Penyelesaian Masalah Papua : Madu di Tangan Kanan, Racun di Tangan Kiri

Peter Tukan/Istimewa

HAMPIR semua orang tahu, Papua masih bermasalah! Berbagai niat baik dan usaha keras untuk menyelesaikan masalah itu terus berlangsung seiring perjalanan waktu dan peredaran planet bumi mengitari Matahari.

Usia dari masalah ini tidak sebanding umur hidup manusia. Masalah tidak mengenal batas waktu dan tempat, sedangkan umur hidup manusia, 80 tahun jika kuat, dan itu pun sangat bergantung sepenuhnya pada rencana dan kehendak Sang Pencipta – Tuhan Yang Maha Kuasa! Proses penyelesaian masalah Papua, bagaikan “madu di tangan kanan – racun di tangan kiri”.

Dalam upaya menyelesaikan masalah Papua yang sangat rumit dan kronis ini, nilai-nilai kehidupan seperti: kejujuran, kerendahan hati, kehati-hatian, tidak saling curiga, kesabaran, ketabahan dan hikmat kebijaksanaan haruslah tetap menjadi “Panglima”nya. Apabila kita tidak setia pada “panglima” ini di dalam seluruh proses penyelesaian masalah Papua, maka kehancuran disusul tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan menanti kita di ujung lorong yang gelap itu – Kalah jadi abu - menang jadi arang!

Perbedaan: Fakta yang harus Dihargai

Sejarah hidup manusia Papua mencatat bahwa perbedaan di Tanah Papua merupakan keniscayaan – sebuah anugerah yang harus disyukuri dan dirawat bagaikan bunga-bunga berjuta warna mengharumi kehidupan, sebaliknya bukan sebuah kutukan!

Sudah sejak sekitar lima puluh ribu tahun yang lampau, nenek moyang manusia Papua itu sudah berbeda. Ketika gelombang pertama nenek moyang orang Papua datang dari Afrika tiba di kepulauan New Guinea, telah diketahui ada kelompok manusia Papua yang bermata pencaharian berburu binatang dan mengumpulkan (meramu) bahan makanan. Mereka mendiami wilayah dataran tinggi (Kal Muller, “Mengenal Papua” hal.35-56).

Menyusul kelompok nenek moyang manusia Papua gelombang kedua datang ke Papua pada sekitar 1500-1000 SM. Mereka mendiami dataran rendah - pesisir utara daratan Papua, pesisir Kepala Burung, Teluk Cenderawasih dan Teluk Bintuni. Mereka mengonsumsi sumber makanan yang terdapat di areal rawa-rawa mangrove, ikan laut dan kerang. Kelompok nenek moyang Papua gelombang kedua ini memiliki budaya rumah panggung, pembuatan dan penggunaan gerabah, penggunaan layar dan cadik. (Bdk: Hari Suroto:”Prasejarah Papua” Hal.54-55) .

Setiap kelompok masyarakat yang tergambar di atas mengonsumsi sumber makanan yang tersedia di lingkungan dimana mereka hidup dan berada. Cara untuk mendapatkan bahan

makanan pun berbeda satu dengan yang lain, serta berbeda pula dalam cara “menantang” dan “menaklukkan” alam sekitanya. Lingkungan dimana mereka hidup dan menghidupi diri dan kelompoknya, tentu saja dengan serta merta ikut membentuk karakter (tabiat), tradisi dan budayanya masing-masing. Setiap kelompok manusia ini memiliki cara tersendiri dalam memandang, menilai, menyikapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama.

Pada tahun 1961, Pemerintah Hindia Belanda bersama para antropolog Barat membagi wilayah dan masyarakat Papua ke dalam tujuh wilayah adat. Di Tanah Papua terdapat wilayah adat Mamta, Saereri, Anim Ha, La Pago, Mee Pago, Domberai dan Bomberai.

Wilayah-wilayah adat ini digunakan untuk mengelompokkan suku-suku di Tanah Papua. Konsep pembagian suku didasarkan atas hubungan kekerabatan, perkawinan, hak ulayat, tipe kepemimpinan, ciri-ciri fisik hingga geografis. Pemerintah Belanda dan ilmuwan Barat kemudian membuat konsep pembagian wilayah administrasi pemerintahan berdasarkan fakta budaya ini. Setiap kelompok masyarakat diatas tentu berbeda dalam karakter masing-masing yang mempengaruhi cara mereka menghadapi permasalahan hidup dan pula cara menyelesaikan masalah bersama.

Pembagian wilayah adat ini disusul pembagian wilayah adminsitratif Nugini - Belanda yang tentu saja didasarkan atas pertimbangan tradisi dan budaya dari masing-masing kelompok masyarakat tersebut.

Terdapat Afdeling Hollandia (terdiri atas antara lain Hollandia, Nimboran, Sarmi, Keerom), Afdeling Geelvinkbaai (antara lain Biak, Yapen-Waropen, Serui), Afdeling Centraal-Nieuw – Guinea (antara lain Paniai dan Tigi), Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea (antara lain Merauke, Mapi, Boven Digul, Asmat, Muyu), Afdeling Fak-Fak (antara lain Fak-Fak, Kaimana, Mimika) dan Afdeling West-Nieuw-Guinea (Sorong, Raja Ampat, Manokwari, Ransiki, Teminabuan dan Bintuni).

Pada hari ini juga, kita menyaksikan secara terang benderang, Tanah Papua teridiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Pemerintah Indonesia berencana akan memekarkan lagi beberapa provinsi di Tanah Papua. Dalam konteks urusan pemerintahan tingkat provinsi, maka masyarakat dan pemerintah Provinsi Papua mengatur sendiri seluruh proses pembangunannya. Hal yang sama terjadi juga di Provinsi Papua Barat. Mereka masing-masing mengatur “rumah tangganya” sendiri di bawah pendampingan Pemerintah Pusat di Jakarta.

Fakta yang secara terang benderang dipaparkan di atas hanya ingin mengatakan dan menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi di Tanah Papua sejak 50 ribu tahun yang lampau hingga detik ini, jika dikelola secara baik, jujur, arif dan bijaksana maka akan menghantar seluruh lapisan masyarakat di Tanah Papua ini kepada kebaikan bersama (bonum commune) : keadilan dan kedamaian abadi serta kesejahteraan lahir dan batin. Jika sebaliknya, maka Tanah Papua dan penghuninya akan menuai petaka dan kiamat!

Menyelesaikan Masalah Papua

Kembali kepada topik bahasan: “Penyelesaian Masalah Papua: Madu di Tangan Kanan – Racun di Tangan Kiri”, dapat disampaikan bahwa sejak sekitar tahun 1960-an hingga saat ini, telah begitu banyak pihak (perorangan, kelompok, lembaga dan organisasi) memiliki semangat yang berkobar-kobar – bagaikan api nan tak kunjung padam untuk sesegera mungkin menuntaskan permasalahan Papua yang dianggap kronis ini. Semua pihak tentu memilki harapan yang sama, kiranya permasalahan ini segera diselesaikan – semoga badai cepat berlalu!

Namun demikian, dalam proses penyelesaian masalah Papua (yang cukup banyak orang sepertinya setuju dengan hasil penelitian LIPI terkait akar masalah Papua – walaupun hasil penelitian itu harus diuji lagi dan bukan merupakan sebuah kebenaran mutlak) – kiranya semua pihak tanpa kecuali memperhatikan dan memperhitungkan “fakta Papua” yang terurai diatas. Tidak semua orang, kelompok orang, kelompok suku dan wilayah adat, serta masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki pemahaman bersama tentang akar masalah Papua itu.

Sebagai contoh, LIPI mengatakan bahwa salah satu akar masalah Papua adalah kegagalan pembangunan di Papua. Sekelompok masyarakat atau kaum intelektual tertentu membenarkan hasil penelitian tersebut, namun bagi kelompok masyarakat lain, justru mempertanyakan hasil peneltian tersebut: Apakah benar bahwa telah terjadi kegagalan pembangunan di Papua? Apakah benar bahwa kegagalan pembangunan menurut LIPI itu, dialami oleh kami di daerah atau wilayah adat ini?

Apakah benar, terjadi kegagalan di semua sektor pembangunan di Papua sejak dulu sampai sekarang? Jangan sampai, gagal di satu bidang pembangunan, disimpulkan gagal untuk seluruhnya? Apkah benar bahwa kegagalan pembangunan merupakan akar masalah?

Begitu pula hasil penelitian terkait pelurusan sejarah Papua. Hal ini pun harus benar-benar hati-hati dan penuh kebijaksanaan karena setiap kelompok masyarakat akan mempertanyakan kebenaran itu. Bagi satu kelompok masyarakat, mereka menyatakan bahwa sejarah Papua tidak lurus alias bengkok, sehingga butuh pelurusan sejarah. Namun, kelompok lainnya mempertanyakan secara sangat kritis, di dunia ini, sejarah hidup manusia dan bangsa mana yang lurus? Bukankah hanya Tuhan sendiri yang senantiasa menulis lurus di atas garis hidup yang bengkok?

Demikianlah berjuta pertanyaan kritis akan terus bermunculan secara bertubi-tubi terkait akar masalah yang merupakan hasil penelitian LIPI beberapa tahun yang lampau itu. Malahan, ada pula kelompok masyarakat di Papua bertanya lagi, saat LIPI lakukan penelitian itu, para peneliti mewawancarai siapa saja dan di wilayah adat mana? Apakah jawaban atas pertanyaan itu sama atau hampir sama antara masyarakat adat di wilayah adat Bomberai dan Domberai dengan masyarakat adat di lima wilayah adat lainnya?

Semua pihak sungguh menginginkan agar masalah Papua cepat tuntas namun beberapa di antaranya meragukan hal itu lantaran hingga hari ini, belum ada figur yang representatif yang punya kewibawaan kuat untuk  mendengar dan didengar oleh seluruh warga  masyarakat Papua, seperti pengalaman tempo doeloe di Timor Timur dengan Kay Rala Xanana Gusmao-nya, atau di Aceh dengan  Teungku Hasan Tiro-nya.

Begitu pula, harapan akan cepat berakhirnya masalah Papua juga masih diragukan beberapa  pihak lantaran belum merekahnya sinar  rekonsiliasi keluarga, kampung dan masyarakat dalam satu suku dan antarsuku akibat warisan konflik masa lalu yang terus terbawa di dalam ziarah kehidupan masyarakat Papua.

Hal inilah yang mendorong Pastor Yulianus D.Bidau Mote,Pr (alm)  semasa  hidupnya, terus berusaha  mendatangi kampung-kampung mengajak saudara-saudaranya di Tanah Papua untuk rekonsiliasi. Pastor Yulianus sendiri telah menerbitkan buku “Rekonsilasi Keluarga, Kampung dan Bangsa Manusia” sebagai  sebuah pedoman yang menuntun jalannya upaya rekonsiliasi karena bagaimanapun juga, Beliau menyadari bahwa rekonsiliasi itu terjadi bukan karena kesediaan manusia melainkan karena pengalaman karya Allah yang berbelas kasih dalam diri manusia. Rekonsiliasi adalah karya Allah dan ke dalamnya kita semua diundang.

Sulit membayangkan satu rekonsiliasi tanpa ada unsur pengampunan. Pengampunan berarti meninggalkan balas dendam terhadap pelaku kekerasan. Pengampunan tidak berarti melupakan semua melainkan mengingat kesalahan atau peristiwa itu tetapi mengampuninya untuk selanjutnya hidup bersama dalam damai abadi.  Menurut Pastor Yulianus D.Bidau Mote,  proses rekonsiliasi  Keluarga, Kampung dan Suku-suku di Tanah Papua membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang berkepanjangan.

Oleh: Peter Tukan*