanah Damai.
  6. Menyampaikan permohonan maaf pemerintah kepada rakyat Papua, terutama mereka yang menjadi korban akibat kekerasan pada masa lalu.
  7. Sepakat untuk melaksanakan UU Otonomi Khusus Jilid II secara konsisten dan menyeluruh.
  8. Berikan pemerataan sumber-sumber ekonomi dan lapangan kerja serta pendidikan bagi keluarga korban.
  9. Kedua belah pihak menyetujui bahwa keseluruhan proses didasari dan dijiwai oleh prinsip-prinsip universal seperti kesetaraan, kebenaran, keadilan, dan kebebasan.

III. PASCA DIALOG

  1. Laksanakan penarikan pasukan non organik Papua.
  2. Kedua belah pihak melaksanakan pengawasan terhadap semua butir-butir yang disepakati.
  3. Pihak ketiga ikut mengawasi pelaksanaan butir-butir yang disepakati termasuk jadwal pelaksanaannya.
  4. Tingkatkan terus saling percaya antara Jakarta-Papua dalam meretas jalan menuju Papua Tanah Damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Rakyat Papua berterima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tanggal 14 Agustus 2014 menyematkan penghargaan Bintang Jasa Nararya kepada Bapak Nicholas Jouwe pencipta bendera Papua Bintang Kejora yang kemudian hijrah ke Belanda sebagai warga Negara Belanda dan kembali ke Indonesia beberapa waktu lalu. Demikian kepada dua mantan anggota OPM, yaitu saudara Nicholas S. Meset dan Franzalbert Joku, juga menerima penghargaan yang sama.

Peristiwa ini menandakan bahwa Presiden RI secara de facto maupun de jure membuka pintu Indonesia untuk mengajak putra-putri Papua yang berada di luar negeri maupun mereka yang berada di belantara Papua dengan stigma OPM/TPN untuk kembali ke Indonesia dan membangun Papua secara bersama-sama. Pintu masuk untuk hal ini tentunya melalui Dialog dan Rekonsiliasi Nasional.

Rakyat Papua juga berterima kasih kepada Presiden Jokowi atas upaya pembangunan infrastruktur di Papua serta kunjungan beliau ke Papua yang lebih dari 15 kali, hal ini menunjukan betapa cintanya Presiden Jokowi terhadap Papua.

Pemerintah RI harus meyakinkan rakyat Indonesia dan lebih khusus lagi rakyat Papua bahwa bersama Indonesia, rakyat dari Merauke hingga Sabang pasti lebih sejahtera, lebih adil, lebih aman, lebih demokratis dan HAM dijunjung tinggi. Negara harus hadir melindungi Hak Asasi Manusia Indonesia sebagai makhluk ciptaan  Tuhan Yang Maha Esa. Semoga dalam Pemerintahan, dibawah kepemimpinan Presiden Ir. H. Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin harapan ini dapat terwujud.*

Oleh: Ambassador Freddy Numberi (Sesepuh Masyarakat Papua)