Ini Klarifikasi Bupati Pegunungan Bintang Terkait Delapan Poin Tuntutan Masyarakat

Bupati Pegunungan Bintang Constan Otemka saat memberikan keterangan kepada wartaplus.com/Fendi

JAYAPURA,– Bupati Pegunungan Bintang, Constan Otemka menyikapi delapan tuntutan masyarakatnya  dalam pernyataan sikap yang telah diserahkan langsung kepada Penjabat Gubernur Papua, Soedarmo,  Jumat ( 20/4) lalu, saat Soedarmo melakukan kunjungannya kerja. Constan membantah seluruh poin tuntutan masyarakat yang menurutnya tidak benar.

Kepada wartaplus.com, Selasa (24/4) di Kota Jayapura, Constan menanggapi satu per satu poin tuntutan masyarakat.Pertama, soal bupati yang dinilai pemimpin otoriter, menurut Constan ia bukan pemimpin otoriter, tapi tegas.

“Kalau otoriter saya tidak mengerti, tapi kalau tegas sesuai aturan, iya. Saya adalah pemimpin yang tegas, Kalau benar ya benar, kalau salah ya salah, tanpa memandang orang asli Papua atau pendatang, yang penting dilaksanakan sesuai aturan,” terang Constan.

Selanjutnya, mengenai system satu pintu, bupati menegaskan bahwa memang harus satu pintu, tidak bisa  banyak pintu karena bisa bisa berbahaya.

Hal berikut, bupati dinilai melanggar sumpah jabatan yang telah disampaikan pada saat pelantikan, menurut Constan pernyataan tersebut tidak jelas maksudnya. “Saya tidak pernah melakukan tindakan makar, atau pelanggaran yang bisa dibuktikan secara hukum, jadi ini tidak jelas,” tegasnya.

Poin selanjutnya, terkait pengelolaan dana APBN dan APBD yang dicontohkan bahwa terjadi penurunan APBD selama 2 tahun terakhir akibat penyerapan anggaran tidak maksimal, serta intervensi politik, mengatur proyek dan pemotongan dana desa Rp 15 juta per kampung, ia menjelaskan, yang membuat tuntutan tidak tahu soal anggaran.

“Jadi saya mau jelaskan bahwa yang membuat tuntutan ini tidak ada dalam pemerintahan, jadi dia tidak tahu soal anggaran. Dia ini tidak mengerti bahwa keadaan keuangan secara nasional memang begitu, terjadi penurunan, pemangkasan. Dan terjadi di seluruh daerah di Indonesia, bukan hanya Pegunungan Bintang,” jelasnya.

“Kalau pemotongan dana desa Rp 15 juta per kampung itu betul adanya, tapi itu dilakukan oleh oknum, bukan perintah bupati. Kita sudah minta Polres Pegunungan Bintang untuk memeriksa yang bersangkutan dan sekarang dalam tahap persidangan di Pengadilan Negeri Wamena,” ungkapnya.

Terkait dugaan korupsi proyek pembangunan poros desa, lanjutnya saat ini sedang ditangani oleh Polda Papua, dan sudah ditetapkan beberapa orang sebagai tersangka, jadi tidak ada hubungan dengan bupati.

Selanjutnya, terkait sejumlah Aparatur Sipil Negara eselon II, III, dan IV yang dinonjobkan oleh bupati, serta pergantian sejumlah kepala kampung, ia juga memiliki alasan.

“Bagaimana kalau orangnya tidak kerja apakah harus dipertahankan bertahun-tahun mengisi jabatan? Sekarang ini banyak orang yang ingin kerja. Jadi kalau tidak kerja maka wajar diganti, kita ini ingin ada perubahan, bukan seperti sebelum-sebelumnya. Kita berikan hadiah bagi yang rajin kerja, dan kita juga berikan punishmen bagi yang malas kerja,” jelasnya.

Point berikutnya, terkait pemutusan kerjasama dengan institusi pendidikan yang telah bekerjasama dengan pemerintahan sebelumnya, serta pelantikan kepala sekolah yang diduga sebagai tim sukses, katanya, hal tersebut telah melalui tahap evaluasi.

“Pemutusan kerjasama kita lakukan setelah evaluasi, jadi ada institusi pendidikan yang tidak memberikan dampak, ya kita hentikan, kita bangun lagi kerjasama dengan institusi lain  demi kemajuan pendidikan. Kepala sekolah itu kita cari, bukan asal mengangkat saja. Karena untuk tinggal dan mengajar di tempat terpencil itu tidak mudah, jadi tidak benar kita lantik tim sukses,’ tambahnya.

Dan poin terakhir tentang tidak adanya kerjasama dengan dewan adat, gereja dan organisasi masyarakat, ia juga menjelaskan bahwa  untuk dewan adat belum kerjasama karena saat ini belum ada pemimpinnya. “Sejak pimpinannya meninggal, belum ada rekonsiliasi kelembagaan secara baik. Yang ada adalah saling klaim orang pe rorang, jadi kami (pemerintah) belum bisa memastikan kerjasama itu,” jelasnya.

Constan berkesimpulan bahwa delapan poin yang disampaikan adalah bahasa dari lawan politik, dan bukan aspirasi masyarakat. *