Memang Ada Covid-19, Tapi Tidak Harus Kelaparan

Agus Sumule/Istimewa

Di mana-mana orang sudah bicara tentang kekurangan pangan.  Gara-gara pandemi Covid-19, banyak orang tidak bisa bekerja.  Banyak orang kehilangan penghasilan.  Kalau tidak ada penghasilan, bagaimana mau membeli makanan?  Tetapi, tidak hanya itu saja.  Bagaimana kalau makanan yang mau dibeli juga tidak ada?  Terakhir, tanggal 22 April 2020, PBB memperingatkan bahwa sangat mungkin terjadi kelaparan yang hebat di dunia akibat Covid-19.

Tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras.  Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO di Roma.  Tetapi swasembada itu tidak berlangsung lama.  Rezim ganti rezim, presiden ganti presiden, swasembada beras Indonesia timbul tenggelam.  

Terakhir, Maret 2020, Pemerintah kembali membuka keran impor beras, walaupun konon produksi beras dalam negeri lebih tinggi dari konsumsi.  Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas harga beras menjelang hari raya Idul Fitri.

Negara eksportir beras terbesar untuk Indonesia adalah Vietnam, disusul Thailand, kemudian Pakistan dan Myanmar.  Yang menjadi masalah, negara-negara ini pun dilanda Covid-19.  Banyak rakyat di negara-negara itu yang tergantung pada bantuan pemerintahnya.  Jadi, bisa saja mereka memutuskan untuk tidak mengekspor beras guna menjamin keamanan pangannya sendiri.

Bagaimana dengan kita di Tanah Papua?

Ini perhitungan saya: Jumlah penduduk di Provinsi Papua yang masih bisa survive tanpa beras hanya sekitar 49%.  Di Provinsi Papua Barat lebih sedikit lagi.  Hanya sekitar 25%.  Siapa mereka ini?  Mereka adalah Orang Asli Papua (OAP) dan sedikit penduduk non-OAP yang masih punya kebun tanaman pangan.  Selebihnya, 51% di Provinsi Papua dan 75% di Provinsi Papua Barat, adalah penduduk yang tergantung 100% pada impor bahan makanan yang berasal dari luar Tanah Papua – khususnya beras.  

Kalau boleh bicara lebih terus terang, apabila tidak dilakukan antisipasi dengan seksama, maka akan ada 2,47 juta orang di Tanah Papua yang berpotensi kelaparan gara-gara Covid-19.  Sebanyak 1,75 juta jiwa di Provinsi Papua dan 719 ribu jiwa di Provinsi Papua Barat.

Supaya fair, kita harus bicara juga tentang produksi beras kita sendiri di Tanah Papua.  Total produksi beras di Provinsi Papua pada tahun 2019 adalah 133.684 ton.  Sebanyak 91% berasal dari sawah-sawah di Kabupaten Merauke.  Produksi beras di Papua Barat jauh lebih sedikit.  Hanya 9.045 ton.  Jadi, tidak heran, kalau jumlah untuk hanya bisa memenuhi 10,7% dari kebutuhan Provinsi Papua Barat.  

Angka-angka di atas ini menunjukkan, bahwa bahwa kita harus siap-siap pindah ke pangan lokal kalau kita tidak mau kelaparan beberapa bulan lagi.  Kalau wabah Covid-19 ini terus berkecamuk, dan beras dari pulau Jawa dan Vietnam sudah tidak ada lagi, maka kita harus mempersiapkan diri untuk makan ubi jalar, ubi kayu, keladi, talas, sukun, pisang, atau labu sebagai pengganti beras.

Tetapi, beralih konsumsi pangan ini bukan segampang membalik telapak tangan. Apa yang harus dibuat? Bagaimana caranya?

Pertama, harus jelas siapa yang harus memproduksi makanan lokal itu bagi kita semua?  Kalau kita berharap kepada para petani yang hingga saat ini masih setia menanam tanaman pangan lokal, berarti mau tidak mau harus ada sistem yang dibangun agar mereka bisa menanam jauh lebih banyak dibandingkan yang selama ini mereka tanam untuk kebutuhan keluarga mereka, dan sedikit kelebihan untuk mereka jual.  Para petani itu harus membuka kebun-kebun baru.  Mungkin lokasi-lokasi untuk kebun baru itu masih berupa hutan belukar.  Harus ada peralatan.  Harus ada tambahan tenaga kerja.  Harus ada yang memberikan insentif.  

Kedua, anggaran untuk membuka kebun-kebun baru ini berasal dari siapa?  Pemprov Papua menyiapkan total dana sebesar kurang lebih Rp 312 miliar untuk penanganan Covid-19.  Pemprov Papua Barat menyediakan dana Rp 197,8 miliar dalam bentuk bahan batuan pangan seperti beras, gula, minyak goreng.  Yang masih tidak jelas adalah anggaran untuk membuka kebun.  

Ketiga waktu tidak berpihak kepada kita.  Masih berapa lama lagi beras di Gudang-gudang Dolog tersedia?  Sejak dari minggu ke-2 April 2020 Kepala Bulog, Budi Waseso, berbicara tentang sagu untuk menggantikan beras.  Artinya, sangat mungkin persediaan beras di gudang akan habis.  

Karena itu, lebih cepat menanam lebih baik.  Tidak ada tanaman pangan yang ditanam hari ini besok sudah bisa dipanen.  Perlu waktu.  Semakin lambat menanam, semakin mungkin banyak orang kelaparan.  

Keempat jelas, urusan ini tidak mungkin ditangani sendiri oleh pemerintah.  Karena itu, pimpinan daerah harus mengundang semua pihak untuk berbicara tentang hal-hal apa yang harus dilakukan mengantisipasi kelaparan di Tanah Papua.  

Ini saatnya kita berbicara dengan yang punya tanah dan yang biasa bekerja di tanah.  Sudah lama para petani Papua diabaikan.  Hampir tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk menolong mereka selama 20 tahun Otsus.  Kita semua sibuk dengan Pajale (Padi, Jagung Kedele).  Sekarang, kepada mereka kita berharap.

Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya berbicara dengan pimpinan-pimpinan gereja dan lembaga-lembaga keagamaan pada umumnya.  Mereka ini yang punya jaringan sampai ke kampung-kampung.  Merekalah yang dengan efektif bisa menggerakkan petani untuk bekerja membuka kebun dan menanamnya dengan berbagai tanaman bahan makanan untuk kita.  

Libatkan juga Perguruan Tinggi dan SMK-SMK Pertanian di seluruh Tanah Papua.  Mereka bisa membantu menghitung kebutuhan bibit dan sarana produksi lainnya, termasuk jadual penanaman supaya makanan tersedia sepanjang waktu. Dan, jangan lupa yang satu ini: Lima hari lalu Presiden Jokowi sudah berbicara tentang kemungkinan terjadinya kemarau panjang.  

Kita seperti berpindah dari satu musibah ke musibah yang lain.  Mari kita merendahkan diri, memohon dan menangis kepada Tuhan.  “… [apabila] umat-Ku mau merendahkan diri serta berdoa, dan mencari hadirat-Ku serta meninggalkan segala kejahatan mereka, maka Aku akan mendengar dari surga doa mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka serta menjadikan negeri itu subur kembali.”

* Oleh  Agus Sumule