Penegakan Hukum dan HAM Masih diskriminatif

Pasal Keramat yang Bungkam Aspirasi Masyarakat Papua, Petisi  Mengemuka

Foto Ilustrasi/Google

JAYAPURA,wartaplus.com - Pengacara Kondang asal Papua, DR Pieter Ell, SH menyatakan protes keras atas tuntutan hukuman makar terdakwa Buctar Tabun dan kawan-kawan, mengingat penegakan hukum dan HAM di tanah Papua menurutnya masih diskriminatif.

"Penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua yang masih diskriminatif terhadap korban dibandingkan dengan pelaku rasisme Tri Susanti yang hanya dihukum 9 bulan penjara," ungkap Pieter Ell selaku Koordinator Petisi, Selasa (9/6)

Sekitar 150 orang dengan berbagai latar belakang profesi menyatakan petisi kepada pemerintah pusat dan memintanya Presiden RI membebaskan terdakwa Buctar Tabuni dan seluruh tahanan Politik Papua yang nota bene sebagai korban rasisme berdasarkan kewenangan Presiden.

"Latar belakang hadirnya gerakan petisi tersebut terkait  tuntutan hukuman terhadap 7 terdakwa kerusuhan Papua di PN Balikpapan, yang begitu fantastik. Pelaku rasisme di hukumannya tidak sebanding dengan korban rasisme,"bebernya.

Pieter Ell sendiri mengaku hasil komunikasi dengan rekan pengacara, banyak fakta persidangan yang tidak sesuai dengan kualifikasi dari pada fakta itu sendiri.

Terkait dengan pasal makar sendiri, Pieter Ell menjelaskan pasal 106-110 KUHP mengatur tentang makar. Selama 20 tahun setelah reformasi, pasal-pasal inilah yang digunakan membungkam aktifis yang menyuarakan aspirasi dari masyarakat Papua soal ketidakadilan, kesenjangan dan pelanggaran HAM dan lainnya. “Jadi itu pasal keramat yang selama ini digunakan untuk bungkam aspirasi di masyarakat,” katanya. Lanjutnya, selama ini proses hukum terhadap pelaku yang dibelenggu dengan pasal makar tersebut, tidak berujung pada penyelesaian soal.

Artinya, kata Pieter, akar persoalannya adalah soal penyelesaian pelanggaran HAM Papua yang selama ini baru diselesaikan 1 kasus saja, yakni kasus Abepura.

Padahal sebelum tahun 2000 ada banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak integrasi Papua ke NKRI, demikian juga setelah reformasi seperti kasus Paniai berdarah. 

Foto: Dr. Pieter Ell, SH., MH/wartaplus.com

“Nah ketika ada aspirasi yang menyuaran untuk penyelesaian HAM maka dibungkamlah dengan pasal Makar, inilah seperti yang terjadi terhadap 7 tahanan ini, yang saat itu mereka menyuarakan itu mereka sebagai korban malah belakangan menjadi pelaku,” jelasnya seraya  menambahkan hal inilah yang menjadi salah satu terjadinya petisi tersebut kepada pemerintah pusat.

Sehingga, dengan adanya kasus 7 tahanan Papua ini, lanjut Pieter, menjadi momentum, bagaimana pemerintah pusat untuk tidak melihat persoalan Papua dengan sebelah mata.

Bahwa, UU Otsus pasal 45-47  jelas tentang penyelesaikan pelanggaran HAM, maka buatlah peradilan hukum HAM di Papua, atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk selesaikan kasus yang terjadi di Papua.

“Jadi semua ini ada saluran yang bisa menyelesaikan, tak hanya dengan pasal makar saja, karena itu bukan jaminan. Satu masalah selesai maka akan timbul masalah lain. Sehingga saya kembali mengusulkan kepada pemerintah pusat bentuklah badan-badan itu untuk selesaikan persoalan yang muncul di Tanah Papua,”tandasnya. *